logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Menuju Bom Waktu Yang Meledak

Pukul 3:45 Wita, suasana dalam kerimbunan semak belukar di kaki lembah bukit itu masih hening dan mencekam. Napas masing-masing prajurit mendesah panjang. Bagaimana tidak, perjalanan menuju kota Fatularan yang berada di sisi sebelah barat kota Dilli ibu kota Timor timur itu belum bisa mereka lanjutkan malam itu juga. Padahal....., prajurit kompi C infanteri marinir itu seharusnya di saat fajar dijadwalkan sudah harus menyusup dengan senyap keluar dari area kaki perbukitan. Tanpa diketahui oleh lawan, mereka kemudian akan bergerak perlahan lalu membeku di belakang pertahanan pasukan fretilin di luar kota Fatularan lalu bersiap-siap dengan serangan dadakan.
Inti dari keberadaan mereka di sana adalah untuk melindungi iring-iringan dua kompi pasukan pendarat marinir lainnya yang didukung oleh kekuatan dua kompi tank PT-76 dan panser amphibi BTR-50, juga dua tim intai amphibi yang akan melewati kota Fatularan untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran terhadap pasukan fretilin yang menguasai daerah itu. Menurut sekenario pertempuran, di saat pasukan musuh fretilin terpancing untuk menyerang dua kompi tank PT-76 dan panser amphibi BTR-50, satu pleton prajurit dari kompi C pasukan pendarat marinir itu akan menyerang musuh dari arah belakang. Namun dukungan serangan dari prajurit kompi C infanteri marinir itu kini masih terganjal di tengah jalan.
*****
Beberapa menit menjelang fajar, setumpuk awan hitam terlihat menutupi sebagian besar angkasa malam di atas hutan belantara itu, badai tropis sepertinya sebentar lagi akan melanda. Suara menggelegar mendadak terdengar, namun suara gelegar kali ini bukanlah berasal dari suara peluru kanon roket yang ditembakkan oleh pasukan lawan, melainkan gelegar suara halilintar yang terdengar dari kejauhan. Sambaran halilintar terlihat menghanguskan sebatang pohon jangkung yang menancap kokoh di lereng bukit yang berada sekitar tujuh ratus meter dari lokasi Reihan dan Saharudin berada. Di sekitar lereng perbukitan itulah tiga kompi lebih pasukan musuh fretilin tengah bersarang.
Penglihatan kopral dua Saharudin berkeliling mengitari lekuk-lekuk lembah yang terlihat dari kejauhan, kemudian dia kembali mengamati keadaan di sekitar hutan belantara dan kerimbunan semak belukar yang ada di hadapannya. Suasana yang tadi hingar-bingar dipenuhi dengan suara tembakan dan ledakan kini masih terasa sunyi, tak ada suara yang terdengar olehnya, kecuali hanya suara burung-burung malam yang terbangun karena kekagetan. Sesekali burung-burung itu terdengar berkicau mengeluarkan suara yang kacau balau dan tak beraturan.
Hawa dingin di saat-saat menjelang fajar itu juga mulai menyerang. Semakin lama, hawa dingin terasa semakin merajalela dengan garang, luar biasa dingin yang terasa, jauh sekali berbeda dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Bahkan dinginnya juga hingga menembus sampai ke tulang sumsum.
Untuk sesaat Saharudin mencoba menenangkan pikirannya yang tegang. Kopral itu kemudian menyandarkan punggungnya di bebatuan, kedua kakinya dia selonjorkan sembari menghela napas panjang. Dilihatnya Reihan yang ada di sampingnya juga mulai kelelahan. Sebungkus rokok yang masih terikat erat di helm tempur miliknya kemudian dia buka. Salah satu dari belasan gelinting tembakau yang katanya beracun yang ada di sana dia tarik dari bungkusnya.
“Han.., leherku rasanya tegang nih, rokok dulu sebatang yok..!” Saharudin menyapa, tangannya dia julurkan ke arah Reihan. Sebatang rokok dilihat oleh Reihan terjepit di antara jari manis dan telunjuk kopral itu. “Aku lagi nggak mut Din.., kamu saja.” Reihan menggelengkan kepala, ogah dia menghisap tembakau beracun yang ada di dalamnya.
“Han.... han.., kalu mati juga pasti akan mati, nggak nikotin..., nggak ikan patin.., kalau bumbunya dicampuri racun yah pasti mati juga.” Saharudin berseloroh mencoba mengurai ketegangan yang ada dalam benak nya.
“Hoi Din....! kau tahu nggak..., aku ini bukan takut mati karena nikotin Din, tapi yang aku takut kalau aku keburu mati sebelum sempat menembaki fretilin itu minimal sepuluh orang lagi..., kalau bisa satu kompi dari pasukan mereka biar aku yang menghabisi seorang diri, baru aku rela mati.” Suara Reihan serak, terdengar seperti berpura-pura galak. Saharudin yang mendengarnya terbelalak, walaupun dia tahu Reihan bocah ingusan itu hanya berpura-pura galak.
“Hah..., benaran tuh Han kamu nekat menghabisi mereka seorang diri...? jangan-jangan kalau kepergok mereka nanti kamu terkencing-kencing dalam celana langsung lari tak bernyali...!” Saharudin garuk-garuk kepala, lalu nyengir kuda tak percaya.
“Lah kamu nggak percaya ya Din...? lihat saja nanti kalau mereka berani datang kemari, pasti akan aku habisi seorang diri..., seluruh rokok yang ada dalam ranselmu itu juga akan aku habisi dalam waktu setengah hari.” Sambut Reihan, suaranya kini tak lagi terdengar seperti berpura-pura galak.
“Waduh gila kamu....! ya sudah..., nanti kalau ingin ambil saja Han, aku masih punya banyak cadangan kok.” Tunjuk Saharudin pada sebungkus rokok yang kembali dia lilitkan di helmnya.
“Pasti Din.” Angguk Reihan.
Tamtama dengan pangkat prajurit satu itu kemudian diam, Saharudin juga bungkam. Gelintingan tembakau yang ada di tangan kopral itu dia jepitkan di kedua bibir. Saharudin kemudian merogoh kotak kecil berisi korek api kayu yang ada dalam kantong celananya. Rokok kretek itu menyala dengan sempurna, hisap demi hisap tembakau beracun yang ada dalam gelintingan itu dinikmatinya dengan mesra. Mulut kopral itu kemudian membulat ternganga, asap rokok terlihat mengepul keluar dari sana. Pikiran kopral itu yang tadinya tegang untuk sejenak bisa kendur, dirinya kini terasa terhibur, gelintingan tembakau beracun dalam gelintingan rokok itu ternyata memang sangat manjur.
*****
Tak sampai setengah batang, hanya beberapa kali hisap saja Saharudin sempat menikmati gelintingan tembakau yang terjepit di kedua jarinya. Suasana dalam kerimbunan semak belukar dan penuh bebatuan itu tiba-tiba saja mendadak gempar. Tujuh kali suara tembakan peluru kanon roket kaliber besar tiba-tiba saja kembali terdengar menggelagar.
“....duaaaar...! duuuumm...! braaaaak....! buuuuum.....! praaaaak....!” Suara dentuman terdengar membahana. Peluru-peluru mortir kaliber besar berjatuhan di mana-mana. Tembakan kanon roket kaliber besar kali ini terjadi benar-benar secara acak dan membabi buta. Saharudin tersentak, Reihan terlonjak, jantung berdetak mencak-mencak bagai kena tombak. Saharudin bungkam, Reihan langsung terdiam.
Bongkahan mesiu panas pecah saat menghujam daratan, kemudian meledak, lalu menggelegar, dan terbakar. Tanah dan bebatuan di pusat ledakan hancur berantakan, lalu terbang berhamburan. Dahan-dahan di pepohonan dan ranting-ranting yang bercabang hancur luluh lantah, kemudian juga ikut berhamburan. Asap hitam di sekitar area ledakan terlihat bergumpal-gumpal menyebar dari mesiu yang terbakar, warna kelam kembali menyelimuti sebagian besar langit di atas hutan itu, menjanjikan kematian bagi siapa saja yang berada di sana.
Saharudin dan Reihan yang tadi masih sempat berseloroh kini terlihat tegang dalam keseriusan. Kematian jelas-jelas berada di depan mata, ledakan dahsyat itu bisa saja terjadi tepat di hadapan mereka. Keduanya kini benar-benar tak lagi mengharapkan apa-apa dalam hidup mereka. Kekasih tercinta dan istri yang tengah hamil muda harus mereka lupakan dengan hati rela. Mereka tahu....., waktunya mungkin kini telah tiba. Mereka tahu...., mungkin jadi di lembah hitam itulah kegelapan malam yang begitu sempurna akan menamani jiwa mereka untuk selama-lamanya. Dan...., mereka juga tahu, konsentrasi pasukan fretilin yang ada di sana lebih sepuluh kali lipat banyaknya dari jumlah mereka.
Reihan hanya mampu membisu dalam kepiluan, yang terbayang olehnya kemudian hanyalah wajah seorang ibu yang telah melahirkan dirinya ke atas dunia yang fana. Semakin lama wajah itu dia kenang, semakin memudar pula wajah ibunya itu dalam bayangannya. Seperti semakin menjauhnya harapan bagi dirinya untuk bisa kembali pulang. Rasanya, tak mungkin lagi dia bisa memeluk ibundanya tercinta yang semakin hari semakin berkeriput di usia senjanya..
“Ibu...., maafkanlah aku anakmu yang belum bisa membahagiakanmu...., maafkan aku ibu..., maafkan aku ibu....., maafkan aku anakmu...., ya Allah.., ampunilah aku ya Allah jika seandainya suatu saat nanti aku tak akan mampu lagi berbakti kepada kedua orang tuaku...., Allahuakbar....!” Jerit hati Reihan dengan mata berkaca-kaca penuh gelimangan air mata, walau tak seorang pun yang bisa melihatnya.
*****

หนังสือแสดงความคิดเห็น (15)

  • avatar
    firdausmohammad

    saya sangat suka dengan komando dan itulah cita" saya

    04/06

      0
  • avatar
    RadenRido

    mksi

    26/03

      1
  • avatar
    RifkyMuhammad

    bagus

    07/12

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด