logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Empat

"Mas, lepas! Apa-apaan kamu?" 
Aku benar-benar risih di genggam oleh Mas Faisal, walaupun rasa nyaman itu ada sedikit terasa.
Apakah aku murahan? Entahlah!
"Maaf, Rum. Aku terbawa suasana," ucap Mas Faisa tersenyum seolah tidak melakukan kesalahan.
"Aku ini istri sahabatmu, Mas." Berusaha menjelaskan padanya, bahwa kami sudah punya pasangan masing-masing.
"Iya, aku tahu, Rum. Tapi …."
Aku mengernyitkan dahi. Kalimat yang keluar dari bibir Mas Faisal tidak pernah selesai. Tentu saja aku tidak tahu apa yang dia maksud. Memilih untuk tidak ingin tahu tentang itu.
"Jadi, biarkan saja aku pulang sama suamiku."
"Oke! Baiklah! Aku akan tunggu sampai kamu yang meminta tolong."
Ekspresi wajah Mas Faisal sedikit berubah. Mungkinkah dia marah karena sudah aku tolak? 
Laki-laki berkulit kuning langsat itu kembali meletakkan Bilqis. Setelah itu dia duduk tak jauh dari tempat dudukku.
Menit berlalu, aku mulai menguap. Tidak ada teman untuk mengobrol membuat cepat mengantuk, walaupun Mas Faisal masih setia menunggu. Aku berusaha tidak peduli akan kehadirannya. Menghindar dari tatapannya yang betah melihat ke arahku.
Rasa kantuk semakin menjadi-jadi, aku tidak kuat lagi. Entah sudah berapa kali aku menguap, mata pun ikut berair begitu saja. Bangkit dari tempat duduk, memberanikan diri melangkah menuju Mas Angga.
"Rum, mau kemana?" 
Pertanyaan Mas Faisal tidak aku tanggapi. Terus melangkah menuju tempat dimana Mas Angga masih asyik mengobrol.
"Mas Angga."
Ayah dari anakku tersebut menoleh sebentar. Aku tidak berani sepenuhnya mendekat ke sana. Hanya memanggilnya dari jarak tiga meter ke tempat dia kumpul.
"Ada apa, Rum?" tanya Mas Angga. Laki-laki dengan tinggi 175 cm itu datang menghampiri.
"Aku mengantuk, Mas. Ayo kita pulang. Kasihan Bilqis sudah tidur," ungkapku jujur.
"Loh, bukannya Faisal mau mengantar kamu pulang?"
Aku melongo mendengar ucapan Mas Angga. Jadi, dia benar-benar mengijinkan sahabatnya mengantar pulang? Seperti pukulan keras menghantam ulu hati.
Kata orang cemburu adalah tanda cinta. Sedingin-dingin sikap seorang suami, tetap saja dia menaruh rasa cemburu. Lalu, apa itu tidak berlaku pada Mas Angga? Benarkah dia tidak peduli sedikitpun padaku? Tidak adakah rasa cemburu walau hanya seujung kuku?
Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam benak. Meluluhlantakkan perasaan yang terus berharap padanya. Baiklah, jika memang itu yang Mas Angga harapkan. Aku akan mengikuti apa yang dia kehendaki.
"Lalu, Mas setuju dia yang mengantarku pulang?" 
Mulai geram melihat sikap Mas Angga.
"Ya, tentu saja. Dia sahabat terbaikku."
Memutar bola mata, agar air mata tak jatuh di hadapannya. 
"Baiklah, Mas. Aku pulang dulu," ucapku mengalah pada keegoisannya.
Segera berlalu dari hadapannya. 
Membuang semua rasa malu, aku hampiri Mas Faisal. Bagaimana tidak malu, tadi aku bersikukuh untuk menolak. Setelahnya, justru aku datang memohon padanya.
"Mas, Faisal …."
Laki-laki yang memejamkan matanya itu, langsung membuka matanya dan menatapku. Kemudian bibirnya tertarik membentuk senyuman, yang tentunya tidak bisa aku artikan. Apakah itu senyuman ejekan, aku tidak ingin memikirkannya.
"Ya, Rum. Kamu sudah setuju?"
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Tidak banyak percakapan lagi, Mas Faisal langsung melangkah menuju Bilqis dan menggendong bayi itu.
Perjalanan menuju mobilnya, aku hanya diam seribu bahasa. Malu bercampur was was berkecamuk di dalam dada. 
Mas Faisal menyerahkan Bilqis padaku. Kemudian dia bergegas membukakan pintu mobil bagian depan.
"Aku di belakang saja, Mas."
"Di depan saja, Rum. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan."
"Tapi, Mas."
"Naiklah cepat!"
Mas Faisal memaksaku naik. Setelah aku duduk di depan, dia tutup pintu dan ikut naik menuju belakang kemudi.
Aku jadi berpikir keras. Apakah Mbak Ayu tidak marah jika suaminya ketahuan mengantar wanita lain pulang. Apalagi sudah larut malam. Atau … hubungan rumah tangga mereka sama seperti rumah tangga kami?
"Maaf ya, Rum."
Mas Faisal langsung menyalakan mobil. Mobil yang katanya baru dibeli itu melaju perlahan keluar pekarangan, menuju jalan besar yang mulai sepi.
Aku hanya duduk diam sambil memangku Bilqis yang masih terlelap. Sepanjang perjalanan, aku berharap tidak ada kejadian yang aneh-aneh.
"Rum," panggil Mas Faisal, memecah keheningan malam.
"Iya, Mas."
"Apakah kamu bahagia hidup dengan Angga?"
Tertegun! Pertanyaan yang dulu pernah diucapkan, kembali terdengar oleh indra pendengaran. Apa yang harus aku jawab? 
Sejujurnya aku merasa kesepian selama ini. Hanya kehadiran Bilqis yang membuat asa semakin kuat. Namun, ketika semua orang terlelap kesepian itu kembali datang bertamu.
Pernah memutuskan untuk mencari hiburan di sosial media. Akan tetapi, banyaknya kemesraan secara terang-terangan di sana, membuat rasa sepi semakin bergejolak. Sejak saat itu, aku putuskan untuk menjauhi sosial media. Memang tidak sepenuhnya, tapi bisa dikatakan hanya sedikit waktu untuk itu.
Pada akhirnya aku mengalah saja dan berusaha untuk bersabar. Mungkin, Mas Angga memang belum sepenuhnya menikahiku, walaupun kami sudah memiliki anak. Bisa dikatakan dia melakukan semuanya untuk memenuhi kewajibannya saja. 
"Kamu jujur saja, Rum. Mas tahu semuanya."
Aku terkejut. Mas Faisal tahu semuanya? Apakah dia juga tahu tentang aktivitas ranjang kami, yang bisa dikatakan tak berwarna.
"Mas tau apa? Jangan pura-pura paling tau tentang hubungan rumah tangga orang lain, Mas." 
Aku masih berusaha menutupi semuanya. Meskipun ada godaan yang terus merayu agar aku membuka semuanya.
"Kamu tidak bahagia kan, Rum? Angga pasti sering mengabaikanmu. Apa dia pernah mencium dengan rasa cinta?"
Jantung berdebar mendengar ucapan Mas Faisal. Apa maksudnya memancing pembicaraan seperti itu. 
"Rum, sebenarnya Mas menyukaimu. Maukah kamu menjadi kekasih Mas?" Mas Faisal menatapku, setelah menghentikan mobil.
Dia menggeser duduknya. Semua itu tentu saja membuatku takut. Jangan-jangan dia sempat minum minuman yang beralkohol, sehingga membuatnya setengah mabuk.
"Mas Faisal jangan aneh-aneh." 
Bilqis yang masih tidur kudekap erat-erat. Tangan Mas Faisal bergerak ke arahku. Entah apa yang akan dia lakukan.
"Lebih baik dicintai daripada mencintai, Rum. Dicintai akan membuatmu menjadi ratu. Sementara mencintai akan menjadikanmu babu. Kita sama …."
Huft! Mas Faisal kembali menarik tangannya. Kemudian dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil.
"Kenapa Tuhan tidak adil."
Mas Angga terus mengoceh, sepertinya dia sedang mengeluarkan uneg-uneg. Aku hanya diam tidak menanggapi apa-apa.
"Jika kamu mau menjadi kekasihku. Maka akan aku jadikan kamu ratu, Rum. Ratu Rumina, hamba siap melayani sepenuh hati."
Mas Faisal tersenyum, seraya menatapku lama. 
"Tapi sudahlah. Kamu pasti tidak akan mau. Iya kan, Rum?" 
Mas Faisal kembali menghidupkan mobil. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan tanpa suara. Hanya deru mesin mobil yang terdengar memecah keheningan.
***
"Mas mencintamu, Rum. Selamat malam! Jangan terlalu berharap pada Angga, karena …."
Mata tidak bisa terpejam. Rasa kantuk yang menjadi-jadi di pesta, sirna begitu saja. Masih memikirkan kata-kata yang Mas Faisal ucapkan. Dia membuat kepala berpikir keras. Entah aku yang terlalu polos, sehingga tidak bisa mencerna maksud dari kata-katanya.
Sudah pukul tiga pagi, Mas Angga belum juga pulang. Aku mulai was was, takut sesuatu terjadi padanya. Namun, masih mencoba untuk tetap berpikir positif.
"Mas Faisal … benarkah dia menyukaiku?" 
Menggigit bibir, melangkah mondar-mandir. Jangan-jangan semua hanya trik dia saja. Dia ingin membuat rumah tangga kami hancur. Akan tetapi, apa keuntungan dari semua itu?
Aku masih betah memikirkan semuanya. Sehingga, ketukan pintu membuatku terkejut. Segera berjalan menuju pintu, membukanya dan melihat wajah Mas Angga yang sedikit kusut. Dia menatapku, tidak langsung masuk.
Aku berusaha tersenyum menyambutnya pulang. Walaupun sebenarnya aku kecewa atas semua kelakuannya. Namun, hal tak terduga terjadi begitu saja dan sangat cepat.
Plak! 
Satu tamparan keras dari Mas Angga membuatku terhuyung. Rasa perih bercampur panas di pipi membuat air mata mengalir begitu saja. Langsung bangkit memegangi pipi, berlari menuju kamar.
"Rum, mau kemana kamu?!" Suara lantang Mas Angga tidak aku pedulikan lagi.
Menutup seluruh tubuh dengan selimut. Menangis dengan isakan tertahan. Itulah yang aku lakukan.
"Rum, apa yang kamu lakukan pada Faisal? Heh, bangun!" 
Mas Angga menyibak selimut. Mau tak mau, aku bangkit dengan wajah yang bersimbah air mata.
"Apa yang aku lakukan, Mas?"
"Dia itu sudah beristri, kenapa kamu goda-goda dia? Memalukan sekali! Apa kamu kekurangan sentuhan dariku, ha?!" Mata Mas Angga melotot dan memerah. Dia benar-benar sudah termakan fitnahan sahabatnya itu. 
"Aku memang kesepian, Mas. Tapi tidak mungkin aku menggoda sahabat kamu," jawabku hanya di dalam hati.
"Kenapa diam saja? Apa maksudmu memaksa Faisal masuk ke kamar ini? Kamu sengaja menggoda dia? Murahan!" 
Di balik rasa sakit hati, aku sedikit bahagia. Mas Angga marah karena cemburu padaku, bukan? Rasa cemburunya itu membuktikan dia benar-benar mencintaiku. Rasa sakit hati berangsur pergi. Apa yang aku pikirkan selama ini tidak sepenuhnya benar. Tanpa terasa, aku tersenyum dalam tangisan.
"Kenapa kamu tersenyum? Jika kamu mau menggoda laki-laki, silahkan! Tapi tolong, jangan Faisal. Paham!" Mas Angga membalikkan badannya, berlalu keluar kamar.
Bagai disambar petir, aku terkejut bukan main. Apa yang barusan aku dengar?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (79)

  • avatar
    Xellyn

    baguz

    14h

      0
  • avatar
    _Desu`Dza

    kᥱrᥱᥒᥒᥒ

    3d

      0
  • avatar
    NASAIda

    sangat seru

    3d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด