logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Dua

"Siapa Viona? Apakah dia selingkuhan Mas Angga?" Aku bertanya di dalam hati. 
Pertanyaan itu mengusik pikiranku, satu nama yang diucapkan Mas Angga ketika matanya terpejam. Tentu saja mengusik hatiku. 
"Terima kasih Viona." Begitu kalimat yang suamiku ucapkan. Maksudnya apa? Apakah Mas Angga berselingkuh dariku? Mungkinkah laki-laki sedingin dia punya wanita idaman lain?
Kutatap wajah Mas Angga yang masih terlelap pulas. Aku menggeleng cepat, tidak mungkin suamiku berselingkuh. Itulah yang aku tekankan pada hati. Sebelum beranjak dari tempat tidur, aku kecup pipinya dengan penuh rasa cinta. Hanya ketika dia tidurlah aku bisa mencium pipinya. Itu saja sudah membuatku bahagia. 
Turun dari kasur, lekas menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Kamar mandi berada terpisah dari kamar tidur kami. Oleh karena itu, aku harus melangkah keluar, seraya menutupi tubuh dengan selimut.
Usai membersihkan diri, aku duduk sejenak di meja rias. Namun, entah kenapa kalimat yang aku dengar sebelumnya kembali menghantui.
"Belum tidur, Rum?" 
Aku membalikkan badan, tersenyum tipis pada Mas Angga yang baru saja bangun. Bergegas aku beranjak dari depan meja rias. Meskipun hidup kami sederhana, Mas Angga tidak lupa membelikan aku meja rias. Walaupun bukan yang mahal, tetapi aku sangat bahagia.
"Belum, Mas." 
Menjatuhkan diri di samping Mas Angga. Aku sudah berpakaian lengkap. Daster selutut yang bertali di pinggangnya. Jika ditarik akan membuat lekukan pinggang menjadi terekspos. 
"Aku mau mandi, Rum." Mas Angga mengusap wajahnya.
"Iya, Mas. Sebentar aku siapkan dulu."
Mas Angga mengangguk. Aku kembali keluar kamar, menuju dapur. Jika berhubungan malam hari, dan dia memutuskan mandi di malam hari juga, aku akan mempersiapkan air hangat untuk Mas Angga. Begitulah rutin aku lakukan, sejak hidup bersamanya.
Jika ditanya, apakah Mas Angga sering mengajakku beribadah, maka jawabnya iya. Sungguh membingungkan bukan? Karena itulah aku menjadi dilema olehnya. 
Pernah terpikir untuk berpisah saja, tetapi Mas Angga tidak menggubris permintaanku. Hingga pada akhirnya aku pun terlambat datang bulan. Garis dua itu pun muncul, membuat perasaan bercampur aduk. Namun, kala itu aku hanya berpikir positif, bahwa semua adalah cara takdir menyuruhku untuk bertahan.
Hamil anak pertama, membuatku berpikir ulang untuk mengakhiri pernikahan. Masa cuma karena dia tidak romantis, lalu aku memutuskan untuk bercerai. Aku rasa, persoalan itu masih bisa diatasi. Begitulah terus aku menghibur diri sampai Bilqis lahir. 
Rebusan air panas untuk persiapan Mas Angga mandi sudah aku sediakan. Setelah mengukur temperatur airnya yang sudah pas, aku kembali ke kamar. 
"Mas, airnya sudah selesai," ucapku, seraya tersenyum.
"Terima kasih, Rum. Aku mandi dulu." Mas Angga mengucapkan terima kasih dengan wajah tanpa senyuman.
"Iya, Mas. Sebentar aku ambilkan handuk."
Aku ambilkan handuk untuk Mas Angga, tidak mungkin juga dia berjalan ke kamar mandi tanpa penutup. Handuk aku serahkan padanya, Mas Angga pun sekali lagi mengucapkan terima kasih. Setelah dia keluar dari kamar tidur, aku segera memutuskan untuk tidur, karena harus tetap bangun lebih awal.
*****
Ponsel yang jarang ku sentuh dan gunakan itu, tiba-tiba berdering. Aku baru saja menidurkan Bilqis di kasur. Agar tidak was-was, aku bentengi dengan bantal di sekitar Bilqis yang tertidur lelap.
Menatap ponsel, di sana tertera nama Mas Angga. Tumben sekali dia menelponku siang-siang. Untuk menghilangkan rasa penasaran, aku segera mengangkat panggilan itu. 
"Halo, Mas." 
"Rum, nanti malam Faisal mengadakan acara di rumahnya," ucap Mas Angga di ujung sana.
"Iya, Mas. Terus?" tanyaku kurang mengerti maksud Mas Angga menelepon.
"Jadi kita ke sana nanti malam."
"Hmm, kalau Mas saja yang pergi bagaimana?" tanyaku hati-hati. 
Bukannya tidak menghargai Mas Angga, hanya saja aku memang sengaja menghindar dari temannya itu. Pengalaman yang pernah terjadi, membuatku enggan bertemu atau semacamnya.
"Loh kenapa, Rum?" tanya Mas Angga lagi, seakan keberatan.
"Gak apa-apa sih, Mas. Cuma, aku malas saja." Terpaksa aku jawab apa adanya.
"Jangan begitu, Rum. Harusnya kamu hargai teman-temanku. Apalagi Faisal adalah teman terdekatku."
Percakapan kami pun diputus sebelah pihak. Sepertinya Mas Angga marah padaku. Aku hanya bisa menghela nafas, dan membuangnya secara kasar. Andai Mas Angga tahu, aku menolak bertemu sahabatnya itu, justru karena sangat mencintai Mas Angga. 
Namun apa boleh buat, Mas Angga tentu lebih membela temannya. Karena itulah semua kejadian yang tak pantas itu aku simpan dan aku pendam saja.
Ingatan masa itu kembali menari-nari di pelupuk mataku.
***
"Rum, apakah kamu bahagia hidup dengan Angga?" tanya Mas Faisal.
Dia membuka obrolan yang membuatku terkejut. Saat itu Mas Angga keluar rumah sebentar untuk membeli air galon. Hanya ada aku dan Mas Faisal saja di rumah. 
"Kenapa bertanya gitu, Mas?" tanyaku.
"Hmmm, ya gak apa-apa sih. Kalau kamu tidak bahagia, aku siap membahagiakanmu," ucap Mas Faisal, seraya terkekeh. 
Dia pikir candaannya itu adalah lelucon yang akan membuatku tertawa. Padahal, itu semua membuatku tahu seperti apa kualitas dirinya.
Saat itu, aku hanya diam. Kemudian, aku pura-pura ke belakang. Semua itu aku lakukan agar menghindar dari Mas Faisal. Apalagi dia memulai obrolan yang tak pantas menurutku.
"Saya permisi ke belakang dulu, Mas."
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung beranjak menuju dapur. Sengaja mencari kegiatan untuk menghindari Mas Faisal. Tiba-tiba dia sudah berada di belakangku.
"Mas Faisal, kok ikut kemari?" Aku bertanya, mata terbuka lebar. Tidak menyangka dia seberani itu.
"He he he, nggak kok, Rum. Cuma mau mengambil gelas." 
Dia tersenyum, mendekati rak piring. Akan tetapi, matanya tak berhenti melirik padaku. Semua aku ketahui, karena aku meliriknya dengan sudut mata.
"Aku bisa kok membahagiakanmu, Rum. Lebih baik dicintai daripada mencintai," bisiknya di belakang pundakku, ketika dia lewat sehabis mengambil gelas. 
Memejamkan mata dan menahan nafas. Aku takut kalau saja Mas Angga memergoki saat itu juga. Untunglah Mas Angga belum pulang, dan Mas Faisal kembali ke ruang depan.
Huft! Mulai bisa bernafas lega. Aku tidak tahu apa maksud Mas Faisal saat itu. Mungkinkah dia menyukaiku? Kenapa? Bukankah aku istri sahabatnya?
***
Rengekan Bilqis menyadarkan aku dari lamunan. Secepat mungkin naik ke kasur untuk menggendong Bilqis.
"Anak Bunda sudah bangun?" Aku berusaha tersenyum, melupakan kenangan tak mengenakkan itu. Kembali fokus pada Bilqis.
Seperti biasa, aku akan mengajak Bilqis bermain di ruang tamu. Sementara menunggu waktu petang datang menjamu. Biasanya aku akan memandikan Bilqis setelah warna kemerahan menghiasi langit, tepatnya setelah waktu Ashar hampir habis. 
Menjelang magrib sampai Mas Angga pulang tak ada kegiatan lagi, selain menjaga, bermain dan mengedukasi Bilqis. Begitulah rutinitas yang sering aku lakukan.
Bosan? Terkadang aku merasa bosan. Namun, aku berusaha mencintai itu dan berdamai dengan keadaan. Besar harapan kebosanan itu terobati ketika Mas Angga pulang. Akan tetapi, semua itu tak kunjung aku dapatkan. 
Sedingin-dingin sikap Mas Angga, aku tetap mengerjakan tugas sebagai istri sebaik mungkin. Bersamaan asa yang terus aku pupuk agar tak gampang memudar.
"Mas, aku yakin suatu saat kamu akan melunak." 
Kalimat itu terus aku ucapkan setiap hari. 
***
Tepukan pelan di pipi membuat aku terbangun. Mengucek mata, tatapan bertemu dengan wajah Mas Angga yang terlihat menegang. Mungkinkah dia sedang menahan emosi?
"Mas maaf, aku ketiduran," ucapku segera beranjak.
"Istri macam apa kamu, Rum?" Mas Angga beranjak begitu saja. Kemudian, dia menghampiri Bilqis yang tertidur di karpet.
"Apa maksud kamu, Mas?" 
"Tadi aku bilang apa? Harusnya kamu sudah siap-siap."
Aku hampir lupa, malam akan menghadiri acara di rumah sahabatnya. Aku bukan tipe orang yang gampang lupa. Hanya saja acara itu kurasa tidak terlalu penting. Jadi, mungkin karena itu aku melupakan begitu saja.
"Lekaslah siap-siap. Bilqis biar aku yang urus," ucapnya lagi.
"Mas sudah mandi?"
"Sudah! Jangan banyak tanya lagi. Lekaslah bersiap-siap."
Aku pikir sudah cukup aku berangkat dengan penampilan seperti ini. Untuk apa aku berdandan, aku justru takut jika harus berdandan menghadiri acara Mas Faisal.
"Sebentar, Mas."
Buru-buru ke kamar mengambil gendongan Bilqis. Kembali keluar dengan gendongan di pundak.
"Mas, aku siap. Ayo berangkat."
Mas Angga melongo, menatapku dari bawah sampai atas. Kemudian dia menggeleng-geleng.
"Kamu ingin aku malu, Rum?"
"Maksud, Mas? Aku melakukan kesalahan?"
"Kamu mau datang bersamaku dengan penampilan seperti ini?" Mas Angga mendecak.
"Mas, aku …."
"Ganti bajumu, kalau masih mau menjadi istriku. Asal kamu tahu, di sana akan hadir banyak orang. Jangan malu-maluin aku!" Mas Angga menjatuhkan bokongnya di kursi. Sepertinya aku sudah membuatnya emosi.
Tanpa membantah lagi aku segera masuk ke kamar.
Di depan cermin aku masih berpikir. Haruskah aku berdandan? Apakah lebih baik aku kesana tanpa polesan make up. Jika untuk meraih hati Mas Angga tentu aku bersemangat. Namun, disana akan banyak teman laki-lakinya. Rasanya aku sungkan dan tak suka. 
Apa yang harus aku lakukan? Berdandan agar Mas Angga tak malu, atau ….
Dilema jadinya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (79)

  • avatar
    Xellyn

    baguz

    14h

      0
  • avatar
    _Desu`Dza

    kᥱrᥱᥒᥒᥒ

    3d

      0
  • avatar
    NASAIda

    sangat seru

    3d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด