logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Chapter 4


Sepulang sekolah Keisya akan pergi ke rumah Ranti, tantenya, rumahnya tak jauh dari sekolahnya. Tentunya dengan seizin sang ayah. Ia sudah di halte bersama Nayla yang sedang menunggu jemputan.
Sejak insiden ia menitipkan tanggung jawab untuk merawat Jendra kepada PMR laki laki harinya menjadi penuh semangat. Keisya sudah memesan ojek online yang akan mengantarkannya ke rumah sang tante. Tinggal menunggu saja.
Dan tak lama ponselnya berdering. "Halo mbak, saya sudah di deket SMA sejahtera, mbaknya dimana ya?" Tanya bapak ojol di seberang sana.
"Saya di halte pak, yang pake tas biru Dongker ya,"
"Oh oke sip,"
Tut.. Tut..
Sambungan telepon dimatikan oleh bapak ojol itu. Tak lama terdengar suara menyebut namanya. "Keisya yang mana?" Seorang bapak bapak yang mengenakan jaket ojol dengan motor matic berseru di banyaknya murid murid sejahtera.
"Ah saya pak! Pak Iwan ya?" Setelah mendapat jawaban dan pamit pada Nayla, Keisya naik ke motor itu dan mengenakan helm yang diberikan oleh bapaknya dan mereka melesat meninggalkan lingkungan sekolah.
Beberapa menit kemudian ia tiba di rumah bercat kuning cerah bergerbang hitam yang tak terlalu tinggi. Keisya turun dari motor dan memberikan satu lembar uang sepuluh ribu kepada bapak ojol dan berjalan menuju pagar.
Tapi tiba tiba pandangannya beralih menatap rumah sebelah, dimana banyak orang yang sedang mengangkut barang dan di naikan ke mobil bak terbuka. Sepertinya orang itu akan pindah. Lalu satu ide cemerlang muncul di otaknya.
"Assalamualaikum Tante!"
Selepas membuka pintu ada Satrio, anak pertamanya tante Ranti yang sedang duduk di bawah sofa, kelas XII SMA, cuman Satrio ini tidak satu sekolah dengan Keisya.
"Waalaikumsalam, masuk kei!" Cowok itu sedang nge-game di PS sendirian.
"Ante sama Depin mana Sat?" Keisya mendudukan bokongnya di atas sofa.
"Mamah lagi tidurin Depin, nangis mulu tuh bocah dari tadi."
"Ooh,"
Keisya bangkit dari duduknya dan melepas tas yang menggantung di punggungnya menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil gelas lalu menuangkan air dan di tenggak, ah rasanya sudah seperti tidak minum berapa tahun.
Setelah itu Keisya berjalan menuju kamar tempat dimana Ranti menidurkan Devin, adiknya Satrio. "Syutt! Tante, masak apa? Aku laper hehehe."
Ranti yang sedang mengusap ngusap kepala seorang anak perempuan pun menoleh kearah sumber suara dan bangkit dari tidurnya. "Hadeh! Baru sampai udah nanya makan, salim dulu dong!"
"Hehehe, ya maaf."
"Tuh tante masak ayam, tau aja sih tante masak yang enak enak jadi main ke sini!" Keisya hanya menunjukkan cengirannya.
"Ayo jangan disini, nanti Devin bangun. Tante ribet lagi." Ajak Ranti di angguki Keisya. Lalu mereka berjalan menuju ruang tamu lagi dimana Satrio tengah bermain game.
Keisya berbelok kearah dapur untuk mengambil makanannya dan menyusul Ranti lagi ke ruang tamu dan duduk di sofa tempat semulanya. "Eh tante, itu rumah sebelah lagi pindahan ya?" Ranti mengangguk.
"Iya kei! Lo minta aja sama om Fathan pindah kesana, rumahnya nggak gede gede amat, nggak kecil juga, pas lah, deket juga sama sekolah lo!" Satrio berucap tanpa mengalihkan perhatiannya dari permainan bolanya.
Mata Keisya tampak berbinar mendengarnya. Membayangkan hidupnya yang selama ini suka kesepian bila ayahnya bekerja. Kan jika rumahnya deket sama rumah Ranti enak, kalo bosen tinggal ngesot. Main sepedah sama Devin, ikut Sartio ke sekolahnya dan masih banyak lagi.
"Emang ayah kamu mau apa huh?!" Ucap Ranti membuyarkan lamunan Keisya.
"Rayu lah mah! Masa gitu aja Keisya gak bisa," Sahut Satrio.
"Enak juga sih kalo rumahnya disitu, kalo aku bosen main aja kesini, gak usah jauh-jauh iya kan?" Satrio sudah mem- pause gamenya dan menatap Keisya dan Ranti bergantian sambil mengangguk semangat.
"Iyalah! Makanya lo rayu om Fathan!"
"Sip sip sip okey!" Kobaran semangat dari dalam diri Keisya membara.
•••
Tiga orang berbeda jenis kelamin ini sedang berkumpul duduk di depan TV yang tak lain tak bukan adalah, Jendra, Selin, bundanya, dan Syiha adiknya. Perempuan setengah baya itu, Selin tengah sibuk dengan ponselnya dan mengacuhkan kedua anaknya.
"Main hp mulu sih Bun!" Tegur Syiha.
"Berisik ah dek, bunda lagi liat rumah dijual nih! Yang punya baru pindah tadi."
"Rumah dijual buat apaan Bun? Kita mau pindah?" Tanya Jendra.
"Iyalah Endra, rumah ini jaraknya terlalu jauh sama sekolah kamu, boros bensin." Jawab Selin.
"Terus aku Bun?! Sekolah aku kan gak jauh-jauh amat dari sini, berati kalo pindah malahan jadi jauh dong?" Protes si anak bungsu.
"Kamu kan sekolahnya tinggal beberapa bulan lagi dek, nanti naik ojek kan bisa." Jawab lagi Selin.
"Oh iya, eh rumahnya tingkat atau nggak?"
"Nggak. Tapi luas, kalo rumah ini tingkat tapi kecil. Mau kan bang?"
"Mau lah, aku juga ngantuk kalo berangkat sekolah harus pagi pagi cuma gara gara jarak. Uang jajan aku juga ke pake untuk beli bensin." Jawab Jendra.
"Oke, bunda sama ayah udah bicarain ini kemarin, jadi ayah juga oke. Nah bunda mau survey langsung, kamu pulang jam berapa besok bang?" Tanya Selin pada Jendra.
"Aku pulang Ashar Bun, besok sparing."
"Yah, padahal bunda pengen minta anterin hihihi,"
"Sama aku aja bun!" Sahut Syiha semangat.
"Oke."
•••
Sepulang dari rumah Ratna, langit sudah gelap dan adzan Maghrib tengah berkumandang. Keisya memutuskan untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Setelah membersihkan tubuhnya ia akan menjalankan ibadah sholat Magrib.
Setelah melakukan semua aktifitas yang diperlukan, Keisya merebahkan diri di kasur, mengistirahatkan tubuhnya. Dan berdiam diri beberapa menit. Hanya beberapa menit dan ia kembali duduk, Keisya tidak berniat untuk tidur sekarang.
Jam menunjukkan pukul 18:21 dan Fathan baru akan pulang beberapa menit lagi. Ia akan mengisi waktu itu untuk membaca sisa sisa bagian buku yang belum di bacanya. Keisya berdiri dari duduknya di kasur menuju bangku meja belajar dan menyalahkan lampu belajarnya.
Lalu ia mengambil salah satu buku dari 5 tumpukan buku yang ada dan larut dalam bacaannya. Beberapa menit kemudian fokusnya terpecahkan oleh suasana hati yang tiba tiba berubah. Hening beberapa saat hingga.
"Ayah mau nggak ya turutin permintaan aku untuk pindah ke rumah itu dan ninggalin rumah yang banyak kenangannya ini?"
"Kalo aku pindah kesana, rumah ini banyak kenangannya. Tapi kalo nggak pindah aku kesepian."
"Kenapa bunda harus sakit dan tinggalin aku ya? Kalo bunda masih ada kan nggak perlu pindah, aku ada temennya."
Suasana menjadi mellow dan air mata mengalir begitu saja dari pelupuk mata Keisya. "Ah aku cengeng banget sih! Siapa tau ayah mau pindah kan?!"
Menit demi menit berlalu dan suara bariton yang berasal dari ruang depan yang di yakini Keisya adalah ayahnya membuat cewek itu keluar dari kamarnya. "Eh ayah! Assalamualaikum."
"Iya iya ayah lupa, Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam, ayah udah makan?"
"Udah tadi di kantor, kamu udah?"
"Udah, tadi aku kan makan di rumah tante." Fathan manggut-manggut saja dan izin ke kamar untuk berganti pakaian.
Beberapa menit kemudian pria paruh baya itu keluar dari kamarnya dengan pakaian santai. "Ayah aku mau ngomong,"
"Ini kan kamu lagi ngomong." Jawab Fathan santai.
"Ish maksudnya mau ngomong serius ayah!" Fathan tertawa kecil.
"Iya iya, apa?"
"Tapi duduk dulu!" Kemudian keduanya duduk di sofa dengan TV menyala.
"Rumah di samping rumahnya tante di jual. Jadi kita pindah yuk!"
"Ogah!" Mendengar jawaban Fathan Keisya menarik nafas panjang.
"Dih kenapa?"
"Rumah ini banyak kenang kenangannya sama bunda kamu."
"Tapi aku kesepian disini kalo ayah kerja," ucap Keisya pelan, takut.
"Kan kamu bisa main ke rumah tante kamu kalo bosen! Nggak perlu pindah pindah!" Nada suara Fathan yang naik satu Oktaf membuat nyali Keisya untuk merayu lenyap begitu saja.
"Yaudah ayah masuk kamar duluan, kamu tidurnya jangan malem malem!" Selepas mengatakan itu Fathan pergi begitu saja.
Keisya menarik nafas panjang lalu menyusul masuk ke kamarnya.
•••
Siang hari setelah pulang sekolah Keisya akan pergi, lagi ke rumah Ranti untuk mengadu atas sikap ayahnya semalam. Kini ia sudah berdiri di depan pagar hitam rumah Ranti, tantenya. Tatapan matanya menatap tak ikhlas kepada rumah yang di jual kemarin.
Keisya menghela nafas setelah itu membuka gerbang hitam di depannya dan membuka pintu, "assalamualaikum." Ranti dan Devin, bocah perempuan berumur 5 tahun itu sedang disuapi.
"Waalaikumsalam." Ranti meletakan piring yang dari tadi ia pegang, Keisya berjalan kearahnya dan mencium tangan tantenya itu. Lalu mencium pipi tembam Devin. "Muka kamu kusut banget! Kenapa sih?"
"Masa ya tan, ayah malah langsung ngegas pas aku ajakin pindah ke rumah sebelah! Ish udah gitu abis ngomel aku ditinggal pergi masuk kamar!" Adu Keisya setelah meletakan tasnya.
Ranti kembali mengambil piring yang tadi diletakkannya dan kembali menyuapi Devin makan. "Emang kamu ngomongnya gimana sampai ayahmu marah gitu?" Tanya perempuan paruh baya itu.
"Gini 'ayah, rumah di samping rumahnya tante kan di jual, kita pindah yuk!' gitu. Eh ayah langsung ngegas! Kesel ah aku!" Ucap Keisya menirukan ucapannya tadi malam.
Ranti geleng-geleng kepala. "Lah iyalah pasti marah! Kamu langsung to the point gitu ngomongnya, harusnya basa basi dulu, biar nggak tegang." Tutur Ranti.
"Ah males! Kalo basa basi ujung ujungnya nggak mau sama aja." Keisya memutar bola mata malas lalu mengambil remote tv dan mengganti ganti chenel.
"Assalamualaikum." Suara berat khas laki laki, Satrio, cowok itu sepertinya baru pulang dari sekolahnya.
"Waalaikumsalam." Jawab ketiga cewek itu serempak, termasuk Devin.
"Mah mah, tadi di sebelah ada ibu ibu sama cewek seumuran Keisya lagi liat rumah nya pak Majid! Kayaknya mereka mau beli itu rumah deh!" Seru Satrio mengompori Keisya.
"Bangsat! Kalah grecep gue." Teriak Keisya frustasi.
"Heh! Keisya cewek cewek ngomong kasar! Nggak boleh, nggak baik." Nasihat Ranti.
"Namanya dia kan Satrio tan, aku panggilnya bangsat, bukan ngomong kasar." Bela Keisya.
Sartio tertawa. "Hahaha, emang om Fathan nggak mau? Kasihan! Hahahaha." Melihat jawaban Keisya yang menggeleng membuatnya kembali tertawa.
"Bukan rezeki kamu kei, sabar." Nasihat Ranti. Keisya pasrah.
-_-
Beberapa menit sebelum adzan Maghrib berkumandang, seorang remaja laki laki baru muncul di balik pintu rumahnya. Jendra. Cowok itu baru pulang latihan basket untuk turnamen. "Assalamualaikum," salamnya.
"Waalaikumsalam masuk bang!" Seorang wanita paruh baya menjawab salam anak laki lakinya.
Jendra melepaskan sepatu yang membalut kakinya lalu menghampiri bundanya dan mengecup tangan bundanya. "Tadi jadi kesana Bun?"
"Jadi, sama Syiha berdua."
"Syiha nya mana?" Tanya Jendra saat tak melihat batang hidung adiknya.
"Di kamar, Syihaaaaaa! Adekkk!" Tak lama setelah teriakan menggelegar Selin, cewek dengan kuncir kuda keluar dari salah satu bilik kamar.
"Eh abang! Tadi aku ke rumah yang bunda bilang tau! Rumahnya bagus! Luas juga lagi! Terus disamping rumah itu ada rumah cowok ganteng bang!" Seru Syiha di akhiri dengan bisikan.
"Cowok mulu! Belajar yang bener biar masuk sejahtera, jadi abang gak usah jemput jemput!" Syiha membulatkan matanya saat mendengar suara besar sang abang. Ah kalo gini ngapain dia bisik bisikan dari tadi.
"Ish!--"
"Udah abangnya mau mandi dulu! Bau asem, dikit lagi magrib jangan berantem terus!" Potong Selin. Kedua anaknya mengangguk kemudian masuk ke kamar masing-masing.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (14)

  • avatar
    SallehBahirah

    Niceeeee🫡🥰

    30/06

      0
  • avatar
    NduttZidniii

    oloo

    14/06

      0
  • avatar
    GorengBakso

    bahasa yang mudah dipahami serta cocok dengan kepribadian remaja.. seperti menceritakan pengalaman yang mungkin pernah dilalui dimasa remaja

    26/05

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด