logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Mencarimu

"Abang mau kemana?" tanyaku pada Bang Nazli -kakak lelaki ketigaku- yang saat aku keluar dari kamar terlihat sudah rapi dan sedang memasukkan beberapa kotak bekal makanan ke dalam tas jinjing.
"Balik ke kota, Dek, mau lihat rumah kita. Sudah sebulan kita tinggalkan ... "
"Aku ikut," kusela cepat jawaban bang Nazli barusan sebelum ia selesai bicara.
"Mau ngapain? Jangan! nanti sore, Insya Allah, Abang juga sudah balik lagi kemari." Bang Nazli melarang.
Bulir bening langsung menyeruak turun dari netra. Menatap kak Nahla -kakak perempuanku- dan bang Nazli bergantian. Aku yakin mereka paham makna dari setiap tetesan ini.
Kulihat kak Nahla menganggukkan kepala ke arah bang Nazli yang juga dibalas anggukan bang Nazli.
"Bersiaplah, Dek, kita berangkat setengah jam lagi," ucapnya kemudian yang segera disambut dengan anggukan kepala dariku dan beranjak mengganti pakaian.
"Dek, berjanjilah! Setelah pencarian Azwar ini, apa pun kabar tentangnya, jangan pernah ada lagi air mata ya?!" ujar bang Nazli saat mobil yang kami tumpangi melaju menuju kota.
Aku hanya mengangguk samar dengan lelehan air mata dan tatapan nanar yang selama sebulan ini menemani hari-hariku. Saat aku akan bahagia, membayangkan pernikahan indah bersama Azwar, ternyata ia hanya akan menjadi kenangan.
"Bang, Jika memang nanti kita tidak menemukan Azwar, bolehkah kita buat acara tahlilan untuknya?" Aku bertanya pada bang Nazli. Mencoba meneguhkan keyakinanku sendiri agar aku siap terhadap apa pun hasilnya.
"Pasti, Dek," jawab bang Nazli sambil mengelus kepalaku dan merebahkan di bahunya.
***
Perjalanan tiga jam hanya berisi tangisan dan angan-angan. Siluet saat Azwar meminta kertas, saat ia mengucap janji setia, saat kami berbelanja untuk mengubah penampilannya dan saat lantunan ayat-ayat suci terdengar merdu dari lisannya serta berbagai scene indah lain bersamanya berlomba menguasai seluruh pikiran. Aku semakin tergugu. Beginikah rasanya rindu pada orang yang entah masih ada atau tidak?
"Abang, itu ada orang di halaman rumah kita," ucapku menepuk bahu bang Nazli memberi tahu jika ada sesosok yang entah siapa sedang berdiri diam tanpa gerakan apa-apa menatap reruntuhan rumah kami. Posisinya membelakangi jalan sehingga wajahnya tidak terlihat. Siapa dia?
"Ayo, Dek!" Tanganku ditarik bang Nazli agar segera mengikutinya mendekat ke arah rumah kami. Puing-puing tembok rumah berserakan. Sebahagian runtuhannya menutupi dinding lainnya yang masih berdiri. Benar-benar harus banyak perbaikan agar kami bisa kembali ke rumah ini.
Saat kami semakin dekat sosok itu membalik badannya, mungkin karena mendengar langkah kaki.
"Alia!"
"Azwar!"
Aku ternganga, ia pun demikian. Sebulan aku menangisinya. Mendoakan, membayangkan dalam angan dan berusaha berdamai dengan hati jika ia memang telah pergi selamanya, kini berdiri di hadapan. Mimpikah?
Lagi, untuk kesekian kalinya air mata yang memang belum sepenuhnya kering, mengalir semakin deras. Bukan, ini bukan lagi tetesan pilu disertai rindu yang tak menentu. Akan tetapi lelehan ini, lelehan syukur haru karena melihat orang yang hampir kuyakini tak pernah mungkin lagi bertemu berdiri di depan mata.
"Jangan menangis, Alia!" Ia mendekat. Bang Nazli pun sepertinya tak kalah terkejut.
"Ayo kita masuk, mungkin bisa menemukan sedikit ruang untuk kita duduki di dalam sana!" ajak bang Nazli.
Aku duduk dalam diam. Masih mencerna kenyataan di depan mata. Ada bahagia yang tak bisa kujelaskan melingkupi seluruh hati.
"Kalian bicara saja dulu di sini, ya! Abang mau mengecek seluruh kondisi rumah," ucap bang Nazli sambil berlalu meninggalkan kami berdua.
"Abang pikir, semua yang tercinta dalam hidup Abang tak ada yang bersisa," ucap Azwar membuka percakapan setelah bang Nazli beranjak.
Aku masih memilih mendengarkan. Membiarkannya mencurahkan segala rasanya terlebih dulu. Aku menunggu sambil sesekali menatapnya yang mulai akan bercerita lagi.
"Mamak dan Adik Abang sudah enggak ada, Alia." Aku mendongak. Melihat buliran bening dari mata Azwar meluruh bersama dengan tubuhnya yang juga seakan melemah menyenderkan punggung ke dinding di belakangnya.
"Mereka berdua dibawa air di depan mata Abang, tanpa sempat Abang raih." Lagi tetesan matanya berlomba satu persatu.
Air mataku memang belum sepenuhnya berhenti sejak tadi, sehingga kabar ini semakin membuatnya menganak sungai. Bayangan wajah mamak dan adik Azwar berlintasan di pelupuk mata. Calon mertua yang baru satu kali sempat bertemu. Ternyata itu perjumpaan pertama dan juga yang terakhir kalinya.
Aku tetap diam membiarkan. Aku yakin ia butuh teman mencurahkan segala lara itu. Tidak mungkin ada orang yang baik-baik saja ditinggal untuk selamanya oleh yang tercinta, apalagi itu ibu.
"Sehari setelah itu, saat jalanan sudah sedikit memberi ruang untuk dijajaki meski harus melewati mayat demi mayat yang bergelimpangan, Abang datang kemari. Mencari kalian. Kamu dan keluargamu, Alia. Berharap, ada sedikit harapan yang tersisa." Tatapan mata Azwar menerawang.
"Sayangnya, kalian pun tidak ditemukan." Kini tatapan Azwar mengarah tepat ke wajahku.
Aku masih bungkam. Hanya melalui sorot mata mengatakan padanya bahwa aku ingin ia meneruskan ceritanya.
"Setiap hari Abang kemari. Tidak ada satu hari pun Abang lewati tanpa mencarimu. Berharap masih ada hal berharga dalam hidup Abang yang tersisa. Kamu, Alia." Azwar menghela napas.
"Setiap posko pengungsi di dekat sini Abang datangi, tapi kalian tidak ada. Para tetangga yang selamat di sekitar sini Abang tanyai, tetap tak ada satu pun yang pernah melihat keluargamu setelah musibah itu." Azwar menutup kalimatnya dengan menyeka mata yang basah.
"Kami mengungsi ke rumah keluarga jauh di hari pertama, bukan di camp pengungsian. Sehari setelahnya, Bang Nurman -kakak lelaki pertamaku- menjemput kami dan selama sebulan ini kami tinggal bersamanya." Aku mulai bersuara mengabari Azwar sekaligus sebagai jawaban mengapa nama kami tak pernah ada di setiap posko pengungsi.
Kemudian mengalirlah seluruh kata-kata yang menggambarkan bagaimana aku merindukannya dalam pikiran dan doa-doa di atas sajadah.
"Azwar, ikut kami sekarang pulang ke kampung, ya?!" ucap Bang Nazli yang sudah berdiri tak jauh dari sini. Sepertinya ia mendengar cerita Azwar tadi yang hanya tinggal sebatang kara. Tidak ada satu keluarganya pun yang selamat dari musibah itu kecuali dirinya sendiri. Bahkan Azwar pun harus berjibaku dalam gelombang dahsyat itu, hingga meninggalkan beberapa goresan luka di tubuhnya.
***
Malam semakin larut saat aku meninggalkan Azwar dan Bang Nurman yang sedang mengobrol di teras depan. Rasa kantuk menyerangku dengan cepat malam ini. Sudah sebulan aku tidak tidur nyenyak, mungkin ini pelampiasan atas semua itu. Perlahan, aku menutup mata dengan senyum yang telah kembali setelah sekian lama menghilang.
"Alia, aku pamit pulang, ya!" ucap Azwar setelah kami semua sarapan bersama.
"Lho, kok pulang?" tanyaku bingung. Kemarin ia tidak bilang hanya sebentar saja tinggal bersama kami di sini.
Ia tersenyum mengangguk. "Insya Allah aku akan segera kembali, banyak hal yang harus diurus di sana," jawabnya.
Setelah ia pamit pada semua keluargaku dan juga aku yang mengantar kepulangannya sampai ke teras depan, ia berbisik di dekat telingaku, "Alia, aku menunggu kabar baik itu, kalau bisa secepatnya." Azwar tersenyum misterius.
Aku menautkan kedua alis. Kabar baik apa? bang Nurman yang berdiri tak jauh dari kami mengulum senyum menggoda kemudian menepuk bahu Azwar dan menjabat tangannya.
"Sabar, serahkan semua itu pada Abang! Hati-hati di jalan!" ucap abangku itu.
Ada rahasia apa di antara mereka? Kenapa aku tidak tahu?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (782)

  • avatar
    Mohd AmirAhda Suhada bt Mohd amir

    I so like the story

    1d

      0
  • avatar
    TatiHartati

    bagus

    3d

      0
  • avatar
    Naufal

    semoga dapat

    5d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด