logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Chapter Seven

Aku tidak kehilangan akal meskipun Raefal sudah menutup rapat-rapat akses yang bisa kugunakan untuk menemukan semua kebohongannya. Aku cepat-cepat keluar dari ruangan selagi Raefal dan Raffa belum kembali. Susi adalah tujuan utamaku sekarang. Aku mendekatinya tanpa kata, membuat Susi tersentak kaget karena keberadaanku yang begitu mendadak di hadapannya.
“Oh, Ibu. Ada apa, Bu?” tanyanya, masih terlihat terkejut. Aku hanya tersenyum, sedikit merasa bersalah padanya.
“Sus, saya boleh minta tolong nggak?”
“Tentu boleh, Bu. Apa yang bisa saya bantu?” sahutnya penuh semangat, aku kembali tersenyum padanya.
“Kamu bisa gak tolong kirimkan daftar seluruh pegawai di kantor ini ke alamat email saya?” Susi mengernyitkan dahi, mungkin heran dengan permintaanku ini. Tapi, sungguh hal ini sangat penting bagiku. Aku curiga pemilik inisial ZK itu bekerja di kantor ini.
“Cukup kirim daftar nama aja, nggak perlu identitas lengkap,” tambahku.
“Kalau boleh tahu, untuk apa ya, Bu?” tanyanya, terlihat mulai curiga.
“Ada urusan penting. Bisa kan kamu bantu saya?” Susi terdiam sejenak, keraguan terlihat sangat jelas di wajahnya.
“Ayolah, Sus, kan cuma daftar nama aja bukan identitas lengkap mereka yang saya minta. Bisa ya kamu bantu saya? Please,” ucapku mencoba memasang wajah sememelas mungkin. Mungkin karena dia tidak enak menolak permintaan istri atasannya, akhirnya dia mengangguk setuju, membuatku tersenyum lebar detik itu juga.
“Kamu ngapain di sini?”
Aku tersentak, luar biasa kaget. Begitu kuputar leher dan menemukan Raefal sedang berdiri tak jauh dariku sembari memangku Raffa, sukses membuat mataku terbelalak lebar. Aku menghela napas, mencoba berekspresi setenang mungkin, aku yakin dia tak mungkin mendengar pembicaraan kami tadi karena aku bicara sepelan mungkin.
“Mengobrol dengan Susi. Udah lama banget kita gak ketemu. Iya, kan, Sus?”
“Iya, Bu,” jawab Susi. Diam-diam aku bersyukur karena sekretaris suamiku ini benar-benar bisa diajak kerja sama.
“Kalian udah selesai ke toiletnya?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya, udah. Ayo, masuk ke dalam lagi!” ajaknya, kubiarkan Raefal melangkah masuk lebih dulu.
“Sus, tolong rahasiakan permintaan saya ini dari suami saya ya. Saya percaya sama kamu. Saya tunggu kirimannya.”
“Baik, Bu.”
Aku menepuk bahu Susi pelan, sebelum menyusul suamiku masuk ke dalam ruangannya.
***
Tepat pukul 12 siang, Raefal mengajak kami makan siang di salah satu restauran cepat saji yang terletak tak jauh dari kantornya. Raffa girang bukan main, sudah lama memang dia tak kami ajak makan di luar seperti ini. Dia memesan burger, french fries, es krim dengan semangat, suaranya begitu nyaring saat dia meminta ayahnya untuk membelikan semua makanan pesanannya. Aku hanya meringis mendengarnya, sepertinya lain kali aku harus lebih sering mengajak putraku makan di luar jika melihat dia begitu bahagia seperti sekarang ini.
Tak lama kemudian, Raefal kembali dengan membawa nampan penuh makanan yang akan menjadi menu makan siang kami kali ini. Aku tersenyum lebar melihat spaghetty kesukaanku sudah terhidang menggiurkan di depan mata. Tanpa perlu repot-repot menyebutkan makanan apa yang ingin aku pesan, Raefal selalu tahu persis makanan favoritku.
“Es krimnya enak, Daddy. Nanti pesenin aku satu lagi ya,” pinta Raffa dengan manja. Aku dan Raefal saling berpandangan, gemas sendiri melihat tingkah laku putra semata wayang kami.
“Jangan banyak-banyak makan es krim, nanti kamu sakit gigi.”
Aku yang melarangnya, seketika Raffa memberengut tak suka. Dia merajuk dan merengek meminta pembelaan dari ayahnya yang memang selalu memanjakan dirinya.
“OK, nanti Daddy belikan satu lagi. Tapi, cuma satu ya jangan banyak-banyak.” Raffa bersorak girang mendapati keinginannya dikabulkan oleh ayahnya. Berbanding terbalik dengan reaksiku yang memelototi Raefal saat ini.
“Nggak apa-apa, Sayang. Cuma dua kok. Aku janji gak bakalan beliin dia terlalu banyak es krim,” katanya, menyadari kekesalanku.
Aku pun mendengus, memilih menyibukan diri dengan spaghetty-ku dari pada meladeni dua orang keras kepala itu, tetap saja aku akan kalah jika sepasang ayah dan anak itu sudah kompak seperti ini.
“Daddy, Daddy, aku pengen maen ke Trans Studio udah ini. Boleh ya?” rajuk Raffa meminta hal yang lain. Raefal menoleh padaku seolah sorot matanya menunjukan bahwa dia sedang meminta bantuanku untuk membujuk Raffa.
Aku memutar bola mata, bosan. Kubiarkan dia sendiri yang meyakinkan Raffa. Raffa yang sedang merajuk memang akan sangat keras kepala. Sekali-sekali biar Raefal yang merasakan betapa keras kepala putranya itu, karena biasanya akulah yang menghadapinya. Jadi, aku hanya diam, pura-pura sibuk dengan makananku serta pura-pura tak mendengar obrolan mereka.
“Udah ini kan Daddy masih kerja, Sayang,” kata Raefal, berusaha membujuk.
“Pulang kerja aja.” Seperti dugaanku, Raffa anak yang cerdas, selalu tahu cara membuat orang tuanya kebingungan dengan semua keinginannya.
“Daddy kan pulangnya malam. Nanti Trans Studio-nya keburu tutup.”
“Kata siapa? Temen aku ada kok yang ke sana malam-malam, katanya belum tutup.”
Aku terkekeh mendengar jawaban cerdas putraku. Jadi, apa yang akan dikatakan Raefal untuk membujuk anaknya? Aku mulai penasaran sekarang.
“Tapi nggak enak kalau malam-malam kita ke sananya, kamu jadi gak bebas main soalnya nggak lama kita masuk, Trans Studio-nya udah mau tutup.”
“Tapi, aku pengin main ke sana. Temen aku bilang seru.”
“Ya udah, hari minggu nanti, kita ke sana ya.”
Raffa tersenyum semringah hingga deretan giginya terlihat jelas. “Janji ya, Dad. Jangan bohong,” ujarnya. Dia mengulurkan jari kelingking yang langsung dibalas oleh Raefal. Kelingking mereka pun saling terpaut, aku mendengus lagi melihat pemandangan itu.
“Mommy juga ikut ya,” pinta Raffa padaku.
“Tentu aja, Sayang. Nanti Mommy juga pasti ikut.”
“Horeee!” katanya girang, luar biasa. Aku dan Raefal menggeleng serempak melihatnya.
“Kamu udah janji lho sama Raffa. Awas aja kamu bohong,” kataku. Aku menunjuk Raefal dengan garpu yang sedang kugenggam.
“Emangnya kapan aku pernah bohong? Nggak pernah, kan? Tenang aja, aku pasti tepatin janji aku. Udah lama juga kita bertiga gak jalan-jalan, kan?” Aku memutar bola mata, malas. Tak yakin dengan ucapannya ini. Tak pernah berbohong katanya, benarkah? Entah kenapa aku sangat, sangat tidak percaya.
Tak lama berselang, kulihat ponsel Raefal bergetar dan layarnya menyala terang. Ada panggilan masuk, entah dari siapa. Hanya saja satu hal yang kusadari, Raefal tampak terkejut saat melihat nomor yang tertera pada layar ponsel itu. Ponsel yang tergeletak di atas meja itu, cepat-cepat dia ambil. “Aku angkat teleponnya dulu ya.” Dia pergi begitu saja bahkan sebelum aku bersuara untuk memberikan respon.
Begitu melangkah pergi dari meja kami, kulihat dia bergegas mengangkat telepon itu. Aku bersumpah, wajahnya terlihat semringah saat berbicara di telepon dengan seseorang yang entah siapa, bahkan dari kejauhan aku bisa melihatnya dengan jelas, ekspresi bahagianya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (21)

  • avatar
    AthallahAthif

    bagus

    29d

      0
  • avatar
    Hamira Hamade

    Ceritanya berhasil buat aku emosi dan akhirnya tersenyum sendiri 😂

    02/08

      0
  • avatar
    gaming 20rafa

    oky

    25/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด