logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Penghuni Kosan Gang Sempit

Penghuni Kosan Gang Sempit

Arka Garneta


บทที่ 1 Malam Pertama

Kumasukan kunci yang diberikan Ibu Kos tadi ke dalam lubangnya. Perlahan pintu kamar kos yang kusewa terbuka. Bau khas tembok yang lembap menusuk ke rongga hidung. Lalu, kulihat sekeliling, sedikit gelap. Padahal terdapat sebuah jendela di samping pintu. Namun, sepertinya cahaya matahari enggan menembus. Cat biru muda yang menghiasi dindingnya terlihat kusam dan ada beberapa bagian yang terkelupas. Lantai dan kaca jendelanya sangat berdebu. Sepertinya kamar ini sudah lama kosong.
Aku melangkah memasukinya. Cukup luas untukku yang tinggal sendiri. Hanya terdapat kamar mandi di bagian belakang. Aku memutar keran air, memastikan airnya mengalir dengan lancar. Setelah melihat keadaan di dalamnya, kuputuskan untuk membersihkannya besok. Sebenarnya ada perasaan tak enak dan kurang sreg saat pertama kali melihat bagian dalam kamar kos ini, tetapi aku tak enak kepada temanku, Toni, yang sudah membantu mencarikan kosan baru untukku. Lagi pula aku sudah membayar sewanya untuk tiga bulan ke depan.
“Gimana, cocok enggak?” tanya Toni.
“Lumayan cocok,” ucapku berbohong.
Meskipun ada rasa ragu untuk menempati kosan ini, tetapi sayang sekali kalau tidak jadi ditempati. Aku tak rela kehilangan uang meskipun hanya separuhnya. Bayangkan saja uang sewa selama tiga bulan bisa cukup untuk makan sehari-hari selama sebulan.
“Bantuin aku pindahan, ya, besok,” pintaku kepada Toni yang sedang memperbaiki motor pelanggannya setelah tadi menemaniku melihat kosan.
Ya, Toni memiliki usaha bengkel di tepi jalan raya. Kosan yang ditawarkannya untukku terletak di dalam gang kecil di samping bengkelnya. Beberapa waktu lalu aku meminta Toni mencari kosan yang tak terlalu jauh dari tempatku bekerja. Kebetulan ada kosan kosong dekat bengkelnya.
***
Minggu pagi aku sudah berada di kosan yang kemarin sudah kusewa. Seperti sebelumnya saat kukuak pintu tercium aroma lembap dari dalam. Sungguh membuat pernapasan terganggu. Kaki ini seperti menolak untuk masuk. Seperti ada sesuatu yang membuatku berat untuk melangkah, tetapi aku mencoba memaksanya.
Aku menghidupkan lampu agar terlihat terang, tetapi di luar dugaan. Redup! Seperti warung remang-remang. Sebaiknya aku ganti saja nanti. Entah kenapa cahaya matahari seperti tak bisa menerangi kosan ini, padahal di luar sangat cerah.
Setalah seharian membersihkan ruangan ini beserta kamar mandinya, bahkan aku mengecatnya lagi agar tidak terlihat kusam. Aku mengajak Toni membantu mengangkut barang-barang dari kosan lama. Semua harus beres hari ini karena besok aku harus bekerja. Lelah sekali rasanya hari ini. Memang tak banyak yang harus dibersihkan, lantainya pun cukup sekali dilap. Namun, rasanya tetap saja lembap dan aneh.
***
Azan Magrib berkumandang, Toni berpamitan pulang. Ia tidak bisa menemani meskipun aku meminta karena ibunya minta diantar ke rumah saudaranya.
“Besok malam aku temenin, Git.” Toni berinisiatif, melihatku menekuk wajah.
“Ya sudah, salam buat ibumu, ya,” ujarku berbasa-basi.
Baiklah, bukan sehari atau dua hari aku tinggal sendirian di kosan, hampir lima tahun aku merantau. Akan tetapi, kosan yang satu ini terasa berbeda.
“Ah, mungkin cuma perasaanku saja karena masih baru. Nanti juga terbiasa,” gumamku kepada diri sendiri seraya merebahkan diri di kasur busa yang hanya muat untuk satu orang.
Hening! Aku mengambil ponsel dari dalam saku celana. Berselancar di dunia maya dan berkirim pesan dengan beberapa teman. Saat sedang asyik dengan ponselku, tiba-tiba seperti ada yang memperhatikanku.
Perasaan tak enak mulai menjalari tubuh. Bulu kudukku mulai meremang. Degup jantung berdetak tak berirama. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, hanya ada aku seorang yang sedang berbaring. Namun, perasaanku seperti ada yang lain di kamar kos ini.
Mencoba menepis semua perasaan tersebut, aku menyalakan televisi agar tidak terlalu sepi. Sedikit lebih tenang, tetapi tak disangka suara air keran di kamar mandi membuatku kembali merinding.
Ah, mungkin aku lupa menutup kerannya setelah mandi tadi, batinku seraya bangkit menuju kamar mandi.
Namun, saat aku membuka pintunya tidak ada setetes pun air mengalir di sana. Keran tertutup rapat.
“Aneh! Perasaan tadi sangat jelas aku mendengar suara air mengalir,” ucapku kepada diri sendiri.
Aku kembali membaringkan tubuh di atas kasur, saat kepala menyentuh bantal seperti ada angin yang berembus di telinga kanan. Sontak saja aku kaget.
Di sini hanya ada aku sendiri, tetapi perasaanku seolah banyak yang sedang mengamati gerak-gerikku. Jantung mulai berdegup kencang, peluh sebesar biji jagung mulai berjatuhan dari keningku.
Perasaan tak nyaman semakin kuat. Rasanya aku tak akan sanggup menahan ketakutan ini. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa tak ada siapa pun selain aku di sini.
Posisi televisi berada tepat di bawah jendela. Pandanganku sangat jelas menghadap ke luar jendela. Aku bergeming sejenak. Suara televisi yang riuh tak mampu menyamarkan suasana yang dingin dan kaku. Seperti ada yang mengetuk jendela. Ah, Tuhan! Itu membuatku semakin ketakutan dan tak nyaman. Ingin rasanya aku mengintip, tetapi tak ada nyali.
Ah, mungkin cuma binatang terbang yang menabrak jendela, pikirku mencoba menenangkan diri.
Sebaiknya aku tidur saja agar tidak merasakan hal-hal aneh. Aku mencoba memejamkan mata, berharap tertidur dan bangun di pagi hari. Padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam. Biasanya aku tidur tengah malam.
Bukannya tertidur, otakku malah melayang memikirkan hal yang tidak-tidak. Napasku berburu tak beraturan. Saat memejamkan mata pun perasaan seperti ada yang memperhatikan. Membuatku tak kujung terlelap. Kututupi seluruh tubuh dengan selimut, tetapi malah seperti semakin banyak yang memperhatikan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar saja karena tak kuat dengan keadaan di dalam.
Saat ingin membuka pintu, perasaan takut pun melanda. Takut saat kubuka pintu ada sosok tak kasat mata berdiri di depan, tetapi kalau terus berada di dalam sini tak tahan dengan suasananya.
Aku memberanikan diri membuka pintu dengan memejamkan mata. Saat pintu terbuka, perlahan kubuka mata dan … tak ada apa pun di luar. Hanya ada pohon mangga, jambu dan pisang di seberang kosan. Aku bernapas lega. Sejenak aku memperhatikannya, sekilas seperti ada sesuatu yang melihat ke arahku.
Dengan sedikit berlari aku menuju jalan raya di ujung gang. Masih ramai kendaraan berlalu lalang. Akan tetapi, sebagian toko sudah tutup temasuk bengkel Toni. Mataku memindai sekeliling, terlihat ada sebuah warung kopi yang masih buka.
“Ah, aku ke sana saja. Minum kopi mungkin bisa membuat lebih tenang,” gumamku.
“Bang, kopi hitam satu.” Aku memesan segelas kopi kepada pemilik warung seraya mendaratkan bokong di kursi.
Tak terasa waktu hampir tengah malam setelah ngobrol segala hal dengan Bang Tio---pemilik warung. Ternyata warung ini buka dua puluh empat jam, syukurlah, setidaknya saat aku ketakutan di kosan bisa lari ke sini.
Aku melihat ke seberang jalan. Sepi! Namun, mataku menangkap sesuatu sedang berdiri di depan gang kosanku. Sepertinya aku tak berani kembali ke kosan terlebih lagi sudah tengah malam. Lalu, aku harus tidur di mana?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (245)

  • avatar
    KarembongCebong

    Cerita nya serem tapi judulnya menarik👍👍

    13/04/2022

      0
  • avatar
    riskarufia'h

    baru memulai

    19d

      0
  • avatar
    WennyWennymarjeni

    lumayan

    21d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด