logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Chapter 5 Menuju Kematian

"Nona, mau kemana? Biar saya panggilkan Jack," kata Carla melihat Megan sudah berpakaian rapi.
"Tidak usah, aku hanya pergi sebentar untuk bertemu Emma. Lebih baik aku menyetir mobil sendiri."
"Tapi bagaimana jika Tuan besar marah Nona?" tanya Carla cemas.
"Daddy sedang di luar kota. Tidak mungkin Daddy marah kalau kamu tidak memberitahunya. Carla, jika nanti Liam mencariku, katakan aku pergi ke apartemen The Verde," kata Megan berlalu dari hadapan Carla.
"Nona, tunggu..."
Carla ingin mencegah kepergian majikannya, namun ia tidak punya kuasa untuk itu. Apalah dayanya yang hanya seorang pembantu. Megan tidak mungkin akan menurut padanya.
Megan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tidak butuh waktu lama ia telah sampai di gedung apartemen The Verde. Apartemen itu terbilang cukup mewah. Sebagian besar penghuninya adalah kalangan pengusaha muda.
Ketika Megan memarkirkan mobilnya di basement, Emma kembali menghubunginya.
"Meg, kamu ada dimana?"
"Halo, Emma, aku ada di parkiran. Sebentar lagi aku ke lobi. Berapa nomor apartemenmu?"
"Aku yang akan turun untuk menyambutmu. Tunggu saja di lobi," jawab Emma.
Megan mempercepat derap langkahnya ke lobi apartemen. Setibanya disana, Emma sudah berdiri di dekat lift untuk menunggunya.
"Meg, apa kamu kesini dengan Jack?" tanya Emma memeluk Megan.
"No, aku menyetir sendiri supaya lebih bebas. Aku ingin mengobrol lebih lama denganmu."
Emma tersenyum senang. Karena Megan pergi seorang diri, maka rencana Felix akan berjalan dengan lancar.
"Ayo, Meg, kita ke atas. Apartemenku ada di lantai enam."
Tanpa menaruh curiga, Megan mengikuti Emma ke lift. Emma terus menggandeng tangan Megan hingga mereka tiba di pintu nomor 608.
"Tunggu, aku buka pintunya dulu," ucap Emma seraya menekan beberapa tombol angka.
Begitu pintu terbuka, Emma mengajak Megan bergegas masuk ke dalam.
Megan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Di apartemen itu ada ruang tamu, dapur, dan satu buah kamar tidur. Furniture dan interior semuanya didominasi warna gelap, warna favorit kaum pria.
"Emma, apa sepupumu laki-laki? Apartemen ini kesannya maskulin sekali," ucap Megan.
"Iya dia laki-laki," jawab Emma terlihat gugup.
"Megan, masuklah dulu ke dalam kamar. Aku akan membuat kopi untuk kita berdua."
"Sepupumu tidak keberatan kalau aku masuk ke kamarnya? Ada orang yang tidak mau ruang pribadinya diketahui orang lain," tanya Megan merasa tidak enak hati.
"Dia tidak akan keberatan. Masuk saja," paksa Emma.
Emma membukakan pintu lalu mendorong tubuh Megan ke kamar. Gadis itu terkejut dengan perlakuan kasar dari sahabatnya. Secepat kilat, Emma menutup pintu dari luar.
Megan mengerjapkan matanya. Kamar itu sangat gelap sehingga dia tidak bisa melihat apapun. Megan berusaha memanggil Emma, namun sahabatnya itu tidak menjawab.
Mengandalkan instingnya, Megan meraba-raba dalam kegelapan untuk mencari saklar lampu. Tangannya berhenti ketika menyentuh sesuatu. Rasanya hangat dan sedikit liat seperti tubuh manusia. Megan pun tersentak karena tangannya mendadak ditahan oleh seseorang.
"Si...apa?"
Terdengar suara pria yang terkekeh pelan.
"Emma, tolong aku!" teriak Megan ketakutan.
"Percuma saja kamu memanggil Emma. Dia tidak akan menolongmu, karena sahabatmu itu yang membawamu datang kepadaku," jawab pria itu.
"Siapa kamu? Jangan macam-macam denganku," ancam Megan.
"Semudah itu kamu melupakan suaraku, Baby?"
Megan merasa pria itu merengkuh pinggangnya secara paksa.
"Selamat datang di kamarku, Megan. Tidak lama lagi aku akan meruntuhkan kesombonganmu. Aku akan menikmati tubuhmu sampai puas lalu mencampakkanmu seperti barang bekas," bisik pria itu.
"Fe...lix? Ini kamu?" tanya Megan terbata-bata.
"Tepat sekali, Baby. Tubuhmu harum, aku tidak sabar untuk segera mencicipinya. Tapi sebelum itu aku akan membuat ruangan ini terang, supaya kamu bisa melihat dengan jelas apa yang kuperbuat padamu."
Masih merengkuh Megan, Felix bergerak menyalakan lampu. Sontak kamar yang gelap berubah menjadi terang benderang.
Megan menggigil di bawah tatapan Felix yang penuh gairah dan kebencian.
"Selamat datang di apartemenku, Megan. Ternyata kamu tidak sepintar yang aku bayangkan. Mudah sekali kamu tertipu oleh sandiwara Emma."
Keringat dingin membasahi dahi Megan. Rasa takut bercampur kecewa memenuhi hatinya. Ia tidak menyangka sahabat baiknya tega mengkhianati dirinya. Bahkan bekerja sama dengan Felix untuk menjebaknya.
"Tolong lepaskan aku, Felix. Aku minta maaf padamu atas perbuatan yang aku lakukan," pinta Megan dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu pikir aku ini malaikat atau orang suci? Setelah menghinaku habis-habisan lalu dengan mudahnya kamu meminta maaf. Aku tidak pernah menerima kata maaf."
"Dengar, Megan, aku akan membuatmu menyesal karena berani merendahkanku. Sekarang terimalah hukumanmu," sambung Felix tanpa rasa kasihan.
Semenit kemudian, pemuda itu mencoba melumat bibir Megan dengan hasrat yang menggebu.
Sekuat tenaga, Megan berusaha melawan Felix. Teringat akan ilmu bela diri yang pernah dipelajarinya di sekolah, Megan melancarkan tendangannya tepat di benda berharga pemuda itu. Felix meringis kesakitan dan terhuyung ke belakang. Ia mengumpat sambil memegang miliknya yang terasa nyeri.
"Sialan kau, Megan!" umpat Felix.
Mendapat kesempatan melarikan diri, Megan menggedor pintu kamar Felix. Namun pintu itu dikunci dari luar.
Dengan panik, Megan berlari ke sisi kamar yang lain. Ia harus kabur secepatnya sebelum Felix pulih sepenuhnya dari rasa sakit.
"Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat terkutuk ini?" pikir Megan panik.
Tatapan Megan terarah pada jendela yang tertutup tirai. Megan menyibak tirai panjang tersebut dan nampaklah sebuah balkon kecil.
Tanpa pikir panjang, Megan membuka jendela lalu melompat keluar. Ia tidak lagi peduli dengan resiko apapun yang akan menimpanya.
"Jangan kabur, Megan! Kamu tidak akan bisa lolos kali ini!" seru Felix.
Felix tidak tinggal diam. Dengan mengabaikan rasa sakit di selangkangannya, Felix bergerak mengejar Megan. Hasrat dan dendamnya harus bisa dituntaskan malam ini juga.
Megan yang sudah berada di balkon merasa kebingungan. Lututnya lemas karena menyadari dirinya berada di atas ketinggian. Sedangkan di bawah sana terbentang kolam renang yang besar.
"Megan, mau kemana kamu? Sekarang posisimu sudah terpojok," kata Felix menyeringai.
Gadis itu mundur ke belakang hingga merapat pada pagar pembatas balkon.
"Jangan mendekat atau aku akan terjun ke bawah!"
Felix tetap bergerak maju tanpa menghiraukan gertakan Megan.
"Lompatlah kalau berani. Bukankah lebih baik merelakan tubuhmu untuk kunikmati daripada kamu mati sia-sia?" tanya Felix.
"Berhenti, Felix! Aku lebih memilih mati daripada menjadi pemuas nafsumu."
Seolah tuli, Felix semakin berjalan mendekat.
Megan mengusap lelehan air mata yang mengalir di kedua pipinya.
"Daddy, maafkan aku. Seharusnya aku mendengarkan nasehat Daddy. Tuhan, tolong jaga Daddy selepas kepergianku," batin Megan berpasrah diri.
Usai mengucapkan doa, Megan memutar tubuhnya menghadap ke balkon. Perlahan ia memanjat pagar dan melesatkan kakinya keluar.
"Jangan gila, Megan! Aku bisa disalahkan atas kematianmu," teriak Felix panik melihat Megan akan terjun ke bawah.
"Selamat tinggal, Felix. Semoga kamu dan Emma mendekam di jeruji penjara selamanya," ucap Megan.
Selanjutnya semua berlangsung begitu cepat. Megan merentangkan kedua tangannya bak sepasang sayap merpati. Dengan mata terkatup rapat, ia pun meluncur ke bawah. Membayangkan dirinya adalah peri kecil yang terbang dari ketinggian menuju ke dimensi alam lain.
"Byurrrr....." Suara percikan air yang dahsyat terdengar saat tubuh Megan terjatuh ke dalam kolam renang.
Menyaksikan Megan nekat bunuh diri, Felix ketakuan setengah mati. Dia tidak ingin dipenjara atas tuduhan melenyapkan nyawa gadis itu.
"Aku harus kabur sekarang juga sebelum polisi menangkapku," gumam Felix kembali ke kamarnya.
***
"Tuan, apa Anda mencari Nona Megan?" tanya Carla menyambut kedatangan Liam.
Carla sempat tertegun melihat penampilan Liam yang berbeda dari biasanya. Pria ini memakai kemeja casual yang membuatnya lebih muda dan tampan. Sungguh ia sangat serasi bila berpasangan dengan nona mudanya.
"Iya. Dimana Nona Megan?"
"Maaf, Tuan. Nona tidak ada di rumah. Nona pergi menemui temannya yang bernama Emma," jelas Carla.
"Barusan aku bertemu Jack di taman depan. Apa Nona Megan menyetir mobil sendiri?" tanya Liam khawatir.
"I...iya, Tuan. Saya sudah melarangnya tapi Nona...."
"Katakan kemana Nona pergi. Aku akan menyusulnya," potong Liam.
"Nona bilang dia ke apartemen The Verde, Tuan."
"Baik, terima kasih atas informasinya, Carla."
Setengah berlari, Liam menuju ke mobilnya. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk tentang Megan. Liam hanya berharap Megan dalam kondisi baik-baik saja.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (54)

  • avatar
    m******n@gmail.com

    this so amazing semangat ya buat nulisnya👍👍👍 ditunggu kelanjutannya

    03/05/2022

      0
  • avatar
    Trivnsymlli

    yes

    24d

      0
  • avatar
    Viina Siagian

    bagus ceritanya

    23/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด