logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bagian 5

Ketiga abangku sudah sampai di rumahnya masing-masing. Agak marah yang terasa. Enaklah mereka bisa menjalani aktivitas lagi, sementara aku?
Sejurus kemudian, kutengok Mamak yang banyak bermenung dekat jendela. Sirna lagi kejengkelan itu. Barangkali dengan merawat Mamak, bisa menjadi tambahan pahala untuk kehidupan akhirat nanti. Semoga.
Hari ini aku pun hendak kembali ke Riau. Halimah sudah kusuruh berkemas dari kemarin. Sesampainya di sana nanti tinggal melelang isi bengkel. Kemudian mencari orang untuk oper kontrak rumah dan kedai yang disulap jadi bengkel itu.
"Kau pun mau pergi, Nak?" Mamak tak menoleh padaku, pandangan Mamak jauh ke luar jendela.
Agak bergetar suara Mamak, mungkin menahan air mata.
"Aku pulang lagi nanti, Mak. 2-3 hari ajanya."
"Rasanya sewaktu dulu kelen kecil-kecil, Mamak rawat sebaik-baiknya. Mamak berikan kasih sayang tak bertakar." Suara Mamak sangat lemah. "Bukan Mamak menuntut balas budi kelen."
Sepertinya Mamak sedang pulih ingatannya. Hati siapa yang tak hancur melihat orang yang melahirkan kita bermuram durja sepanjang hari.
Andai Halimah pandai melelang barang-barang di rumah. Andai Halimah punya keberanian untuk negosiasi oper kontrak. Andai Halimah berani ke sini berdua dengan samudera. Andai, andai, andai saja yang berkecamuk dalam tempurung kepalaku.
Halimah bukan wanita seperti itu. Dia pemalu. Dia penakut. Dia itu istri di bawah ketiak suami.
Sebelum berangkat, aku mampir ke rumah Wak Wati. Oh ya, harusnya Wak Wati itu kupanggil Ocik (bibi). Tersebab satu kampung memanggil Wak Wati, kami empat beradik kakak pun ikut-ikutan. Wak Wati dulunya penjual aneka kue basah, menjaja keliling kampung. Orang-orang seolah sepakat menyematkan panggilan itu pada beliau.
"Hati-hati di jalan, Nak." Wak Wati mengusap lengan kananku.
"Titip Mamak dulu ya, Wak. Aku nggak lama, secepatnya kuusahakan balik."
"Pegang ini, untuk jaga-jaga." Beberapa lembar rupiah diselipkan ke tanganku.
"Tapi, Wak ...."
"Dahlah, cepat. Di ujung sana ada ojek pangkalan." Wak Wati menyeka matanya yang basah.
Hingga pagar rumah kututup, Mamak masih duduk di bangku tadi. Dekat jendela, menatap hampa keluar. Ini sungguh sakit terasa dalam dadaku.
***
Setibanya di rumah, Halimah menyambut dengan air mata yang tak mereda.
"Mana Sam, Dek?" tanyaku dengan suara rendah.
"Ada di kamar, Abang tengoklah."
Tak mengulur waktu, kutuju kamar Samudera. Anakku ....
"Ayah dah balik?" Dia berusaha untuk duduk, mencium tangan dan memelukku. Masih terasa badannya agak panas.
Bibir Samudera kering dan pucat. Matanya nampak cekung.
"Kek mana rasanya sekarang, Nak?"
"Sam sehat ajanya, Yah. Tak palalah Ayah cemas. Tengoklah, bentar lagi bisa main bola," selorohnya. Ah, Sam ... aku seperti berkaca, dia seperti aku kecil.
Aku berdiri hendak keluar lagi. Sebelum itu aku meraba pucuk ubun-ubun Sam penuh kasih, menyuruhnya tidur kembali.
"Apa kata dokter?" Kuteguk kopi bikinan Halimah, lantas melepas kancing kemeja beberapa biji. Riau sore ini begitu terik.
"Sam ...."
Aku menunggu Halimah menyelesaikan kalimatnya. Kecemasan tergambar di raut wajah Melayu Halimah. Matanya sudah basah sejak awal aku tiba.
"Sam ... itu," ujarnya terbata. Menyeka beberapa titik yang sudah menggelinding jatuh hingga ke lantai.
"Kek mana, apa kata dokternya?"
"Sam ... Sam, anak kita terindikasi meningitis, Bang." Halimah menunduk, menyapu air mata dengan ujung kerudung lusuhnya.
Ya Allah, ada lagi ujian yang lebih berat, limpahkan semua. Kasih padaku semua ... Ya Allah.
"Bercanda kau nggak lucu, Dek!" Aku menggeram. "Kok nggak bilang dari kemarin? Kau bilang cuma demam biasa."
"Nggak mungkin aku bilang lewat telepon, Bang. Sementara Abang di sana juga sedang panik dengan kondisi Mamak."
"Astaghfirullah," desahku memijat kening. Pening kepalaku ini, we.
Kenapa aku? Kenapa harus Galih sendiri? Kok nggak anak si Anton atau anak si Hendar. Atau si sumo Danang, yang nggak punya anak itu kasih ujian hidup. Kok harus aku?
Kok mereka baik-baik aja hidupnya?
"Astaghfirullah," ucapku sekali lagi. Mataku sudah panas menahan agak tak jatuh.
"Sam harus diperiksa lengkap, kemarin belum dilakukan EEG, MRI, dan CT scan karena belum ada alatnya." Halimah melanjutkan.
"Apa itu?"
"Aku pun nggak tahu. Sudah aku bilang ke dokternya kami akan pindah ke Kota Sidikalang. Dia suruh periksa ke Kota Medan, rumah sakit Medan hampir semua punya alat itu."
Sekian detik aku menatap dalam-dalam wajah Halimah. Sebelas tahun sudah aku menikahinya, belum sekalipun kusenangkan hidup dia. Dia yang terlalu sabar membersamai hidupku yang kurang beruntung ini.
Puft, kuhempas napas kasar.
"Ya sudah. Kau lanjut berkemas. Abang mau ke kawan dulu, barang-barang yang bisa kita jual, kita jual aja ya, Dek.
Terus Abang mau cari orang untuk oper kontrak. Lumayan nanti untuk kita beberapa waktu di kampung, sampai Abang dapat kerjaan lagi di sana."
"Tapi Abang baru sampai, belum makan?" cegat Halimah.
"Tak palalah, nanti Abang makan."
Hari ke-2 di Riau, 90% barang-barang sudah dikemas Halimah. Tinggal menunggu pembeli lemari, kulkas, mesin cuci dan barang-barang perkakas lain.
Hingga hari ke-4, finish semua urusan. Tinggal mengurus surat pindah Samudera, kata gurunya bisa dengan online. Dengan menyewa sebuah pick up kebetulan masih orang Medan, kami pulang. Berangkat habis pulang ke tampuk.
Dalam perjalanan menuju Sidikalang, Wak Wati acapkali mengirimkan pesan. Mamak tak mau makan, setiap hari Mamak hanya duduk bermenung di jendela. Bila senja tiba, Mamak akan duduk di bangku pinggir rumah, di bawah pohon kersen.
Kadang sampai selesai Isya, Mamak masih di sana. Tak pernah lupa membawa ranting pohon.
"Menunggu anak-anak." Begitu kata Mamak tiap kali ada yang bertanya.
Kami sampai di Sidikalang ketika senja telah merembang. Lantunan ayat suci terdengar dari surau, tandanya sebentar lagi Magrib masuk. Barang-barang satu pick up sudah diturunkan semua.
Mamak hanya diam menatap ke arahku. Yang aku cemaskan itu terjadi, Mamak tak mengenal kami. Tak kenal aku, Halimah, apalagi Samudera.
Wak Wati menjelaskan susah payah, walau tidak diusir, tetap saja Mamak memandang asing pada kami.
Hingga tengah malam tiba, Mamak pingsan di kamar mandi. Gopoh aku menjemput Marta. Rasanya ingin kugendong saja Bu Bidan ini, saking ingin cepatnya sampai di rumah.
"Kemana Abang kau yang lain?" tanya Marta tajam setelah memeriksa tensi Mamak. "Tensi Mamak kau terbilang tinggi, kalau masak ... kurangi garam ya, Lih."
"Mamak nggak apa-apa kah?"
"Semoga hanya pingsan biasa, Lih. Kita tunggu sepuluh menit ke depan, kalau Mamak kau nggak siuman, kita bawa ke rumah sakit malam ini juga."
Ya Allah jangan limpahkan lagi penyakit baru untuk Mamakku.
"Aku mau bicara dengan kau," tutur Marta serius.
Kusuruh Halimah menjaga Mamak, aku pindah ke ruang depan dengan Marta dan Wak Wati.
"Mana abang kau yang lain?"
"Sudah pulanglah, Marta."
"Galih, Mamak kau itu butuh kelen anak-anaknya. Kelen kumpul di sini apa susahnya, sebulan pun jadi. Mamak kau sekarang ingatnya sedang dalam masa kelen semua masih kecil. Ketika kelen nggak ada, pikiran Mamak kau itu akan berpencar kemana-mana. Disangka diculik begulah, tenggelam di paretlah, diculik orang proyeklah segala macam.
Nggak ada rasa kasihan kelen sama Mamak kelen sikitpun?" Marta mencecar habis-habisan.
"Ada, Marta. Buktinya aku pulang habis."
"Masalahnya anak Mamak kau ada empat, yang ada cuma satu. Semakin panjang lah pikirannya itu."
"Ya kek manalah pula, Marta ... yang tiga terikat pekerjaan katanya." Wak Wati turut bicara.
Tak sampai sepuluh menit, Mamak sudah siuman. Aku, Marta dan Wak Wati bergegas ke kamar.
"Kapan kau datang, Galih? Adanya kau ingat Mamak, Nak. Terima kasih, Nakku ... sudah pulang."
"Ada Halimah juga, Mak."
Halimah dan Samudera mendekati pembaringan Mamak.
"Oii, cucuku sudah ganteng kali. Percis macam bapak kau kecil dulu. Ganteng kali kau, Sayang. Temani opung di sini ya, jangan pergi-pergi lagi.
Kau juga makin cantik, Halimah. Pandailah kau merawat diri. Kalau Galih macam-macam, kau bilang sama Mamak. Biar Mamak tumbuk kepalanya."
Mamak terus bicara dengan wajah semringah.
"Di waktu-waktu tertentu, Mamak kau akan ingat semuanya dengan baik. Lalu, bisa jadi diwaktu yang sama, blank lagi. Lupa lagi, terbolak-balik lagi ingatan beliau.
Orang yang nggak paham akan mengecap Mamak kau gila, padahal bukan." Marta menjelaskan.
"Secara fisik, Mamak kau terlihat sehat. Makan tetap lahap, tidur tetap nyenyak. Nggak ada mencirikan orang sakit sedikit pun.
Yang sakit hanya pikiran Mamak kau. Jadi bagaimana obatnya? Senangkan hatinya, nyamankan perasaannya, tenangkan pikirannya.
Apa yang dilakukan Mamak kau, ikuti. Misal, dia mau cari kutu, ikuti. Mamak kau marah-marah seolah kau habis melalak, ikuti. Paham 'kan?"
Aku mengangguk. Mamak masih bercengkrama dengan Samudera. Syukur-syukur dengan hadirnya Halimah dan Sam, bisa membantu sedikit banyaknya.
Kuantar lagi Marta pulang. Tak ada motor, terpaksa kuantar jalan kaki. Salah satu hal yang patut kusyukuri, Marta sahabatku ini tak berubah dari dulu. Selalu rendah hati dan dermawan.
"Kalau ada apa-apa, butuh kendaraan, kau datanglah ke rumah. Motor ada, mobil ada, nggak kepakai pun. Punya suamiku, dia jarang di rumah."
Kami sampai di gerbang rumah Marta.
"Banyak terima kasih ya, Marta. Entahlah kek mana caranya membalas kebaikan kau. Kalau nggak ada, entah bagaimana Mamak selama ini."
"Banyak yang harus dibicarakan tentang demensia ini, Lih. Kalau hari libur aku nggak sibuk, nantilah aku bertandang ke sana. Sambil bawa anak-anak biar Samudera ada kawan. Oh ya, Samudera sedang sakit kah?"
Aku mengangguk, "Indikasi meningitis, semoga bukan."
"Bawa segera ke Kota Medan, nantilah lusa kalau suamiku balik kita langsung ke Kota Medan. Jangan main-main dengan meningitis, Lih. Meskipun hanya diagnosa sementara, kau wajib cemas."
"Aku nggak ...."
"Biaya aku yang tanggung. Jangan macam orang asing denganku, Lih.
Kau harus tahu, jika bukan karena kebaikan Mamak kau masa dulu, tak akan menjadi bidan aku sekarang."
Marta masih seperti dulu, boru Batak yang tegas mantap dalam berkata dan bertindak. Kalau bukan terhalang marga, sudah kukawini Marta itu.
Sesampainya di rumah lagi, Mamak sedang membaca ayat suci Al-Qur'an. Aku agak bertanya tentang ini sejak awal aku pulang. Banyak hal luput dari ingatan Mamak, namun Mamak tak lupa dengan bacaan kitab suci ini.
Salat lima waktu juga Mamak tidak tinggal. Tiap terdengar azan, pasti langsung berwudhu. Meski salat Mamak sering tertukar dan lupa rakaat.
Begitulah hari-hari kami jalani di rumah. Kadang, Halimah harus menahan pedih ketika dicecar Mamak, ketika Mamak lupa kalau itu menantunya. Samudera juga harus banyak sabar saat dimarahi opungnya, disangka anak orang lain yang main ke rumah.
Hingga suatu malam, Mamak meminta untuk duduk di lantai. Beliau memberikan surat Juz Amma, menyuruhku untuk membaca huruf Hijaiyah. Lidi sudah siaga di tangan Mamak.
"Tadi, guru ngaji kau laporan ke Mamak. Katanya tiap malam kau asyik tidur saat orang setoran bacaan. Mau jadi apa kau?" sentak Mamak.
Halimah dan Sam menepi ke pintu kamar. Baginya pasti mengagetkan sikap Mamak ini.
"Sampai mana kaji kau?" Mamak menjewer telingaku.
"Ini, Mak." Kutunjuk halaman sekenanya.
"Baca!" titah Mamak.
"Aa-na, au-na, uu-na, ai-na, ii-na"
"Teruskan ke bawah!"
"Baa-na, bau-na, buu-na, bai-na, bii-na, baa-nu."
"Itu kau pintar? Tolonglah, Nak ... sungguh-sungguh dalam belajar. Iman, islam, ihsan, ilmu, itu yang akan menolong kau nanti ketika dewasa. Ada kau pahami itu?"
Aku mengangguk.
"Oii, kemana Anton, Hendar, Galih? Sudah mau Magrib kek gini nggak pulang-pulang. Atau suruhlah Abang kau itu pindah sekalian ke rumah temannya." Mamak mengira masih Magrib, padahal sudah hampir tengah malam.
"Di-dia ... dia, dia ke ...."
"Iyalah, kalian kongkalikong semua. Sengaja mereka nggak pulang, takut Mamak suruh ngisi air. Pasti mereka di rumah Wak Kedai nonton tipi."
Astaga, Mamak teringat puluhan tahun lalu. Memang ketika kami kecil-kecil, bisa dihitung jari orang yang punya tipi. Itu pun hitam putih.
"Lih, nanti kalau sudah besar, sudah beranak bini, jangan jauh-jauh merantau ya, Nak. Mamak nanti rindu kau, kek mana?
Kalau hari baik, bulan puasa atau hari raya, pulanglah sejenak. Tak perlu kau bawakan oleh-oleh. Bukan itu yang orang tua harapkan pada anak-anak. Kedatangan, itu ajanya. Sebagai tanda masih ingat dengan Mamak juga Bapak."
Mamak menggenggam tanganku. Samar terdengar isak tangisan Halimah. Dia yang yatim piatu dari kecil, pasti cemburu melihat Mamak berlaku begini.
"Kalaupun kau tak ada uang, jujur sama Mamak. Biar Mamak kirim ongkos untuk pulang. Jangan siksa orang tua dengan menahan kerinduan. Semacam luka di dalam, diasami tiap kali teringat pada kelen."
Pecah tangisku menangkup ke lutut Mamak. Tersedu-sedu aku di sana. Terserah mau dikatakan cengeng, silakan. Aku memang penangis sejak kecil.
"Kau pergi melalak saja, Mamak cemas. Mau menyuap nasi, teringat anak-anak. Jangan-jangan si Anton mandi di paret lagi, jangan-jangan si Hendar ke kebun orang lagi kejar alang-alang. Jangan-jangan si Galih sudah gulat lagi dalam kubangan sama Danang.
Kek gitulah Mamak tiap hari, Nak. Kalau Bapak pulang dari pajak, bawa kue-kue. Yang teringat langsung kelen berempat.
Tak pernah sedetik pun kelen ini beranjak dari benak Mamak. Demam kelen salah seorang, amboi rasanya mau meraung Mamak karena cemas.
Makanya kalau sudah Magrib kek gini, kelen belum juga di rumah, Mamak cemas bukan kepalang."
Mamak berdiri, "Mana mereka main, perlu kali kujemput dengan ranting pohon baru pulang!" omel Mamak tiba-tiba, sambil mondar-mandir dalam rumah.
"Dah, dah, Mak. Mamak istirahat. Biar aku yang cari mereka. Kek mana caranya nanti, kubawa mereka pulang." Aku tuntun Mamak ke kamar, membantu berbaring dan menyelimuti Mamak.
Setelah memastikan Mamak tidur, aku beranjak keluar. Menatap ke luar jendela yang kelam, meremas kepalaku yang pening.
'Kek mana caranya agar empat anak Mamak ini bisa kumpul sementara?!' umpatku penuh sesal dalam hati. Sesal melihat abangku yang tiga seakan begitu terburu-buru balik ke rantau.
* Kelen : Kalian
Begu : Hantu
Kongkalikong : Kerja sama
Melalak : Bermain
Alang-alang : layang-layang
Pajak : Pasar

หนังสือแสดงความคิดเห็น (182)

  • avatar
    Amarilis

    cerita yang sangat menggugah hati dan juga bagus. Semangat thor

    22/04/2022

      0
  • avatar
    LaiaDewimanis

    sangat terharu dgn ceritanya mama... maafkan aku dgn sikap aku selama ini 😌🙏

    23d

      0
  • avatar
    salamzulfa

    bagus sekali

    28d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด