logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Kesepianku

Risih rasanya, makan berdua saja dengan wanita lain selain istriku. Aku membawa mangkuk sotoku pindah ke meja kerja, lalu menyelesaikan makan dengan cepat.
Riani menatapku dengan raut kecewa, tergesa diselesaikannya suapan demi suapan dalam hening. Dia terlihat salah tingkah setelah melihatku pindah dari sisinya.
Geli kulihat tingkah gadis itu, dia cantik tapi sayang belum mendapat jodoh. Aku tak ingin kami semakin dekat jika Riani terus memberi perhatian padaku seperti tadi. Hari ini mungkin aku masih waras, belum tentu besok atau besoknya lagi imanku akan kuat jika dia terus menggodaku. Meski aku sudah memiliki Yasmin ... meski aku sudah mengunci pintu hatiku dari wanita lain, godaan itu tetap harus aku hindari.
"Sudah berapa lama kerja di sini?" tanyaku pada Riani saat soto di depanku sudah habis.
"Dua tahun, Pak. Tapi sebelumnya saya staf administrasi transportasi. Baru pindah staf administrasi manajer saat bapak mutasi ke sini." Riani sudah selesai makan, dia menghampiriku untuk mengambil mangkuk.
"Mulai besok kupindah di staf transportasi lagi saja, ya. Nanti aku atur."
"Saya dipindahkan, Pak?"
"Iya, aku mau minta staf administrasi yang pria saja, biar bisa menemaniku lembur di kantor sampai malam." Kataku pelan dan jelas agar Riani tak tersinggung.
"Oh, begitu?" Riani menanggapi singkat, masih belum lega sepertinya menerima perkataanku tadi.
"Terima kasih sudah membantuku. Kerjamu bagus semoga karir bisa cepat meningkat dan segera mendapat jodoh. Mungkin kamu bisa mulai mengenakan jilbab, boleh kok kerja disini berjilbab. Insyaallah diberi jodoh yang terbaik nanti." Aku memberi semangat pada Riani.
"Mangkuknya kasihkan office boy saja untuk kembalikan ke kantin." Kusisipkan sejumlah uang lebih di bawah mangkuk untuk membayar soto kami. Lalu berdiri sambil mengucap terima kasih sekali lagi dan bersiap untuk pergi salat.
"Baik, Pak. Mohon maaf jika ada kesalahan saya selama jadi staf bapak."
"Aku juga, ya. Sudah pasti lebih banyak kesalahanku karena sering meminta tolong mengerjakan banyak hal."
Riani mengangguk tanpa kata, dia menunduk berjalan keluar ruanganku, ada raut penyesalan di wajahnya. Semoga tak ada masalah lain setelah kupindahkan tempat kerjanya.
Ponselku berbunyi saat langkahku baru menapaki lift menuju lantai bawah untuk ke mushola. Kulihat ada pesan dari Yasmin.
[Mas, sudah jadi salat? Aku mendoakanmu saat salat tadi, aku titipkan kamu pada Allah.]
Benar dugaanku, Yasmin kembali bertanya karena pesan sebelumnya tak kubalas. Hatiku menghangat, dia cemas karena kuabaikan. Wanita itu memang berhati bidadari, meski sedang kesal padaku tetap saja tak ingin aku lalai menunaikan kewajiban lima waktu. Dia juga menyebut namaku dalam doanya, Ah Yasmin, aku semakin merindukan bayangnya.
Kumasukkan ponsel ke saku baju lagi. Nanti saja kubalas pesan itu seusai menunaikan salat. Jam istirahat siang sudah hampir berlalu, aku harus cepat kembali bekerja. Tak boleh memberi contoh buruk pada bawahan dengan terlambat mematuhi jam kerja.
Seperti katanya tadi pagi, Pak Marno tetap menungguku untuk melaksanakan tugasnya, dia setia menanti kepulanganku. Hampir waktu isya aku baru keluar dari ruanganku. Seharusnya pukul empat sore tadi jam kantor berakhir.
"Pak Marno nanti makan di rumah saja, Bik Rum tadi pagi masak udang asam manis masih banyak." Kataku saat kami dalam perjalanan pulang.
"Waah, saya sudah makan tadi bareng supir-supir di kantin, Pak."
"Ya sudah kalau gitu nanti dibawa pulang saja."
"Boleh, Pak. Istri saya pasti senang sekali, jarang-jarang bisa masak udang gitu," jawabnya sambil tertawa.
"Apa iya? Nanti kalau pas masak lagi biar dibanyakin bisa untuk Pak Marno sama Bik Rum juga."
"Ibu sering kok, Pak. Bawain saya sama Bik Rum lauk atau sayur."
"Oooh ... aku gak pernah merhatikan, kalau sudah sampai rumah langsung ke kamar, gak lihat lagi waktu Pak Marno pulang."
Sekarang aku bisa mengira kemana uang bulananku untuk Yasmin dihabiskan. Dia memang tak mengutamakan belanja untuk keperluan dirinya sendiri, aku baru menyadari hal ini.
Derit pintu saat kubuka menggema menggambarkan kesepian yang akan kutemui di dalam rumah ini sendirian. Aku menaruh tas kerja begitu saja di meja tamu, biasanya Yasmin dan Nuna yang menyambutku jika aku tak pulang larut. Belum genap sehari mereka pergi, aku sudah sangat merindukan mereka.
"Ini kunci mobilnya, Pak." Pak Marno berdiri di depan pintu setelah memarkir mobil di garasi.
"Oh iya, sini masuk dulu, biar saya ambil udangnya dulu."
"Makasih lho, Pak," kata Pak Marno mengiringi langkahku menuju ke dapur.
"Sepi rasanya gak ada Nuna di rumah ini." Aku berucap pada Pak Marno.
"Sepinya karena gak ada Nuna atau ibunya Nuna, Pak, hehehe."
'Pak Marno bisa saja. Ya dua-duanya sih. Ini udangnya, Pak. Langsung pulang ke rumah kasihan Bu Marno ditinggal sampai malam."
"Saya sih sudah tua, Pak. Tidur bareng istri juga yang berhadapan punggungnya bukan wajahnya lagi, kecuali tanggal muda." Pak Marno menimpali ucapanku sambil tergelak.
"Apa iya kayak gitu, ya jangan dong, makin tua harusnya makin mesra." Aku berkata sok bijak seakan lupa jika aku dan Yasmin sedang tak harmonis.
"Becanda, Pak. Istri saya kalem hampir seperti Bu Yudha, gak neko-neko orangnya. Tentram rumah tangga saya jadinya. Saya pamit dulu, Pak, terima kasih udangnya."
Kupandangi Pak Marno hingga deru motornya menghilang. Masih terngiang kata-katanya tadi tentang rumah tangganya yang tentram karena istrinya gak neko-neko orangnya sama seperti Yasmin. Dia benar, Yasmin memang tak pernah menuntutku membelikannya barang mewah saat dulu penghasilanku masih pas-pasan. Begitu pun setelah gajiku melonjak naik, Yasmin tetap tak berubah.
Aku menggembok pintu pagar, lalu duduk di teras menikmati desiran angin malam untuk menghilangkan kekosongan hati. Memandangi satu dua kendaraan yang masih melintas di jalan depan rumah, menghalau sepinya jiwa.
Kuambil ponsel dari saku, ingin menelepon Yasmin agar hubungan kami segera membaik. Aku sangat ingin dia segera bersamaku kembali.
'Assalamu'alaikum, Mas Yudha.' Yasmin menjawab panggilan teleponku.
"Wa'alaikumussalam, aku bisa jemput Nuna kapan?"
'Setelah Mas merenung lalu merasa siap, nyaman dan tentram jika harus berdampingan denganku.'
"Maksudnya apa sih? Aku gak paham."
'Mas malu kan saat berdampingan denganku di acara itu?'
"Bukan malu, tapi nggak cocok penampilanmu sebagai istriku."
'Iya, kuakui pakaianku kurang resmi. Tapi aku punya alasan. Mas Yudha langsung menganggapku sengaja berpakaian layaknya hendak ke pasar, menyuruhku pulang begitu saja.'
"Jangan berbelit-belit, memang benar kulihat kamu memakai pakaian yang sama seperti saat pergi ke pasar kok."
'Yasmiin.' Terdengar suara ibu mertua ikut masuk ke sambungan telepon, dia memanggil istriku.
Sejenak hening tak ada suara.
'Nuna sudah ngantuk, Mas. Nanti kita lanjutkan. Mas bisa renungkan lagi, masih pantaskah aku menjadi teman hidup untuk terus mendampingimu?'
Yasmin pun mengucap salam lalu menutup percakapan. Tinggallah aku yang menebak-nebak maksud perkataan Yasmin tadi. Ah, wanita memang selalu merasa benar sendiri.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (128)

  • avatar
    123Mawan

    Bang. toapin. aku. bang

    3d

      0
  • avatar
    NurleliNunik

    keren menghayati banget

    6d

      0
  • avatar
    canwil

    yes

    17/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด