logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 3. Diskusi

10:25 am
Aku sudah pindah ruangan. Ruang santai, kata Dokter Faisal ketika mempersilakan aku duduk di sofa berwarna kelabu di tengah ruangan. Aku memilih sofa berukuran dua orang membelakangi jendela. Ini sebuah ruangan yang luas dan nyaman, sangat berbeda dengan ruang sebelumnya yang penuh buku dan dokumen serta peralatan yang lain. Tembok dicat sewarna sofa abu-abu dengan banyak nature photographs terbingkai kayu kelas satu, indah dan unik.
Tidak banyak perkakas hanya satu set sofa dengan meja ukir kecil dari kayu jati di tengah lingkaran sofa, sebuah lemari abu-abu terletak di sebelah kiri pintu dan satu set komputer lengkap dengan sepasang speaker aktive polytron di samping monitor. Tidak banyak barang di atas meja komputer hanya beberapa keping CD dan buku tebal. Hanya itu. Oh, ada satu lagi hal kecil yang penting, satu pot kecil dengan tanaman hias di atas meja sofa. Penyempurna ruangan sekaligus peneduh mata.
Aku duduk dengan tenang, sangat tenang. Tidak lagi peduli titik-titik hujan yang jatuh di balik jendela, juga bunyi guntur halus yang sesekali terdengar.
Dokter Faisal meletakkan portofolio di atas meja lalu menyalakan komputer. Beliau juga tampak tenang dan berwibawa.
"Mengapa tidak menggunakan laptop saja, Dok?" aku mencoba memecahkan kesunyian.
"Aku suka monitor besar dengan CPU yang perkasa dan bunyi-bunyi keyboard yang merdu. Ah, dan juga CD ini, terlihat klasik. Sang dokter tersenyum memamerkan CD di tangannya.
"Bukan, itu kuno." Aku membatin.
Mengabaikan dokter Faisal, aku mengangkat pot kecil dari atas meja dan membaui aroma tanaman yang harum. Aku memetik setangkai daun dan mengembalikan ke atas meja. Alunan biola atau apalah namanya aku tidak begitu mengerti tentang musik, merdu menggema dari speaker. Aku kenal iramanya, My Heart Will Go On yang dinyanyikan Celine Dion.
Aku berdengung mengikuti iramanya sambil membetulkan blazer cokelat yang kukenakan. Sang dokter mendudukkan dirinya di hadapanku, detak jantungku mulai meningkat. Gugup. Aku harus menghela napas berkali-kali untuk meredakan konsentrasi adrenalin.
"Boleh kita mulai, Nona Resty?" tanya dokter Faisal, mengembalikan pikiranku yang mulai berjalan liar.
"Aku dalam kendalimu, Dok. Terserah Dokter kapan kita mulai." Beliau membuka portofolio, mungkin daftar pertanyaan atau lembaran formulir yang telah kuisi.
"Baik. Nama Anda Theresia Restyanti Paul, umur dua puluh tujuh tahun dengan tinggi 164 sentimeter dan berat badan lima puluh dua gram."
"Dokter?"
"Oh, maaf. Maksud saya kilogram." Ia tersenyum geli, aku ikut tersenyum. "Saya hanya menguji konsentrasi pikiran Anda. Baik, Anda bekerja sebagai bendahara di butik keluarga dan belum menikah."
"Yap."
"Ciri-ciri fisik, rambut panjang bergelombang dan ... "
"Keriting tepatnya, Dok."
"Ya, terserah Anda. Bergelombang dan cokelat, mata Indah, hidung mancung dengan garis wajah bukan oval juga bukan tirus, antara keduanya seperti wanita India." Aku cukup risi dinilai sedemikian oleh seorang lelaki bertampang serius seperti ini.
"Kulit Anda tidak hitam juga bukan putih, sawo matang? Lebih seperti kulit artis Titi Rajo Bintang. Dan pada umumnya Anda adalah wanita yang sangat menarik." Beliau membuat gerak tangan seperti akan memotret sambil tersenyum menggoda. Aku tidak lagi merasa risi atau kikuk, justru merasa lucu dengan perbuatannya yang kekanak-kanakan. Ia memang pandai menenangkan suasana hatiku yang mudah berubah.
"Terima kasih, Dok. Anda pasti penggemarnya Titi Rajo Bintang."
"Yeah, dia cantik. Baik, mari kita beralih pada hal-hal yang Anda sukai. Hobi Anda, suka membaca dan menonton dan juga Badminton. Seberapa sering Anda bermain Badminton?"
"Seminggu sekali."
Ia mengangguk. "Bacaan apa yang biasa Anda baca?"
"Majalah, baik majalah anak, remaja atau wanita, novel, bacaan motivasi, koran, ya apa pun yang bagus untuk dibaca, Dok. Terlebih artikel-artikel menarik dari situs-situs tertentu."
"Novel seperti apa?"
"Novel Indonesia itu ... hm ... karya Andrea Hirata Tetralogi Laskar Pelangi aku sangat suka tokoh Lintang dan Arai. Ada lagi karya Tere Liye seperti Bumi dan Bulan, seri lainnya belum sempat baca dan masih banyak lagi tapi aku lupa. Ada juga novel terjemahan seperti Harry Potter semua seri karya seorang perempuan cerdas J.K Rowling. Juga karya Agatha Christie walaupun harus membelinya di tokoh buku loakan. Aku suka cerita detektif. Juga seri Sherlock Holmes walau terkadang aku gagal paham. Sekali pun aku kurang suka cerita vampir tetapi aku membaca karya Stephanie Meyer. Dan masih banyak novel lainnya, Dok. Oh, satu lagi. Di zaman yang sudah modern ini aku juga suka membaca di media online."
"Anda suka cerita berbau kekerasan."
"Ini pertanyaan atau pernyataan, Dok?"
"Maaf. Maksudku, apakah Anda suka cerita berbau kekerasan?"
"Tidak. Aku suka alur cerita suatu novel yang sulit ditebak walaupun terkandung kekerasan atau pembunuhan. Tetapi aku tidak tertarik pada titik itu, aku lebih tertarik untuk menebak penyelesain masalah dari konflik yang dibuat penulis."
"Baik. Apakah Anda suka cerita yang berbau horor? Hal-hal gaib seperti hantu, pocong dan teman-temannya."
"Tidak! Aku sama sekali tidak tertarik dan lebih terkesan membenci hal itu. Hanya hal-hal berbau sihir itu yang menyenangkan sekaligus menegangkan untuk dibaca."
Dahi lelaki yang tenang itu mengerut. Sejak awal diskusi, sebutan sang dokter, wajahnya cukup tenang tetapi sekarang mulai berubah.
"Apakah bahan bacaanku ini berpengaruh terhadap mentalku, Dok?" entah mengapa hal itu tiba-tiba terpikirkan olehku. Dokter Faisal menggeleng tidak pasti.
"Saya belum bisa mengambil kesimpulan demikian cepat, Nona Resty." Ia tersenyum. Senyum yang misterius.
"Baik. Beralih pada menonton. Menonton konser, teater, talk show, film, video musik, atau menonton apa, Nona Resty?"
"Menonton iklan. He-he-he, bercanda, Dok. Film. Anime jepang, kartun Disney, film aksi dan apa saja yang aku suka kecuali horor."
"Anda tidak tertarik pada film horor? The Conjuring atau Pemuja Setan mungkin? Saya pernah menemani putri saya menonton film itu dan menurut saya, menarik."
"Tetapi aku tidak tertarik sedikit pun, Dok. Seperti halnya membenci musim hujan, begitu juga benciku pada hal-hal demikian."
"Anda membenci musim hujan? Mengapa?" sang dokter semakin bersemangat seirama dengan kerut dahinya yang semakin kentara.
"Gelap, dingin, petir, guntur, hujan dan banjir. Mereka menghadirkan mimpi buruk bagiku seperti akhir-akhir ini."
Alunan suara sang diva telah menyanyikan lagu The Power of Love. Mendayu-dayu merehatkan sejenak pikiranku yang terus diisi dengan pertanyaan. Wajah dokter semakin kusut dan sulit dibaca. Aku membiarkan ia bermain dengan pikirannya sedang aku sendiri kembali dengan pikiran-pikiran buruk yang mulai menggedor. Alunan musik tak mampu menghalau pikiran itu meski sejenak cukup membantu.
Tok ... tok ... tok ....
Bunyi ketukan pintu menyelamatkan pikiran menakutkan yang sudah mulai berkeliaran. Seorang suster muncul membawa sebuah nampan berisi dua gelas teh yang sangat harum.
"Seharusnya sekarang hampir waktunya makan siang tetapi karena di luar masih hujan dan agak dingin jadi sebaiknya kita nikmati teh terlebih dahulu, Nona Resty. Silakan!"
"Terima kasih." Aku menyesap seteguk. "Teh yang nikmat, Dok."
"Baik. Kembali lagi. Mengapa Anda membenci hal-hal demikian."
"Menakutkan, Dok. Hal seperti itu sangat mengganggu. Aku akan mudah dihantui mimpi buruk setiap kali musim hujan."
"Setiap kali musim hujan? Artinya setiap tahun?" sang dokter sangat terkejut dan meletakkan kembali gelas tehnya yang sudah di ujung bibir.
"Iya, Dok. Setiap tahun." Aku membalas santai. Hal ini sudah menjadi rutinitasku setiap kali musim hujan. Bukan hal baru yang membuatku harus memasang wajah aneh dan memelas. Tidak ada yang menarik hanya keanehan yang menjadi pertanyaan tanpa jawaban selama ini.
"Anda tahu alasannya?" masih dengan ekspresi penuh ingin tahu. Sepertinya ia telah menemukan sesuatu yang baru dan menarik.
"Kalau saja tahu alasannya pasti aku tidak akan menemui Dokter."
"Baiklah, Nona Resty. Semakin menarik tetapi sekarang sudah pukul sebelas lewat lima puluh lima menit. Sudah waktunya untuk menunaikan kewajibanku. Kita bisa membuat janji, kapan kita bisa bertemu lagi?"
"Kapan saja saat Dokter punya waktu untukku. Aku siap."
"Baik. Tiga hari lagi, jam sembilan." Dokter Faisal menutup portofolio di tangannya dan menyerumput sisa tehnya. "Silakan tehnya, Nona. Aku akan mempelajari hasil diskusi ini sebagai acuan untuk membuat daftar pertanyaan yang lebih kompleks. Setidaknya saya sudah mendapat apa yang saya butuhkan. Saya juga akan mencari kasus-kasus seperti milik Anda untuk refrensi, semoga bisa membantu."
"Baik. Terima kasih, Dok. Sampai ketemu lagi." Kami berjabatan tangan sebelum aku merapikan diri.
"Hati-hati, Nona Resty. Jangan lupa berdoa. Oh, maaf. Ada satu pertanyaan di luar konteks tetapi membuat saya penasaran. Mengapa Anda menemui saya seorang psikater dan bukan seorang psikolog terlebih dahulu?"
"Maaf, Dok. Sudah lama saya ingin menemui seseorang seperti Anda yang mau mendengar, mengerti dan membantu saya mengatasi gangguan ini, Dok. Dan aku membaca testimoni pelayanan Dokter sangat baik sehingga datang pada Anda. "
"Aku mengerti."
Anggukan kepala dokter Faisal menjadi hal terakhir yang kulihat sebelum meninggalkan gedung pratiknya. Hujan masih lebat dan hari sangat kelabu. Aku tidak memikirkan apa pun, mengambil ponsel dan menghubungi Gabriel.
bersambung....

หนังสือแสดงความคิดเห็น (134)

  • avatar
    Bahy PayongYustinus Kati

    Luar biasa sekali. Sangat Menggugah sekaligus menggugat. semangat selalu

    18/07/2022

      3
  • avatar
    LayFelicia

    awalnya penasaran sm judulnya Krn sebutan suanggi biasanya hanya di daerah timur termasuk kami di Papua, stlh baca ceritanya menarik juga, semoga sukses terus ya Thor 😇

    23/06/2022

      0
  • avatar
    Neschenney Tracy

    sangat best.. 😍

    21/05/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด