logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Kutukan Suanggi Kampung

Kutukan Suanggi Kampung

Elisabeth Melkiani


Bab 1. Mimpi

Aku berlari tanpa arah dalam kegelapan mencari titik cahaya yang jauh di sana. Dingin merambati pori-pori, menerobos hingga ke dalam tubuh, menyatu bersama setiap sel darah, dibawa ke jantung membuat detak tak beraturan. Aku masih berlari menjauh dari bayangan yang berteriak,
"Terkutuklah engkau! Terkutuklah engkau, Theresia anak Paul!"
***
"Res, Resty! Bangun, Nak. Resty!"
Aku terbangun dengan napas masih memburu. Sesak dan panas. Keringat basah di tubuh. Mama di hadapanku menatap bingung. Teriakan mama yang membangunkan aku dari mimpi buruk yang akhir-akhir ini menghantui. Mimpi itu kembali lagi. Aku terjaga masih dengan ketakutan dan rasa panik akan kegelapan yang membayang.
Kulempar pandangan ke sekeliling memindai ruangan sebelum kembali menatap mama yang terus membelai rambutku. Sesuatu yang sulit kupercaya tetapi bukan sekarang saatnya membahas. Untuk sekarang aku masih lega setidaknya aku masih di sini, terjaga dalam kamar sendiri. Kupandangi mama cukup lama membaca wajahnya yang bingung juga khawatir.
"Mengapa Mama ada di kamar aku?"
"Justru Mama yang harusnya tanya sama kamu, Res. Kamu mimpi apa kok sampai teriak-teriak begitu? Mama pikir ada maling yang masuk ke kamar kamu, loh." Mama terlihat benar-benar khawatir, ia meraih tubuhku dan memelukku erat. Sebuah pelukan yang rasanya sedikit asing dari perempuan yang melahirkanku.
Aku tidak harus mengatakan apa-apa, cukup diam dan menikmati hangatnya pelukan mama yang jarang kurasakan. Di luar angin kencang menerbangkan titik-titik hujan menerpa jendela, mendesir basah, pilu, juga geram penuh dendam. Terdengar seperti geraman dalam mimpiku. Aku coba mengingat kembali mimpi-mimpi aneh dan menyeramkan yang selalu mengganggu tidur malamku selama beberapa malam ini. Mimpi yang tidak asing, selalu sama dan berakhir menggelisahkan.
Ia kembali lagi.
"Mimpi seperti apa sih, Res?" Mama membuyarkan lamunanku, kembali pada pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar.
"Entahlah, Ma. Mimpi yang aneh tetapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas." Aku sengaja tidak mau memperpanjang pertanyaan mama. Tidak untuk saat ini dan entah untuk nanti. Mama merapikan rambutku, menyeka lagi keringat yang masih mengalir di kening. "Sudah jam berapa, Ma? Kenapa belum tidur?" Aku sengaja mengalihkan pertanyaan sembari melepaskan diri dari pelukkannya. Mama masih menatap penuh selidik.
"Sudah jam sebelas tapi karena Papa belum pulang makanya Mama masih menunggu." aku menyibak selimut. "Perusahan tempat Papa kerja sudah buka cabang di daerah jadi sekarang Papa sering telat pulang." Aku mendengus, tidak peduli kemajuan apa yang sudah dialami papa. Berbicara tentangnya hanya akan semakin merusak suasana hatiku.
Beranjak dari tempat tidur aku menuju dapur, mama diam-diam mengekori. Aku butuh air. Di luar hujan belum menandakan akan reda dan sesekali cahaya langit membias di jendela disusul gemuruh guntur yang menggetarkan tirai jendela. Hujan akhir November kali ini benar-benar meneror ketenanganku. Lagi dan lagi, seperti yang sudah-sudah. Aku benci musim hujan.
Di depan meja makan aku menuangkan segelas air, meneguk separuh dan kembali ke kamar membawa gelas yang masih separuh. Kupijaki satu per satu anak tangga tetapi pikiran menerawang jauh, jauh ke tempat yang bahkan tidak kukenal.
Gambaran tempat-tempat yang muncul dalam mimpi simpang siur. Kelabu dan dingin. Mama yang menyandar pada tangga kuabaikan begitu saja. Langkah demi langkah, satu per satu anak tangga kulalui mengikuti kehendak kaki hingga tanpa kesadaran penuh aku telah berdiri di depan jendela kamar. Aku menegak seteguk air sambil menyibak tirai merah marun yang tipis. Titik-titik cahaya dari rumah tetangga terlihat menari di antara hujan yang mengguyur, redup dan bergetar. Titik-titik air mengembun di balik jendela, tampak seperti garis-garis mengerikan ketika terpapar cayaha petir.
Sambil mengamati garis-garis air itu, aku terus mencoba mengingat kepingan-kepingan mimpi buruk itu. Tidak ada yang jelas, semua sangat abstrak seperti biasanya. Di langit, petir dan guntur berlomba-lomba menguasai malam. Menakutkan.
"Theresia ...."
Siapa itu? Aku berbalik mencari suara yang memanggil. Mungkin mama tetapi tidak ada siapa pun yang berbisik serak seperti itu. Aku kembali menatap jendela dan ...
Prank!
Gelas di tanganku meluncur begitu saja beradu dengan lantai, pecah berkeping-keping. Sistem sarafku berekasi cepat, memaksa jantung berdetak sangat cepat dan kuat.
Suara tak ... tak ... tak ... dari balik dadaku bahkan mengalahkan gemuruh guntur di langit. Aku mundur, sendi lutut semakin lemah menopang tubuhkh, tumpuan kaki mulai goyah tetapi tidak pandanganku. Aku masih menatapnya. Waktu seakan berhenti, kegelapan mulai mengisap duniaku.
Di sana, di permukaan jendela kaca yang gelap dan datar, bayangan sesosok wajah tergambar jelas, melayang bagai gambar tiga dimensi. Gambar wajah seorang wanita tua. Mata sehitam tinta seperti dua lubang kegelapan, mulut lebar sehitam arang menyeringai menampakkan gigi-gigi kuning tak beraturan, menyeringai menebarkan aroma paling busuk. Mengerikan.
"Theresia anak Paul."
Ia memanggilku lagi. Serak dan berat menggema di dalam kamar. Terdengar seolah ia memanggilku dari kejauhan yang sangat jauh namun di saat yang sama terasa sangat dekat di belakang telinga.
Dengan sedikit kesadaran yang tersisa, aku melawan rasa takut dan memanggil mama. Namun tercekik oleh rasa takut yang jauh lebih besar dan bau busuk yang menyergap, tak ada satu kata pun yang terucap. Langkah mundurku semakin berat seakan dibebani lima puluh kilogram beras.
Perlahan lututku bertekuk dan jatuh terduduk di atas pantat. Kedua tangan terkulai lemas, seluruh energi terisap habis. Dingin membungkus tubuh yang sudah tak berdaya. Ia masih di sana mengambang di udara, menggemakan tawa memekakkan. Tubuh dan mataku dikuncinya hingga tak sanggup beralih sedetik pun darinya.
"Saya tunggu kau pulang."
"Resty! Apa yang kamu lakukan di bawah sini? Lihat Mama, Sayang. Apa yang terjadi? Ya ampun, Res, tangan kamu berdarah kena beling. Res, Resty! Lihat Mama!" bentakan mama mengusir suara yang bergaung di pendengaranku seiring hilangnya gambar itu.
Mama menepuk-nepuk lembut wajahku dan mengusap bahuku sambil terus mengoceh. Tubuhku belum seutuhnya pulih, masih gemetar dan dingin meski berkeringat. Aku masih tarpaku pada kaca hitam itu. Mama menyadarinya, ia bangun dan menarik tirai menutupi jendela lalu menatapku aneh. Ia kemudian beralih ke lantai yang basah dan penuh pecahan gelas. Ia merangkul tubuh lemahku dan membantuku ke ranjang.
Aku duduk di tepi ranjang, hati-hati mencabuti sekeping gelas yang entah kapan menusuk telapak tangan. Darah menetes perlahan menuju lantai, mengukir noda merah yang kontras dengan keramik putih. Aku menghitung tiap tetes yang jatuh. Tujuh. Angka ganjil yang keramat. Aku bergidik, ngeri pada kebetulan itu.
Sebuah tangan menarik tanganku yang terluka itu, melihat sejenak dan membersihkannya. Mama entah sejak kapan keluar dari kamarku dan kembali membawa kotak P3K. Aku bahkan tidak menyadari gerakan manusia nyata di sekitarku.
Tanpa banyak tanya, mama membersihkan lukaku dengan alkohol, mengolesi obat merah dan membalutnya dengan kasa. Cepat sekali. Isi kotak kembali dibenahi lalu ia menidurkan aku. Mama mengecup keningku sangat lama. Sesuatu yang sangat tidak biasa bahkan baru bagiku.
"Tidurlah, Res. Jangan lupa berdoa. Harus terus minta perlindungan pada Tuhan. Yang ini, biar mama yang membereskan."
Dari tempat tidur aku melihat bagaimana seorang mama yang biasanya sangat acuh membereskan segala yang kacau. Ya, mungkin hanya malam ini aku melihatnya demikian. Ia keluar sambil tersenyum hangat, hal yang selalu kutunggu.
Sebelum terpejam, aku berdoa. Berharap tidak ada lagi mimpi buruk yang menghantui tidur malamku. Semoga!
bersambung ....

หนังสือแสดงความคิดเห็น (134)

  • avatar
    Bahy PayongYustinus Kati

    Luar biasa sekali. Sangat Menggugah sekaligus menggugat. semangat selalu

    18/07/2022

      3
  • avatar
    LayFelicia

    awalnya penasaran sm judulnya Krn sebutan suanggi biasanya hanya di daerah timur termasuk kami di Papua, stlh baca ceritanya menarik juga, semoga sukses terus ya Thor 😇

    23/06/2022

      0
  • avatar
    Neschenney Tracy

    sangat best.. 😍

    21/05/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด