logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Hadiah dan Bencana

Ucapan Pangeran Nanggala Seta tidak sekadar omong kosong, melainkan benar adanya. Sebulan setelah pengukuhan para Senopati dan beberapa Tumenggung baru, Prabu Dananjaya mengadakan pertemuan agung lagi.
Barangkali itu yang dibilang anugerah, hadiah terbesar bagi orang-orang yang bisa menahan diri tidak terbawa amarah. Jabatan Senopati memang lepas dari angan-angan. Tapi siapa sangka, aku justru dikukuhkan menjadi prajurit pengawal pribadi raja, bersama enam orang lainnya.
Kedudukan yang paling tinggi tentu saja, kehormatan tersendiri bisa selalu dekat dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan Sang Prabu serta keluarga istana.
Jika punggawa lain yang memiliki kepentingan dengan raja harus melalui pemeriksaan prajurit jaga, maka tidak dengan kami. Aku dan keenam teman terpilih bebas ke luar masuk ruang pribadi raja.
Namun, kegembiraan hari pengukuhan itu tidak bertahan lama. Takdir benar-benar menyukai kesedihan dan air mata. Sesaat sebelum pertemuan agung dibubarkan, dua orang dayang menghadap sambil menangis, melaporkan bahwa permaisuri Dyah Chandra Mukti wafat. Tabib istana yang memeriksa menyimpulkan, kematian itu akibat racun. Tapi, pelaku sebenarnya terlalu pintar memutar balik kenyataan, sehingga dayang setia Permaisurilah yang akhirnya terhukum mati.
Hari cerah di kerajaan Jangkar Bumi berubah mendung berkabung. Alam seolah turut menangis mengantar jenazah Permaisuri ke tempat peengabuan. Orang-orang yang tadinya memadati paseban agung sampai alun-alun, membentuk iring-iringan panjang ke candi tempat peristirahatan terakhir.
°°°°
Empat puluh hari setelah masa berduka, Sang Prabu mengangkat permaisuri baru atas desakan para selir. Yang paling berambisi di sini adalah Ratna Lestari---selir tertua. Tetapi, wanita cantik putri Demang Prayungan itu harus gigit jari. Sebab, Dewi Gayatri---selir kinasih Sang Prabu---yang akhirnya menggantikan posisi Gusti Dyah Chandra Mukti sebagai permaisuri baru.
Sejak saat itu perselisihan demi perselisihan adalah hal biasa di istana, beda pendapat yang meruncing ke perkelahian antar kelompok prajurit, lumrah. Sang Prabu sulit mengendalikan duri dalam daging, mudah terpengaruh oleh berita sayup-sayup. Kehidupan rakyat di luar istana pun kacau, musim paceklik menggantikan masa panen.
Keadaan serba sulit.
Sebagai pengawal pribadi raja, aku tahu seluk beluk kekacauan itu. Tapi, tidak bisa berbuat apa-apa. Hukum yang perlahan tumpul, akan menyerang siapa saja jika berani banyak bicara. Mata pedang siap saling tusuk seiring kecurigaan sesama pegawai istana.
Penyebabnya adalah iblis sesembahan Ratna Lestari, dia mengerahkan anak buahnya---para jin dan siluman---untuk merasuki pikiran serta mengadu domba. Langka orang yang benar-benar baik, kami dibuat seperti masa bodoh keadaan sekitar.
°°°°
Suatu malam, aku sengaja membuktikan hal ganjil yang selama ini mengganggu ketentraman kerajaan. Gumpalan awan terlalu pekat di langit, tapi entah kenapa seperti ditahan untuk turun hujan. Hawa dalam rumah panas tidak nyaman, tapi begitu ke luar rumah embusan angin teramat dingin tidak wajar.
Rupanya bukan hanya aku yang peka, Rahastri pun menyusul ke teras.
"Kau merasakan sesuatu?" tanyaku pelan.
Dia mengangguk. "Pikiranku selalu gelisah sejak mendiang Ibunda Chandra Mukti sakit, Kakang."
"Kalau begitu ayo kita cari, sebenarnya ada apa."
Kami lantas turun ke halaman, bersila menghadap barat daya dengan kedua tangan mengatup di depan dada. Mata terpejam rapat berusaha menyatu dengan kepekaan batin untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Bukan meraga sukma, hanya mengamati saja.
Sebentar kemudian, aku seperti mendengar beberapa orang bercakap-cakap. Bau dupa dan aneka kembang sesaji menjadi pemandangan pertama. Ternyata aku berada di dalam kamar Gusti Ratna Lestari yang megah penuh ukir-ukiran emas. Tidak ada Rahastri, melainkan selir tertua itu, putranya, dan ... seorang wanita berpakaian peramal tengah memaki-maki keduanya.
"Apa kau belum puas saat ini menjadi selir kesayangan, Lestari?" Wanita yang menggenggam tongkat kepala naga beraura pekat itu menghardik.
"Belum, Nyi Ratu. Hamba ingin menjadi permaisuri. Dengan begitu putra hamba pasti menjadi calon raja," jawabnya sambil menyembah.
Pangeran Kurendra Pati mengangguk membenarkan ketidakpuasan ibunya.
"Apa belum cukup anak buahku membuat istana ini kacau, putra Gayatri sakit-sakitan, serta Dananjaya menjadi raja yang tidak peduli lagi nasib negerinya?"
"Belum, Nyi Ratu. Selama Ramanda prabu masih hidup, maka putra yang paling dikasihi tetap Kangmas Nanggala Seta." Kali ini Pangeran Kurendra Pati yang bicara.
"Lalu, apa keinginanmu, Kurendra Pati?"
"Menjadi raja Jangkar bumi, membuat putra Ibunda Gayatri itu sakit-sakitan seumur hidup, dan Ramandra Prabu harus terbunuh di tangan saya!"
Wanita berpakaian peramal itu tertawa mengerikan. "Kau menginginkan kematian Ramandamu sendiri?"
Mengangguk Pangeran Kurendra Pati.
Wanita berpakaian peramal yang dipanggil 'Nyi Ratu' yang belakangan aku ketahui sebagai ratunya para iblis terbahak-bahak sekali lagi. Ia menatap sinis dua orang yang tetap menunduk sambil menyembah itu.
"Apa imbalan kalian, jika aku bisa mewujudkan semua keinginan kalian?"
"Nyawa seluruh orang yang setia pada Kanda Dananjaya, menjadi pengikut Nyi Ratu di alam jin." Gusti Ratna Lestari menjawab penuh kesungguhan.
"Apa pun yang Nyi Ratu inginkan dari kami, akan kami penuhi." Pangeran Kurendra Pati menambahkan.
"Bagus. Kalian berdua memang manusia serakah, sekaligus abdiku yang paling setia. Aku pasti membantu cita-cita kalian!"
"Terima kasih, Nyi Ratu. Terima kasih," ucap Gustri Ratna Lestari dan putranya, bersamaan.
Sesaat suasana hening, Ratu para iblis itu mengeluarkan kalung dan keris dari tongkatnya, kemudian menyerahkan dua benda itu pada Pangeran Kurendra Pati.
"Dengar, Kurendra Pati!" serunya yang entah kenapa langsung membuat aku cemas. "Pekan depan kau harus menyerang kerajaan ini dengan pasukanmu, siapa saja yang terkena senjata kalian, langsung musnah menjadi jin penghuni istanaku di Hutan Larangan." Ratu para iblis membeberkan bantuan serta apa yang harus dilakukan abdi setianya.
"Baik, Nyi Ratu. Hamba siap melaksanakan perintah," jawab Pangeran Kurendra Pati. Ambisi jahat nampak jelas dari mata pemuda itu saat mendongak. "Lalu, bagaimana dengan Ramanda Prabu?"
Belum sampai mendengar pembicaraan selanjutnya, aku merasakan seperti ditarik dari ruangan itu. Samadiku sudah berakhir.
"Celaka! Keadaan benar-benar genting!" ucapku setelah membuka mata dan berhasil menguasai diri.
Rahastri menoleh, lalu berucap pelan. "Apa yang kita lihat dan rasakan sepertinya sama, Kang. Dan, para Dewa hanya menghendaki mata batin kita melihat rencana Gusti Ratna Lestari, tanpa mengetahui siapa wanita sesembahan mereka!"
Aku mengangguk, mengiyakan semua ucapan Rahastri tanpa membalasnya. Kurangkul pundak gadis berbaju merah muda itu masuk rumah. Benar, apa yang kami rasakan sama.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang?" tanya Rahastri lagi, begitu pintu rumah kami tertutup dari dalam. Sejenak aku dan Rahastri bisa merasa sedikit aman berbincang.
"Aku tidak tahu, Rahastri. Apa yang kita lihat dalam samadi tadi benar-benar membuatku bingung. Di satu sisi aku ingin menemui Gustri Gayatri dan mengatakan semuanya. Tapi, Pangeran Nanggala Seta tengah sakit keras. Tidak mungkin bicara dalam situasi seperti ini."
Kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing yang tidak kunjung bertemu jalan keluar. Menyampaikan kepada yang bersangkutan takut dikira mengada-ada, membiarkan situasi sama saja bunuh diri massal.
Sampai tiba hari mengerikan itu.
Malam setelah hujan petir, pasukan Pangeran Kurendra Pati menyerang istana Jangkar Bumi mendadak. Ketidaksiapan para prajurit menjadikan kami lengah. Banyak korban berjatuhan tanpa memakan tidak kurang dari seperempat malam, termasuk Ayu Rahastri yang saat itu terpisah dariku.
Aku tidak sempat mengingatkan dia tentang tumbal dan bantuan ratu sesembahan Gusti Ratna yang pernah kami lihat dalam samadi. Terlanjur menyaksikan sendiri, dia gugur terkena anak panah setelah membunuh banyak prajurit lawan. Tetapi, jasadnya lenyap seketika.
Aku ingin terjun ke medan pertempuran saat itu juga, amarah dan kekecewaan karena datang terlambat hingga kehilangan adik tercinta, membuatku tidak lagi peduli apa pun. Hampir saja, saat seorang dayang menarik tanganku berlari ke lorong kasatrian.
Dia tidak bicara sepatah kata pun, selain mengatakan bahwa keadaan tidak mungkin diselamatkan, kecuali melarikan diri bersama Pangeran Nanggala Seta.
Napas kami terengah sesampainya di depan kasatrian. Tidak ada waktu untuk memikirkan aturan mau pun adab kepada calon raja. Tanpa mengetuk, aku dan dayang itu langsung masuk dan mengunci pintu ruang tidur putra Dewi Gayatri dari dalam.
Tadinya, kami mengira Pangeran Nanggala Seta murka atas kelancangan itu. Ternyata tidak. Aku langsung diminta memapah beliau melewati lorong rahasia, sedangkan ibunya dan dayang tadi membawa buntalan kain.
Mungkinkah ibu dan anak itu sudah mengetahui kejadian sebenarnya?
Kenapa perbekalan pun dipersiapkan begitu rapi?
Pertanyaan demi pertanyaan terus berkecamuk memenuhi pikiran, tapi aku belum berani bertanya apa-apa. Bahkan, saat beberapa kali istirahat dua hari dua malam pelarian kami.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (103)

  • avatar
    DianAyuning

    halo, Kak, baru sampai bab 6 nih, huhuhu. lambat sekali aku bacanya tapi ceritanya menghibur sekali.

    18d

      0
  • avatar
    Suci putriGita

    saya suka

    24d

      0
  • avatar
    Atiey17Farawati

    good

    11/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด