logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Sang Prabu Dananjaya

Povv Kaivan.
Wuiing!
Kubawa Naya mendarat tepat di halaman rumahnya. Sebuah bangunan tidak terlalu besar, dengan beberapa pot kecil berisi bunga warna warni. Kurasa ini yang orang sebut rumah minimalis.
'Apa rumah manusia modern memang seperti ini? Padat, sedikit tanaman hijau, dan membosankan!'
Aku terus berucap dalam hati, sambil mengamati sekeliling, melihat satu per satu bangunan serupa rumah Naya. Sama, cat saja yang berbeda.
"Hey, ayo masuk!" Dengan wajah kesal, Naya menarik tanganku masuk rumah. "Betah sekali di teras. Liatin apa, sih?"
Wajar jika gadis cantik berbaju tosca dengan hiasan mawar di pundak itu kesal, dipanggil dari tadi aku malah asik sendiri, katanya.
"Ehm, enggak. Aku cuma mengamati rumah-rumah di sekitar sini," jawabku.
"Ada yang aneh?"
Aku lantas duduk di kursi empuk bermotif batik, ada bantal kecil warna senada tergeletak begitu saja. Jadi ingin tidur!
"Iya. Rumahnya berbeda dari zamanku."
Naya tersenyum simpul. "Namanya rumah minimalis. Bangunan yang tidak seberapa luas ditata sedemikian rupa, supaya lahan atau tanah cukup.
Nah, lahan berisi jejeran rumah dengan jumlah tertentu, namanya kompleks. Kompleks perumahan. Ini Jakarta, Van. Penduduk akan kekurangan tempat tinggal kalau tidak begini. Saking padatnya."
Benar, kan? Rumah minimalis nama bangunan tempat tinggal manusia modern.
"Kalau rumah zaman kamu, untuk orang biasa berdinding bambu. Sedangkan juragan, lurah, atau kaum ningrat bangunan joglo seperti rumah Kakekku. Iya, kan?" lanjut Naya panjang lebar, diakhiri pertanyaan.
Aku mengangguk. "Tahu dari mana?"
"Membaca!"
Oo, rupanya dia gadis cerdas. Selain cantik, wawasan serta pemikirannya juga luas. Terbukti Naya bisa menembus portal zaman dari pengetahuan buku-buku, bisa tahu apa saja tanpa datang langsung ke lokasi.
"Semua rumah, sekarang seperti ini?"
"Rata-rata. Tapi, tidak semua. Ada rumah minimalis, megah, hotel, bahkan apartemen bertingkat sesuai harga."
"Apartemen?" Aku mengernyit bingung. Apalagi itu.
"Apartemen itu bangunan bertingkat sangat tinggi, memiliki banyak ruangan yang ditata sedemikian rupa dalam satu gedung." Naya kemudian membuka benda kotak pipih bersinar, menggeser lama entah mencari apa. Lalu menunjukkan benda itu padaku. "Nih!"
Aku melihat seksama beberapa gambar. Bangunan kotak dengan tinggi bermeter-meter, ada jendela kecil berjumlah banyak. Cat abu-abu dan biru mendominasi.
"Rumah susun?" celetukku.
"Mirip. Tapi, lebih lengkap apartemen fasilitasnya," jawab Naya.
"Fasilitas itu apa?"
Awas, ada yang tertawa saya tring jadi Candi Prambanan!
"Segala sesuatu yang dibutuhkan manusia supaya kegiatan sehari-harinya lancar. Contohnya; rumah, kendaraan, hape yang kamu pegang itu, dan lain-lain."
Oo, ini namanya hape. Oke, ilmu bertambah lagi.
"Kalau hotel, apa?"
Naya menghela napas, menahan tawa dalam hati sebenarnya. Tapi, berusaha biasa saja sambil meminta benda pipih menyala dari tanganku.
Hape kan namanya?
"Rumah penginapan!" Naya kembali menunjukkan beberapa gambar padaku. "Kayak gini hotel."
Loh, kok beda dengan zamanku? Rumah penginapan manusia modern ditata bertingkat satu gedung, sekilas tidak ada beda dengan apartemen. Hotel memiliki cat beragam dan halaman lebih sejuk, itu saja.
Tau deh, mumet!
"Tempat duduk kita ini namanya apa?" Mumpung ingat sekalian tanya.
"Sofa!"
Aku mengangguk mengerti. "Enak ya manusia sekarang. Memiliki tempat tinggal nyaman, kursi empuk, dan semua serba mudah. Tidak seperti zaman kerajaan dulu."
Naya tersenyum tipis, kurasa itu cara mengiyakan yang irit kata-kata.
"Minum, Van. Ini jus alpukat dingin. Terbang sama kamu jadinya haus. Tadi aku bikin minum dulu tanpa negur kamu," tawar Naya.
Sambil mengucapkan terima kasih, aku mengambil satu gelas berisi minuman warna hijau, kemudian meneguknya sedikit. Manis, dingin seperti air kutub. Tapi, lebih dari cukup menghilangkan haus.
"Terima kasih udah menjelaskan tentang rumah dan membuat minuman ini," ucapku, yang kembali menerbitkan senyum simpul di bibir Naya "Sesuai janji tadi malam, aku akan bercerita masa laluku, dan kenapa sampai ke duniamu."
Naya memberi jeda dengan pertanyaan. "Tunggu, apa aku sudah bisa dilihat orang?"
Astaga!
"Tentu, sejak mendarat di halaman tadi sihirku otomatis lenyap."
"Baik, silakan cerita."
Namun, rasanya kurang enak kalau ada orang lain mendengar kisahku. Karena di manapun, orang ketiga adalah setan kalau enggak obat nyamuk. Segera aku menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk ....
Tring!
Bruk!
Pintu warna putih dengan grendel perak tertutup sempurna. Dan, sebuah perjalanan panjang mulai kuceritakan sambil sesekali meminum ... jus alpukat.
°°°°
Ratusan tahun lalu, ada sebuah kerajaan bernama Jangkar Bumi. Prabu Dananjaya memerintah dengan adil, sehingga negeri kami jarang dilanda bencana. Sikap rendah hati, mau menerima saran para punggawa, serta bersedia diingatkan jika salah ... membuat Sang Prabu disebut-sebut sebagai titisan Dewa Wisnu.
Hampir semua titah dan keputusan beliau, diaminkan serta dilaksanakan seluruh rakyat dengan sepenuh hati. Sayang sekali, Permaisuri Dyah Chandra Mukti tidak bisa memberi Sang Prabu anak, satu pun.
Meski begitu, dua di antara selir Sang Prabu memiliki anak laki-laki, masing-masing seorang. Dan, sudah dianggap anak kandung sendiri oleh Gusti Permaisuri. Bahkan, adikku yang hanya sebagai pelatih prajurit wanita, memanggil beliau Bunda.
Hal itu baru aku ketahui setelah pengukuhan para senopati, dan aku tidak terpilih. Padahal sudah lama menjadi prajurit, ilmu dan persyaratan lain pun terpenuhi.
Menjelang senja saat aku merenungi nasib duduk bersandar gapura Kepatihan, tiba-tiba saja adikku menghampiri. Gadis berbaju merah itu sesekali mengibas-ngibaskan selendang, barangkali selesai berlatih. Atau terpaksa menyudahi berlatih, karena mendapat laporan prajurit jaga soal aku.
Entahlah.
Dia coba memberi nasehat sehalus mungkin, mencari kalimat yang tepat supaya tidak berdebat denganku. Namun, baru saja bicara sedikit, seorang dayang menghampiri kami.
"Maaf, Tuan Mahesa Pati, Raden Ajemg Rahastri ... jika saya mengganggu," ucapnya setelah memberi sembah hormat. "Den Ajeng dipanggil Gusti permaisuri,"
"Aku dipanggil? Kira-kira kau tahu ada apa, Dayang?" Seketika Rahastri berdiri, menatap lekat Dayang yang menunduk hormat itu.
"Maaf, saya tidak tahu, Den Ajeng."
Rahastri terlihat bimbang, beberapa kali dia menimbang. "Aku ganti pakaian dulu kalau begitu."
"Perintahnya sekarang, Den Ajeng."
"Apa Bunda Chandra Mukti sakit, dan tidak mau makan, lagi?"
Dayang itu mengangguk.
"Kalau begitu--"
Aku yang sejak tadi menyimak, langsung berdiri mencegah kepergian Rahastri. Amarah meluap seketika.
"Tunggu, Rahastri! Apa maksudmu memanggil Gusti Permaisuri dengan sebutan Bunda?"
"Jangan salah mengerti, Kakang." Dia tersenyum sebelum bicara. "Aku tidak bermaksud apa-apa, Bunda sendiri yang minta karena sangat menginginkan anak perempuan."
"Kau tahu itu lancang, bukan? Kita harus mengerti derajat! Kaum sudra yang karena keberuntungan bisa bekerja di istana! Jangan bermimpi jadi anak raja!"
"Aku tahu, Kakang. Tapi, semua ini kehendak Bunda, bukan aku!"
Semakin panas hati ini mendengar bantahan demi bantahan Rahastri. Meski dia pendekar, namanya dikagumi seantero negeri dan menjadi satu-satunya Senopati perempuan ... tapi sudah berani lancang. Dia harus diberi pelajaran supaya tahu diri sebagai kawula.
Namun, seseorang datang di waktu yang tepat. Menengahi persoalan hingga niatku yang semula hendak menampar Rahastri, urung.
"Jangan diteruskan, Kakang Mahesa!"
Seketika kami menoleh, memberi sembah hormat pada laki-laki rupawan itu.
"Sembah dan hormat kami, Pangeran," ucapku dan Rahastri, bersamaan.
Pangeran Nanggala Seta, putra selir terkasih Sang Prabu pun tersenyum. Kemudian turun dari punggung kudanya.
"Aku terima sembah dan hormat kalian. Dan, aku sudah mendengar sedikit perselisihan di antara kalian sebenarnya," jawab beliau penuh wibawa.
"Ampuni kami, Pangeran," balasku.
"Sudah, tidak apa." Pangeran Nanggala menepuk pundakku pelan, lalu beralih menatap Rahastri. "Den Ajeng, silakan ke kaputren menghadap Bunda permaisuri. Biar saya yang bicara dengan Kakakmu."
Gadis berbaju merah dengan selendang warna senada itu mengiyakan, memberi sembah hormat sekali lagi sebelum berlalu diiringi Dayang ke kaputren.
Setelah kedua wanita itu hilang di kelokan lorong, Pangeran Nanggala menepuk pundakku lagi. "Kita bicara di pinggiran kota raja saja, Kakang. Mari ikut aku!"
"Mari, Pangeran." Aku hanya bisa menuruti perintah tanpa berani bertanya macam-macam.
Selanjutnya, tanpa boleh di kawal seorang prajurit pun, kami berkuda meninggalkan istana menuju pinggiran kota.
Sama seperti Rahastri, mulanya putra Dewi Gayatri ini pun memberi kata-kata penghibur hati. Meminta supaya aku bersabar dan tidak menuruti amarah. Ada hadiah yang lebih besar disiapkan untukku.
Terdorong rasa penasaran dan kekecewaan teramat, aku memberanikan diri menanyakan hadiah itu. Tapi apa jawabannya? Pangeran Nanggala Seta hanya tersenyum penuh arti, meminta supaya aku bersabar sampai pertemuan agung bulan depan.
Kalau saja beliau bukan putra seorang raja, pertarungan sampai cidera adalah harga pantas yang harus dibayar atas permainan kata-katanya.
Sayangnya beliau putra Sang Prabu, yang tersohor nama dan sifat menurun dari kedua orangtuanya. Bahkan, berhati sutra seperti ibunya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (103)

  • avatar
    DianAyuning

    halo, Kak, baru sampai bab 6 nih, huhuhu. lambat sekali aku bacanya tapi ceritanya menghibur sekali.

    18d

      0
  • avatar
    Suci putriGita

    saya suka

    24d

      0
  • avatar
    Atiey17Farawati

    good

    11/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด