logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

6.

"Sherin! Tunggu!" Sherin terus berjalan, mengabaikan panggilan dari ayahnya. Terlalu sakit saat tahu ayahnya pindah rumah ke sebuah perumahan elit, sedangkan dia harus tinggal sendirian di kamar kos yang sempit dan memikirkan cara bertahan hidup.
"Sherin!" Air mata Sherin menetes disertai perasaan sesak dalam dada. Kenapa dia harus dilahirkan jika ujungnya diabaikan oleh dua orang yang harusnya menjaganya. Jika bisa memilih, Sherin tak mau lahir ke dunia saja. Atau, dia lebih memilih terlahir dari keluarga yang baik-baik saja.
"Sherin!" Tangan Sherin dicengkeram cukup kuat. Dengan cepat, Sherin menepisnya. Berbalik menatap ayahnya dengan pipi basah oleh air mata.
"Apa?" Sherin bertanya dengan suara bergetar. Fendi, ayah Sherin terdiam melihat putrinya menangis seperti itu.
"Kenapa kabur? Papa ingin bicara denganmu."
"Bicaralah secepatnya. Istrimu akan marah jika kita terlalu lama bicara," balas Sherin dingin.
"Bagaimana kuliahmu sekarang? Sudah lama kamu tidak datang ke rumah untuk meminta uang. Padahal-"
"Jika Papa bisa berpikir, harusnya Papa kunjungi aku. Lihat bagaimana kondisiku. Aku tak datang lagi karena istri baru Papa melarangku meminta uang lagi. Dia ingin, anaknya saja yang Papa urus." Fendi terdiam mendengar itu. Walau tahu kenyataan tentang istrinya yang tak menyukai Sherin, mata hatinya seolah tertutup. Tetap saja mementingkan istri baru dan anak tirinya.
Fendi tak bicara, mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada Sherin. Sherin menggeleng, menolaknya.
"Aku sudah punya pekerjaan. Aku tak butuh uang dari Papa lagi. Silahkan berikan saja pada anak istrimu yang baru," ucap Sherin.
"Sherin, terimalah. Maaf jika nominalnya sedikit. Tapi-"
"Kalau dia tak mau gak usah dikasih! Manja sekali! Harusnya tahu diri sudah mau dikasih bukannya ngelunjak!" Mawar, ibu tiri Sherin langsung mengambil uang di tangan Fendi yang akan diberikan pada Sherin. Matanya menatap Sherin dengan tajam.
"Mawar, itu uang untuk Sherin!"
"Mas! Dia aja nggak mau! Jangan manjain dia deh! Nanti kebiasaan!"
"Manja? Siapa yang manja? Aku atau anakmu?" tanya Sherin. Mawar melotot marah pada Sherin yang bicara sinis padanya.
"Selamat, Pa. Papa berhasil menghancurkan hidupku. Papa lebih peduli pada anak tiri ketimbang anak kandung. Tapi, tak masalah. Jika sudah sakit-sakitan, suruh anak tiri Papa itu untuk mengurus Papa. Jangan pernah cari aku," desis Sherin.
"Lihat, Mas! Dia bahkan sampai berani berkata seperti itu padamu!"
"Berisik. Harusnya kau juga didik anakmu untuk mandiri. Bukan bergantung pada ayah orang lain. Memalukan," desis Sherin. Tentu saja Mawar marah mendengar itu. Dia berjalan cepat mendekati Sherin, ingin menampar anak tirinya tersebut. Namun, tangannya tertahan di udara. Di cekal dengan kuat oleh seseorang.
"Menikah dengan seorang duda yang memiliki anak, tentu harus menerima anaknya juga. Sama seperti suamimu, yang menerima anakmu dengan baik. Tapi kenapa kamu tidak?" Revan melontarkan pertanyaan pada Mawar, masih dengan tangan mencengkeram pergelangan tangan Mawar dengan kuat. Menahan Mawar yang akan menampar Sherin.
"Jangan ikut campur urusanku!" teriak Mawar marah. Revan melepaskan tangan Mawar, menatap wanita itu dengan datar.
"Sebaiknya kalian pergi. Jangan membuat masalah di depan rumah ibuku," ucap Revan. Fendi menarik Mawar dan langsung pergi dari sana. Sherin menatap kepergian ayahnya dengan nanar. Lihatlah. Yang berusaha melindunginya pun adalah Revan. Bukan ayahnya.
"Kamu mau pulang? Atau pergi ke suatu tempat?" Revan bertanya. Sherin menghapus air matanya dengan kasar. Dan Revan melihat sakit hati yang dalam pada diri Sherin. Mungkin, Vano dan Vian pun akan seperti itu jika dia menikah dengan wanita yang tak mau merawat anak-anaknya.
"Terima kasih, Om. Aku pergi dulu." Sherin berbalik, hendak pergi. Tapi Revan menahannya. Mencekal tangannya dengan pelan.
"Biar saya antarkan."
"Tak perlu, Om. Sebaiknya Om masuk ke rumah. Kasihan Nek Sinta sendirian." Sherin melepaskan tangan Revan yang memegang tangannya. Kemudian berjalan pergi dari sana. Revan diam memperhatikan. Merasa kasihan juga pada Sherin. Karena dia melihat sendiri bagaimana Sherin diperlakukan oleh ayah dan ibu tirinya.
Revan berbalik, masuk ke dalam rumah. Dan rupanya, Sinta memperhatikan dari rumah.
"Sherin mau ke mana?" tanya Sinta. Dia terlihat khawatir.
"Pergi, Bu."
"Kamu susul sana. Ibu khawatir dia kenapa-kenapa," ucap Sinta. Terlihat sorot khawatir dalam matanya.
"Ibu khawatir dia mencelakakan diri sendiri karena kejadian barusan. Kelakuan ayah dan ibu tirinya pasti berdampak pada pikiran dan mentalnya. Ibu khawatir, dia nekat melakukan hal yang bahaya," lanjut Sinta. Revan diam mendengar itu. Namun, dia langsung pamit. Benar yang dikatakan ibunya. Sherin sedih, dan pasti merasa putus asa karena perlakuan ayah dan ibu tirinya. Takut Sherin berpikiran pendek dan berniat mengakhiri hidupnya sendiri.
"Aku pergi dulu, Bu."
"Iya. Hati-hati di jalan. Kalau bisa, kamu antarkan dia sampai tempat tinggalnya. Pastikan dia baik-baik saja."
***
Sherin berjalan menyusuri trotoar dengan langkah pelan. Matanya menatap kosong pada jalan yang dia pijak. Perlakuan dan perkataan ibu tirinya masih terngiang-ngiang dalam kepala Sherin. Membuat dada Sherin semakin sesak. Yang paling menyakitkan dari itu semua adalah sikap ayahnya. Ayahnya yang hanya diam saja tanpa berusaha memberikan pembelaan. Bahkan saat Mawar berniat menamparnya, ayahnya masih diam saja. Seolah tak peduli kalaupun istri barunya menyakiti Sherin.
"Sherin! Masuklah!"
Langkah Sherin terhenti lalu menengok pada seseorang yang mengendarai mobil dan berhenti di sampingnya. Lagi-lagi, Revan.
"Tak usah, Om. Aku bisa pulang sendiri," tolak Sherin. Tak disangka, Revan langsung keluar dan menghampiri Sherin. Menatap gadis itu dengan lekat.
"Masuklah. Biar saya antar kamu pulang," ucap Revan lagi. Sherin menghembuskan nafas pelan. Dia pun mengangguk dan masuk ke dalam mobil Revan. Pikiran dan hatinya sedang kacau sekarang.
Selama di perjalanan, Sherin hanya diam. Menatap keluar jendela mobil dengan tatapan kosong. Revan sesekali meliriknya lewat sudut mata. Namun, dia bisa mengerti kenapa sekarang Sherin seperti itu.
Seorang ayah, yang harusnya menjadi cinta pertama seorang anak perempuan malah menjadi orang yang menorehkan luka menyakitkan. Tidak peduli dengan keadaan anaknya, bahkan mungkin jika terjadi sesuatu pun ayahnya tak akan tahu.
Karena melamun, Sherin sampai tak sadar kalau mobil Revan sudah sampai di depan kosannya. Sherin mengerjap pelan, lalu hendak turun dari mobil. Namun, sebelum turun Revan memberikan sesuatu pada Sherin.
"Itu nomor telepon saya. Hubungi saja jika ada sesuatu," ucap Revan. Sherin terdiam seraya melihat deretan angka di selembar kertas berukuran kecil itu. Sherin tak berpikir untuk apa, namun langsung mengucapkan terima kasih. Setelah itu dia keluar dari mobil Revan dan masuk ke dalam kosannya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (662)

  • avatar
    Ade Lintang

    Great. I love it. Happy ending ❤️

    30/08/2022

      0
  • avatar
    ManroeBona_Joana

    seru banget...dan penasaran...andaikan bab nya lebih banyak 😍😍

    17/05/2022

      2
  • avatar
    Maya Lahe

    sampai baper bacanya ikut nangis baca kisah hidupnya senang nya happy ending. semangat nulis tor 💪💪

    20/04/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด