logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 4

Benci, benci, nyatanya cinta. Bolehkah aku benar-benar mencintaimu?
🍁
"Qiren, besok kamu ada acara festival sekolah 'kan?"
"Iya, Ma."
"Mama sama Papa gak bakal dateng, ada meet di kantor yang lebih penting."
"Iya, Ma."
"Inget, kamu harus tampil cantik biar banyak yang suka. Nanti kamu bakal dijodohin sama temen kerjanya Papa, biar perusahaan keluarga kita makin terbantu."
Qiren hanya mengangguk mengerti, Mamanya terus saja mengoceh hal-hal yang tak disukainya. Padahal ia sudah senang sang Mama mau mengajaknya makan malam berdua di luar. "Kamu juga harus kayak Kak Gara, walaupun dia gak jadi nikah sama orang kaya, dia pinter dan bisa ngelanjutin perusahaan. Jadi kamu belajar yang bener."
Sekali lagi, Qiren mengangguk.
Ini hanyalah takdir turun-temurun. Pernikahan orangtuanya semata-mata hanya untuk perkembangan perusahaan. Sekarang, Qiren pun hanya dianggap sebagai salah satu aset perusahaan. Ia tidak apa-apa. Ya, sama sekali tidak keberatan, jika saja ...,
Bosan melihat pemandangan di luar, Qiren menoleh ke samping kanannya. Tapi, alih-alih beberapa pengunjung restoran yang makan, yang menjadi atensinya malah Nadhif yang juga sedang melihat ke arahnya. Jarak meja mereka cukup dekat, membuat Qiren yakin, Nadhif pasti mendengar semuanya.
Cowok itu tersenyum dan melambai kecil.
Qiren cepat-cepat memalingkan wajah dan memakan makanannya.
Awalnya ia pikir Nadhif akan meledeknya di sekolah. Ikut merendahkannya seperti yang lain karena ia memang tidak berharga. Namun itu tidak terjadi. Dan yang membuat Qiren membenci Nadhif adalah ... karena Nadhif tidak mengenal privasi. Nadhif mengetahui apa yang tidak seharusnya orang lain ketahui tentang Qiren.
Cowok itu seolah menerornya, ada di manapun ia berada. Termasuk ketika ibunya sedang mengingatkan bahwa ia tidak ada bedanya dengan aset perusahaan.
Qiren benci pada cowok itu.
Ah, tidak.
Qiren benci dengan hidupnya.
🍁
Qiren berdiri di depan cermin toilet sekolahnya dengan gaun biru muda selutut dan sepatu kets berwarna putih. Di rambut pendeknya terdapat jepit rambut berbentuk kupu-kupu berwarna biru. Tangannya bergerak meraba poni yang menutupi sebelah matanya.
"Semua cewek ... cantik, ya?" Qiren tersenyum mengingat perkataan Pangeran kemarin. Ia menyampirkan poninya ke belakang telinga hingga sebelah matanya tak lagi tertutup.
Baru saja Qiren membuka kotak bedaknya, sebuah tangan panjang terulur dan menutup kotak kecil itu kembali. Qiren menoleh mengalihkan pandangan dari cermin.
Nadhif yang berdiri di ambang pintu toilet tersenyum miring. "Gak usah pake bedak, lebih cantik kayak gini."
Beberapa saat Qiren terpaku dengan perkataan cowok itu, hingga Ia menyadari sesuatu dan langsung mendorong Nadhif kasar hingga keluar dari toilet. "Lo ngapain di toilet cewek, bego?!!"
Nadhif tertawa keras hingga terpingkal. "Tapi bohong, deh, lo emang jelek!"
Sementara Qiren pergi dari hadapannya dengan langkah berderap. Kedua tangannya terkepal dengan pipinya yang memerah. Untung saja ia hanya bercermin, dasar Nadhif. Kalau cowok itu mengintipnya, Qiren akan benar-benar membunuhnya.
"Eh, itu si Qiren?"
Langkah Qiren memelan, ia menundukkan wajahnya dalam-dalam ketika mendengar bisik-bisik dari cewek-cewek penggosip di koridor.
"Eh? Dia gak pake make up?"
"Iya, poninya juga disampirin."
"Ngerubah gaya katanya? Cih."
"Modelan ibu-ibu gitu, najis."
"Jadi jijik gue—eh, enggak, deh, emang udah jijik dari dulu."
Kini langkah Qiren benar-benar berhenti. Menunduk dalam, ia mengepalkan kedua tangannya, gigi-giginya bergemeletuk seraya menahan tangis. Harusnya ia memakai make up dulu.
"Ngaca dulu sebelum ngatain orang, najis." Suara yang familier membuat Qiren berhenti, ia mendongak.
Pangeran yang kebetulan lewat mencibir, tidak menatap siapapun, cowok itu dengan tenangnya melewati kerumunan cewek yang sedang menggosip terang-terangan. Tangannya dimasukan ke dalam saku celana, ia menghembuskan napas dan berbalik saat sudah berada di samping Qiren. Matanya menyorot kerumunan cewek itu dengan tatapan rendah. "Kalo dia modelan ibu-ibu, lo apa? Cantik modal make up doang aja bangga, mau muntah gue."
"Tadinya gue pikir semua cewek itu cantik," Pangeran berkata lagi, "Tapi kalo kayak gitu, mulut lo yang bikin lo keliatan busuk."
🍁
"Bego! Bego! Bego!" Pangeran yang berada di toilet paling ujung menjambak rambutnya frustasi. Untung saja tidak ada siapapun selain dirinya di toilet. "Apa yang lo pikirin, Pangeran?!! Mau jadi pahlawan kesiangan? Dibunuh si Nadhif langsung mati lu!"
Lagi-lagi cowok itu menghela napas. Pikirannya bergerak pada kejadian beberapa menit lalu.
.
"Tadinya gue pikir semua cewek itu cantik." Pangeran berkata lagi, "Tapi kalo kayak gitu, mulut lo yang bikin lo keliatan busuk."
Semua cewek yang ditatap Pangeran menunduk malu. Beberapa dari mereka menggumamkan kata maaf membuat Pangeran sekali lagi mendecih. Tak lama kerumunan cewek-cewek penggosip itu pun bubar. Namun, ada lagi yang menarik atensi Pangeran.
Cowok tinggi yang beberapa meter di depannya berdiri di tengah keramaian koridor kini terlihat memicingkan mata. Tersenyum miring ke arahnya sehingga membuatnya merinding. Nadhif bersiul dan maju beberapa langkah. "Gak nyangka gue, ternyata cowok culun bisa sok-sokan kayak gitu, ya?"
"Nadhif!" Qiren berseru seolah membela Pangeran. Sementara Pangeran hanya memalingkan wajah. "Jangan ngomong gitu sama Pangeran, seenggaknya dia nolongin gue! Beda sama lo yang bisanya cuma ngetawain gue aja!"
Pangeran tidak menggubris itu semua. Ia berbalik dan melengos pergi begitu saja. Menghiraukan Qiren yang terus mengoceh, memanggilnya dengan sebutan si Cupu Sombong.
.
"Pangeran Bego!!!"
🍁
"Gue gak suka, ya, kalo lo ngomong gitu ke Pangeran." Qiren mulai berbicara, ia sedang berada di atap gedung utama bersama Nadhif, menjauh dari keramaian festival dan memilih menikmati semilir angin pagi.
Nadhif mendengus jengkel. "Gue juga gak suka, ya, kalo lo deket-deket Pangeran."
"Itu, sih, bukan urusan lo!"
"Berarti bukan urusan lo juga kalo gue mau ngomong apa aja ke Pangeran."
"Mau lo apa, sih?" Qiren menatap Nadhif sengit.
Nadhif menyeringai. "Gue mau lo jadi pacar gue."
"Najis!"
"Malu-malu gitu, deh!"
"Siapa yang malu gue tanya?" Qiren mendengus jengkel, menatap Nadhif tak percaya. "Kenapa lo mau jadi pacar gue?"
"Soalnya ...." Jeda beberapa saat, Nadhif tampak berpikir. "Gak bakal ada cowok yang mau sama cewek modelan emak-emak kayak lo kecuali gue."
Qiren melotot. "Sok tau lo!"
"Emang bener, kecuali lo emang mau sama om-om yang Mama lo bilang."
Qiren tidak menjawab, ia memalingkan wajah. "Awas aja, Nadhif, gue pasti bakal bikin lo mati beneran!"
"Kalo gitu ...." Nadhif merangkul bahu Qiren. "Anggap aja kalo lo jadi pacar gue, lo bakal bisa lebih mudah bunuh gue."
Qiren menghela napas lelah. Menghadapi Nadhif memang tidak ada habisnya. "Terserah lo aja, deh!" ujarnya kemudian.
"Oke!" Nadhif tersenyum puas seraya mengacungkan jempol. Tidak apa-apa. Mungkin lebih baik seperti ini. Mengorbankan dirinya untuk dibunuh oleh orang yang ia cintai.
"Gue ke lapangan dulu, mau nemenin Chika jaga stand 11 IPA 1." Qiren melepaskan rangkulan Nadhif di bahunya dan segera pergi.
Saat Qiren tak lagi terlihat di pandangannya. Nadhif menghembuskan napas seraya menatap langit.
"Mungkinkah hati meminta, kisah kita selamanya~!!"
Seruan itu membuat Nadhif menoleh ke samping, ia melihat siluet seseorang cowok di sudut. Dia lagi.
Pangeran menatap langit di atap yang sama, bersenandung mengikuti alunan musik di earphone-nya. Cowok itu menoleh menatap Nadhif bingung, pasalnya tatapan Nadhif seolah akan membunuhnya. Kemuadian ia menyadari sesuatu dan mengangkat kedua tangannya seolah kriminal yang dikepung polisi. "Gue nyanyi, sumpah!"
Nadhif tidak menjawab, ia maju beberapa langkah. Sementara Pangeran pun juga mengambil langkah pergi dari atap sambil berseru. "Gue cuma nyanyi!!"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (243)

  • avatar
    PakasiMargaret

    bagus

    04/08

      0
  • avatar
    TapatabSelviana

    kocak Juga si ini crta

    31/07

      0
  • avatar
    AmandaClaura

    bagus

    24/05

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด