logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 4. Ancaman Mengejutkan

Salahkah jika seorang anak lepas kendali, jika panutannya tidak pernah ada untuknya? Atau seorang anak bisa mandiri sendiri, tanpa sedikitpun belaian kasih sayang dari orang tuanya. Karir, jabatan, tahta, serta harta memang kebutuhan yang harus diraih, tetapi jangan sampai lupa, apalagi menelantarkan kewajiban sebagai orang tua terhadap anak, yaitu tanggung jawab, kasih sayang, dan menyisihkan waktu bersamanya.
***
"Oh, gini kerjaan kamu, kalau Ayah dan Ibu tidak ada di rumah? Anak perempuan macam apa kamu, ini! Pagi baru pulang sudah gitu berantakan, lagi! Tidur di mana dan sama siapa kamu, Khanza?" Ayah membentakku dengan pertanyaan beruntun.
Aku tidak tahu kalau Ayah dan Ibu sudah pulang. Mbok Lis juga tidak ada mengabariku, perihal kepulangan mereka. Biasanya selalu mengabarkan, jika Ayah dan Ibu pulang. Jangan-jangan! Aku yang teledor. Ah … sial betul nasibku.
"Khanza, tadi malam inap di rumah teman, Yah." Terpaksa aku berbohong. Takut Ayah semakin boomerang, jika tahu yang sebenarnya. Aku belum sanggup untuk pergi dari rumah ini. Apalagi jadi gelandangan di luar sana. Tidak, tidak! Itu tidak boleh terjadi.
Ibu yang melihat dari tadi sangat cuek, tidak ada sedikitpun rasa kasih sayangnya untukku. Mungkinkah, diri ini bukan anak yang lahir dari rahimnya, sehingga begitu dingin sikapnya.
"Bohong! Jujur Khanza, dari mana, kamu!" Bentak Ayah semakin meninggi.
Aku tergagap oleh bentakkan Ayah. Ibu malah semakin asyik dengan pekerjaannya. Malah Mbok Lis yang terlihat takut dari kejauhan, melihat Ayah marah padaku. Sungguh sangat beda dengan sikap Ibu.
"Khanza, tidak bohong, Yah. Selama ini, Ayah dan Ibu, ke mana saja? Kenapa, baru sekarang bertanya seperti, ini? Kenapa!" Dengan keberanian dan kekesalan aku meluapkan emosi yang lama terpendam. Tanpa mengindahkan lagi sopan santun terhadap orang tua.
Plakkk!
Sebuah tamparan mendarat cantik di pipi mulusku. Panas, sakit, dan perih menjadi satu aku rasakan. Ibu baru merespon saat Ayah menamparku. Apa ini yang dia tunggu, baru memperhatikanku?
"Ayah! Pagi-pagi sudah bikin ribut. Biarkan aja apa, sih, dia bebas, toh Khanza udah gede, bisa jaga diri sendiri. Udah tau mana yang baik ama yang tidak baik. Kenapa, Ayah labil, gitu!" Ibu marah pada Ayah.
"Ini nih, cara yang salah mendidik anak! Makanya, kamu itu harusnya resign dari pekerjaan, biar bisa menemani Khanza." Ayah balik menyalahkan Ibu.
"Enak aja! Terus, kalau Ibu resign, Ayah bebaskan dekat sama gudikmu, itu!" Ibu tidak terima akan ucapan Ayah.
Aku tidak tahu ada masalah apa di antara mereka berdua. Sudah jarang di rumah, kalau pulang pasti ada saja keributan di antara mereka berdua. Bukan kebahagiaan yang kudapat saat mereka pulang, tetapi neraka yang mereka ciptakan. Ribut, ribut, dan ribut.
"Stop …! Aku, muak melihat kalian ribut, berantem tidak jelas, gini! Lebih baik kalian tidak usah pulang ke rumah, kalau hanya bikin suasana seperti neraka!" Aku khilaf membentak mereka.
Ayah dan Ibu bersamaan menatapku dengan tatapan menakutkan.
"Khanza!" Ayah dan Ibu memanggil namaku berbarengan.
Aku hanya bisa menatap balik mereka berdua. Kupikir mereka akan diam, lalu memelukku, tapi tidak.
Ayah sudah bersiap mengayunkan tangannya. Namun, dengan cepat aku lari ke kamar dan mengunci pintu, sebelum tamparan mendarat lagi. Terdengar keributan mereka berdua masih berlangsung.
Sampai di kamar aku langsung membersihkan tubuhku dari kotoran yang menjijikkan. Apa yang sudah kuperbuat jauh dari segalanya. Membenam perasaan kesal telah membakar jiwa, hingga menghanguskan impian dan harapan dengan sia-sia. Menangis? Apakah bisa mengembalikan semuanya, seperti dulu? Tentu saja tidak.
Selesai mandi aku istirahat. Suara keributan Ayah dan Ibu sudah tidak terdengar lagi. Mungkin mereka sudah pergi atau sibuk dengan pekerjaannya. Ibu menuduh Ayah memiliki gudik. Aku sendiri tidak paham dengan ucapan Ibu. Iya, selama ini mereka berdua selalu ribut saat ada di rumah. Kadang hal sepele jadi besar karena di antara mereka berdua tidak ada yang mau mengalah. Aku yang mendengar bosan, seharusnya mereka pulang ke rumah bertanya, bagaimana kabarku, bukan malah gaduh.
***
Tok … Tok ….
"Non Khanza, Non." Suara lembut membangunkan mimpi indahku. Ternyata Mbok Lis, dia satu-satunya orang yang sangat mengkhawatirkan diriku.
Mata masih terasa berat untuk dibuka, tapi aku paksakan. Di samping itu juga perutku merasa lapar tak tertahankan. Kulihat jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Apa! Tiga jam aku tidur dengan nyenyak. Setidaknya rasa lelah dan kantuk hilang yang pastinya tidak lagi mendengar keributan Ayah dan Ibu.
Krekkk ….
Pintu kamar kubuka. Mbok Lis tersenyum menyambutku. Senyuman yang membuat semangat kembali bersinar. Melupakan semua beban keluh kesah yang bersandar di bahu rapuh. Kehadiran Mbok Lis sangatlah aku harapkan, tanpanya terasa runtuh dunia.
"Ada apa, Mbok? Ayah, Ibu ke mana? Sepi." Aku menyuruh Mbok Lis masuk ke dalam kamar. Padahal perutku lapar, tetapi aku malas keluar kamar, apalagi kalau harus bertemu Ayah dan Ibu.
"Tuan sama Nyonya sudah pergi, Non. Habis menerima telepon Nyonya langsung pergi. Sementara Tuan habis menelepon seseorang juga pergi." Mbok Lis mengabarkan keberadaan Ayah dan Ibu dengan sangat jelas.
"Bagus kalau tidak ada mereka, aman. Aku, lapar, Mbok." Aku mengajak Mbok Lis ke dapur untuk menemani aku makan.
"Ayo, makan dulu, Non. Mbok sudah masakin kesukaan, Non Khanza."
Tanpa membantah aku langsung menarik tangan Mbok Lis dan menggandengnya dengan manja. Seperti tidak ada perbedaan di antara kita. Malah Mbok Lis terkadang terlihat risi, jika aku terlalu manja padanya.
Mbok Lis mengambilkan menu yang kupinta. Dia pun kusuruh untuk ikut makan bersama. Awalnya menolak, tetapi aku paksa akhirnya mau juga. Masaknya luar biasa enak tidak ada yang bisa menyamakannya.
Sepuluh menit selesai makan. Aku duduk santai di depan televisi sambil menikmati waktu yang rileks tanpa ada yang mengganggu. Di saat menikmati waktu santai tiba-tiba ada inbox masuk. Anton? Ngapain dia inbox, kenapa enggak WA, aja?
Kubuka isi inboxnya. Dia ngajak ketemuan di tempat biasa dan mengancamku, jika tidak menuruti keinginannya.
["Sayang, aku tunggu di tempat biasa, oke."]
"Buat apa? Bukan sudah punya yang baru!" Rasa kesal kembali muncul. Televisi langsung kumatikan dan langsung masuk ke kamar dengan perasaan yang tidak nyaman.
["Aku maunya kamu. Cepat ke sini! Enggak pakai lama."] Anton memaksaku untuk menemuinya di apartemen. Jangankan untuk bertemu, melangkah ke apartemennya saja, aku muak dan malas.
"Malas! Ajak aja tuh cewek barumu! Ngapain nyuruh aku ke sana, sudi!" Aku semakin tersulut emosi, sampai lupa kalau diri ini memiliki aib bersamanya.
["Oke, kalau itu maumu. Enggak jadi masalah, tetapi siap-siap untuk tidak lulus sekolah karena ….!"] Anton mengancamku dengan sesuatu yang tidak aku ketahui dan sadar. Apa itu?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (218)

  • avatar
    NendenKucrit

    cerita ini sangat menarik dan mudah di pahami

    31/05/2022

      3
  • avatar
    ttSatria

    🤗🤗

    17d

      0
  • avatar
    FearlessIant

    cerianya menarik

    23d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด