logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 3

Istriku Tuli
Part 3
#devandro
#sekar
Seperti yang dikatakan Devandro tadi bahwa mereka akan feetting baju pengantin ditemani Mama Elisa.
"Kak, kita perginya naik apa?" tanya Sekar ragu.
"Naik mobillah, emang mau jalan kaki, Lu?" bentak Devandro.
"Tapi saya mabuk, Kak, kalau naik mobil," desis Sekar.
Devandro kelihatan kesal, memang benar Sekar gadis yang tidak akan banyak menuntut, dia tidak akan menuntut minta dibelikan mobil.
Dengan langkah kesal, Devandro menuruni anak tangga diikuti Sekar di belakangnya. Mama Elisa ternyata sudah menunggu mereka di ruang tengah.
"Wah, cantik sekali menantu Mama," ucap Mams Elisa saat melihat Sekar
"Terima kasih, Bu," jawab Sekar lembut
"Jangan panggil ibu, panggil saja mama seperti Devan, kamukan istri Devan berarti anak Mama juga." Mama Elisa melangkah dan merangkul Sekar.
Sepertinya hanya Mama Elisa yang bisa menerima kehadiran Sekar di rumah ini.
"Ma, mama sama supir aja, ya! Devan naik motor, Sekar belum bisa naik mobil, daripada dia mabuk ngerepotin kita entar." Devan mencoba menjelaskan kepada Mama tetapi masih dengan kata-kata yang menyakitkan.
*** IT ***
Pakaian pengantin untuk resepsi dan pakaian untuk pemotretan pra wedding sudah selesai diurus, cetak undangan hanya menunggu hasil poto esok hari. Semua harus dikebut, karena seminggu bukan waktu yang lama.
Selesai dari boutiq mereka langsung bertolak ke pantai yang merupakan lokasi pemotretan.
Sekar yang tidak pernah kena polesan make up tampak berubah saat itu. Devandro hampir tidak percaya bahwa bidadari cantik berbaju putih itu adalah Sekar --- istinya.
"Kak Dev, kenapa diam? saya kelihatan aneh, ya?" Sekar melihat-lihat penampilannya sendiri.
"Hmmm, nggak ada yang aneh, biasa aja. Gadis kampung, mau pake make up semahal apapun tetap aja kucel." Devandro seolah enggan mengakui.
Sebenarnya Devandro menyesal mengucapkan itu, tetapi rasa gengsi lebih besar daripada sebuah pengakuan.
Pukul enam sore saat matahari mulai mengeluarkan warna jingganya merupakan incaran background terakhir foto mereka. Romantisnya suasana senja, mengiringi pose demi pose suami istri ini.
Azan Magrib berkumandang, pemotretan selesai. Hanya berakting saja sungguh terasa sangat lelah. Devandro dan Sekar meninggalkan lokasi pemotretan mereka. Hingga di tengah jalan Sekar meminta Devandro untuk mampir ke sebuah mesjid, dia ingin melaksanakan Salat Magrib.
Sesampainya di halaman mesjid, Devandro memarkirkan motornya, namun dia tidak turun.
"Kakak nggak ikut salat?"
"Jangan banyak tanya! cepatan Lu salat. Jangan samapi gue tinggalin Lu di sini!"
Sekar mempercepat langkah kakinya menuju tempat berwudhu.
Selesai Sekar melakasanakan salat, mereka meneruskan perjalanan menuju rumah, ada sekitar satu jam empat puluh lima menit perjalan lagi.
"Kak Dev, Sekar lapar," ucap Sekar saat masih di atas motor.
"Mau makan di mana?" Jawab Devandro.
Tidak ada jawaban dari Sekar, menyadarkan Devandro bahwa sekar berbeda. Motor dia tepikan, kemudian Devandro memutar badannya kebelakang. Mengulang pertanyaan yang tadi
"Mau makan dimana?"
"Makan baso di depan itu aja, Kak!" Sekar menunjuk gerobak bakso yang berhenti tidak jauh dari mereka.
Devandro yang dari kecil tidak pernah diajari jajan dipedangan kaki lima, bergidik ngeri. Yang terbayang oleh dia kata-kata mama dan nenek. Bahwa makanan mereka tidak bersih. Abu beterbangan di sekitar, cuci bekas makan menggunankan air yang sama.
"Tempat lain aja, deh!" tolak Devandro.
"Tapi Sekar sudah lapar banget, Kak," mohon Sekar.
Dia baru sadar, benar dari tadi siang Sekar belum makan berat, mereka hanya makan beberapa potong roti. Bagi Devandro itu cukup tetapi tidak bagi Sekar. Akhirnya Devandro mengalah.
Berhenti di dekat penjual baso yang sekar maksud, Devandro hanya memasan satu mangkok. Dia tidak berniat untuk ikut makan. Saat baso pesanan datang, aroma dari kuahnya benar-benar menggungah selera, apa lagi melihat Sekar menambahkan sedikit kecap dan beberapa sendok cabe rawit, terbayang sudah kenikmatannya.
Akhirnya Sekar sadar bahwa dari tadi Devandro memperhatikan dia makan.
"Kak Dev mau?"
"Nggak, cuma perhatikan kamu aja biar cepat makannya, soalnya udah malam," elak Devandro
"Ayuk, Kak, coba dulu!" Sekar menyodorkan sendok berisi pentol baso beserta kuahnya ke arah mulut Devandro.
Seperti dihipnotis Devandro dengan pasrah membuka mulut dan lupa perkataan mama dan neneknya. Makanan ini benar-benar terasa nikmat. Rasanya tidak tega harus mengganggu mangkok basonya Sekar, Devandro memasan satu mangkok lagi untuk dia. Sekar hanya tersenyum melihat itu.
"Berapa Mas?" tanya Devandro setelah mereka selesai makan.
"Dua puluh ribu, Mas," jawab mas baso.
Devandro menyodorkan selembar seratus ribu.
"Maaf mas, nggak ada uang pas? Saya baru keluar, belum ada kembalian," ucap mas baso bingung.
"Saya ada, Mas." Sekar mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribu dari dalam tasnya.
Sebelum motor dinyalakan Devandro menanyakan uang Sekar itu dari mana, sementara dia belum ada sama sekali memberi uang kepada Sekar. Dengan polos Sekar menjawab uang yang dibawanya dari kampung saat malam itu. Ada perasaan tidak enak di hati Devandro mendengarnya.
*** IT ***
Malam resepsi pernikahan mereka telah tiba, seperti cerita cinderella dinikahi pangeran kaya raya, begitulah yang Sekar rasakan. Gaun bewarna putih tulang dipadukan dengan tatanan hijab membuat Sekar pantas menjadi pusat perhatian malam ini.
Tidak sedikit teman-teman Devandro memuji kecantikan Sekar secara langsung.
"Diam-diam Lu nyimpan berlian," ucap Kiano sahabat sekaligus orang kepercayaan Devandro.
Devandro menganggap teman-temannya hanya berlebihan. Bagi Devandro, Sekar hanya gadis kampung yang beruntung.
Senyum tulus itu hanya terlepas dari bibirnya Mama Elsa. Yang lain hanya senyum yang dipaksakan.
Pukul dua belas malam pesta pun usai, kamar untuk mereka sudah di
siapkan oleh management hotel berbintang lima yang menjadi tempat mereka melaksanakan resepsi.
Tidak ada malam pertama bagi Sekar. Sekar harus kembali pada kenyataan bahwa dia hanya Upik Abu bukan Cinderella. Seperti biasa, Sekar hanya diizinkan tidur di sofa.
Setelah membersihkan sisa make up, Sekar menyiapkan baju tidur untuk Devandro dan meletakannya di atas tempat tidur, lalu dia mengambil selimut dan bantal digunakannya untuk tidur di sofa.
Devandro tidak pernah mempedulikan itu, toh sofa lebih empuk dari kasur Sekar di kampung.
Pagi ini seperti biasa, subuh sekar sudah bangun, Devandro masih saja bergulung dalam selimutnya. Seminggu ini Sekar mencoba membangunkan Devandro untuk Salat Subuh namun belum ada hasil.
Pukul tujuh, bel pintu kamar mereka berbunyi. Mendengar suara bel yang tidak berhenti Devandro terbangun lalu melempar bantal ke badan Sekar yang sedang duduk di ujung tempat tidur.
Sekar langsung menoleh ke arah Devandro.
"Itu ada yang nekan bel, cepat buka!" Devandro menunjuk kearah pintu.
Ternyata pelayan hotel yang datang mengantarkan sarapan.
"Sekar, Lu nggak pernah pakai alat bantu dengar gitu?" tanya Devandro setelah pelayan hotel tersebut keluar.
"Pernah, Kak, waktu SMP awal telinga saya tidak bisa mendengar. Tapi setelah pasang itu telinga saya terasa sangat sakit, semua suara yang masuk ketelinga rasanya sakit menyakitkan. Saat itu saya tidak mau lagi memakainya dan Bu Asih mengajari saya membaca gerak bibir lawan bicara ...."
"Tunggu, tadi Lu bilang SMP awal Lu, nggak bisa mendengar. Jadi Lu bukan tuli dari kecil?" potong Devandro
"Waktu itu, terjadi gempa bumi di kampung pada malam hari, rumah kami roboh ayah, ibu dan adik yang sedang tidur meninggal karena tertimpa bangunan, saya yang saat itu belum tidur selesai Salat Tahajud mencoba sembunyi di bawah meja belajar, Alhamdulillah saya selamat, mungkin karena benturan atau apa saya juga tidak mengerti, gendang teliga saya rusak."
Mendengar penjelasan Sekar, sisi baik hati Devandro masih berfungsi, dia merasa iba juga melihat nasib istrinya itu. Tapi, sisi egoisnya masih besar menguasai.
Sempat dia berfikir, telinga Sekar sakit saat menggunakan alat bantu dengar bisa jadi itu karena alatnya yang murah. Mungkin kalau beli alat yang mahal bisa jadi kualitasnya lebih bagus. Tetapi semua orang akan tau kalau dia tuli. Kembali lagi percakapan terjadi di pikiran devandro. Mana mungkin orang-orang bisa tau, sedangkan Sekar menggunakan hijab, itu bisa disembunyikan di balik hijabnya.
Tidak ada bulan madu, tiga hari di hotel hanya seperti pindah tidur saja, tidak juga ada interaksi yang berarti bagi mereka berdua, Sekar lebih banyak diam menghabiskan harinya bersama kertas-kertas dan pensil. Devandro tidak begitu peduli apa yang di gambar Sekar, yang dia tahu Sekar meminta kertas HVS dan pensil sudah itu saja.
Devandro sibuk sendiri dengan dunia segenggam di telapak tangannya. Membalas pesan-pesan yang masuk dari rekan kerjanya yang mengucapkan selamat atas pernikahan mereka hingga membalas pesan dari pacar-pacarnya. Walaupun sudah seminggu menikahi Sekar, Devandro tidak pernah memutuskan hubungan dengan wanita-wanita sexy tersebut
Tiga hari di hotel telah selesai, saatnya mereka kembali ke istana Pramesi. Rumah yang diisi dengan keangkuhan ayah, anak laki-laki dan anak perempuan. Melihat Papa dan Mama duduk di taman, Devandro mengajak Sekar menghampiri mereka. Mama Elisa menyambut uluran tangan dari menantunya tersebut, berbeda dengan Papa Yuda yang seolah tidak melihat tangan Sekar sudah terulur ingin menyalami dan memcium tangannya.
"Jadi orang tua itu jangan seperti anak-anak," sindir Devandro kepada papanya.
Mendengar ucapan itu Papa Yuda langsung melayangkan tamparan ke pipi Devandro, namun tamparan itu malah mengenai pipi Sekar karena dengan reflek Sekar langsung berdiri di depan Devandro.
Plak ...
Devandro terkejut mendengar suara itu berasal dari pipi mulusnya Sekar.
"Papa ...." teriak Mama Elisa.
Sekar oyong saat menerima tamparan laki-laki berperawakan tinggi besar itu. Devandro yang berada di belakangnya langsung menahan tubuh Sekar supaya tidak jatuh.
"Lu juga bodoh, ngapain Lu lindungi gue? biar gue cinta ama Lu? ngimpi Lu," omel Devandro. Seperti itu lah Devandro, anti berterima kasih.
Devandro mengambil sebuah wadah dari kamar mandi kemudian diisi dengan beberapa es batu dari kulkas mini di kamarnya, yang akan digunakan untuk mengompres pipi Sekar.
Nampak wajah tidak suka saat Devandro harus mengombres pipi Sekar.
"Biar saya sendiri saja, Kak." Sekar mengambil kain dan wadah di tangan Devandro lalu membawanya duduk di depan meja rias, mengompres sendiri dengan bantuan cermin, itu lebih baik dari pada dibantu tetapi tidak ikhlas.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (127)

  • avatar
    m******d@gmail.com

    nice story

    03/03/2022

      7
  • avatar
    WijayantiIva

    sangat bahgus ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    30Itamanis

    good

    05/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด