logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Ditalak Gus

Ditalak Gus

Ollane


1: Ditalak Gus Fattah

Menggunakan tutup kepala yang terikat di leher, tubuhku diseret menuju ruang tamu dalam rumah yang terbilang cukup besar, beberapa penghuni rumah terperanjat. Tak perduli rintihan dan isakanku karena perlakuan kasarnya, aku masih diseret untuk dipermalukan lalu dihempaskan di tengah gerombolan beberapa orang di sebuah ruangan tertutup. 
Keluarganya menyaksikan--ipar dan mertuaku, dan beberapa santri yang ada di rumah kyai atas sedikit keperluan.
 Di bawah langit-langit plafon yang diterangi lampu yang benderang, dalam naungan pengapnya sore hari, satu jam setelah salat Ashar.
Aku jatuh bersimpuh di bawah kakinya, kupeluk erat kaki jenjangnya yang menatapku jijik dari atas. “Mas Fattah ....” Aku rela bersujud dan mencium telapaknya, andai semua sikap merendah yang ada bisa membuatnya luluh dan memaafkanku. Tapi pandangannya tak pernah berubah, dengan gerakan kasar kakinya ditarik hingga terlepas dari dekapanku. Aku terisak-isak, takkan pernah mendapat belas kasihan.
Beberapa orang tertegun, terdiri dari keluarga Mas Fattah dan beberapa santri yang membelalak kaget. Mereka tahu pokok masalahnya sedari tadi malam. Mas Fattah sempat menaklukkan, lalu bimbang dan merujukku lagi tengah malamnya. Keesokannya, dia seperti memikirkannya kembali. Awalnya sempat luluh, kata talak kembali tercelus dari bibirnya. Hingga atas desakan orangtuanya, dia kembali merujukku tadi siang.
Dan sekarang. Sepertinya kenekatanku yang hendak menjelaskan dan diabaikan olehnya, membuatnya muak. Hingga aku berakhir diseret, mungkin talak ketiga akan dijatuhkan?
“Nadia Alfanah binti Firman Ahid, kujatuhkan talak tiga padamu! Kutalak kamu! Kutalak kamu! Kutalak kamu!"
Satu kalimat, akhirnya memutuskan sebuah ikatan yang sudah kudamba-dambakan sedari dulu.
Tangisku meledak, jatuh bersujud di bawah kakinya.
Beberapa orang di dalam ruangan memperhatikan dengan prihatin. Pak Kyai ingin menasehati, menyalahkan ulah anaknya, tapi talak tiga terlanjur dijatuhkan. Apapun desakannya, aku tak bisa lagi dirujuk. Dan kembali kepada Mas Fattah.
“Mas, kumohon ... maafkan aku, M-mas ....” Ungkapanku tak didengarkan.
Langkah Mas Fattah menjauhiku. Hanya semakin terlihat jijik jika berdekatan denganku. Aku berusaha menggapai kakinya yang melangkah menjauhi, tak tergapai aku malah tergeletak karena kehilangan keseimbangan.
“Sebaiknya kamu pergi dari sini, Nadia." Kalimatnya dingin dan tercekat, "setelah jatuh talak tiga ini, aku tak bisa merujukmu ataupun bertanggungjawab atas dirimu lagi. Aku menyesal memilihmu."
Sekujur tubuhku kaku, hilang keseimbangan dan tak bisa meraih tubuhnya untuk menahannya ataupun berusaha membujuknya.
"Nadia ...." Mbak Annisa mendekatiku, berniat membantuku berdiri. Aku menolak uluran tangannya, lalu berbisik lirih. "A-aku harus pergi ... Mas Fattah sudah menalak dan 'mengusirku', sebagai perintah terakhirnya sebagai seorang suami. Sebagai seorang istri, aku wajib mendengarkan dan mematuhinya."
Aku melirik punggungnya yang tegap. Setelah itu melangkah lunglai keluar dari kediaman utama dalam pesantren. Banyak santri menyorotku yang dengan tabah hati melangkah pergi. Entah dari mulut siapa, karena kecerobohanku. Berita dan aibku, tersebar luas seantero pesantren. Bisa-bisanya istri seorang Gus didapati tidak suci?
Saat aku berlalu menuju gerbang setelah memperbaiki tutup kepalaku yang berantakan. Pandangan mereka terhadapku campur aduk; ada yang simpatik, ada yang jijik dan ada yang serba salah.
Tepat di luar gerbang, kakiku yang lemah membuat tubuhku ambruk seketika. Tubuh lemasku tergeletak di depan gerbang, jatuh bersujud dan menangis. Semua tatapan mata masih tertuju padaku yang menangis meraung. Belum beranjak meninggalkan sebuah tempat yang sudah menjadi kediamanku sebagai tempat menimba ilmu selama bertahun-tahun, setelah dari sini aku tidak tahu harus pergi kemana.
Banyaknya dari mereka hanya memperhatikan. Ada yang ingin menolong tapi ragu, tak ada pilihan bagi mereka selain membeku dan mengasihaniku dari jauh.
Dengan lunglai, setelah meyakinkan pada diri sendiri untuk mengikhlaskan segalanya, aku bangkit berdiri dan melangkah pergi dengan tertatih.
Di antara jalanan sepi di kompleks pesantren. Ketakutanku menguap begitu saja, meskipun lingkungan yang nyatis gelap dan sunyi bisa menjadi ladang marabahaya yang fatal. Langkahku yang seperti terseret, membawaku berjalan tanpa arah berjam-jam. Hingga aku kehilangan tenaga dan semangat hanya untuk hidup dan bernapas.
Awalnya tangisku bisa mereda, tapi kali ini kembali meledak. Aku berjongkok di pinggir jalan, menangisi yang sudah berlalu. Mas Fattah, pria idaman yang kuidam-idamkan selama ini, yang baru saja menikahiku kemaren siang. 
Sebelum akhirnya aku diseret keluar dari kamar, setelah kemaren malam di pertengahan hajatnya dia segera menarik diri dan menjauh setelah mendapatiku sudah tidak perawan. 
Berkali-kali kami membahasnya lagi, aku berusaha menjelaskan tanpa mau dia dengarkan, dia menulikan semua nasehat dari orangtuanya untuk sebaiknya mempertahankanku sebagai istri. Ingin membungkam mereka dia segera menjatuhkan talak tiga kepadaku.
Memang wajar sebenci itu Mas Fattah setelah mendapatiku di luar dugaannya.
Tapi, aku bukan perempuan sekotor itu.
‘Kejadian’ masa lalu di luar kehendakku, dan aku tidak bisa merubahnya. Memang harus sedariawalnya aku tidak usah menerima lamaran Mas Fattah, karena aku tidak pantas bersanding sebagai istrinya. Anak Kyai pesantren, yang menjadi idaman para kaum hawa, berpendidikan tinggi, berparas indah nan elok, berprestasi dan bertalenta, dan memiliki pemahaman ilmu agama yang tinggi. 
Seharusnya waktu itu aku cukup tahu diri untuk menidakkan ajakannya untuk mencari jalan menuju surga bersama-sama.
“Dasar perempuan kotor, beraninya kamu menipuku, Nadia!”
Hinaan pertama Mas Fattah terngiang di kepalaku, membuatku berpikir ulang.
Meskipun kejadian di masa lalu bukanlah atas kehendakku, aku tetaplah perempuan kotor.
Perempuan kotor ... perempuan kotor ... ya, perempuan kotor!
Kutarik tutup kepalaku hingga lolos dan membuangnya ke parit. Pakaian tertutup yang membalut tubuhku kutarik-tarik hingga sobek dan memperlihatkan sebagian kulit lengan dan pundak terbuka yang mengekspos kulit. “Ya, aku memang perempuan kotor!” Lantangku, pada diri sendiri. Menjawabi hinaan Mas Fattah yang terus terngiang-ngiang.
Kuraih rok yang menyentuh aspal, lalu merobeknya hingga memperlihatkan paha.
Sebuah mobil berhenti di sampingku, nyaris membuatku terlonjak karena terkejut. Kaca mobil diturunkan, wajah familiar membuatku membuang muka kelain arah. “Nadia?”
Suara lembut nan syahdu membelai telinga. Fahmi, Mas Fahmi. Kerabatnya Mas Fattah. Dari segi wajah mereka agak mirip, tapi yang pastinya sama-sama berparas elok bak bidadara surga. 
“Kamu kenapa disini? Lalu ....” Mas Fahmi turun dari kendaraannya, mengamatiku yang tanpa tutup kepala dan pakaian terbuka yang compang-camping. Dari bekas kain yang bertebaran, Mas Fahmi tentu tahu aku sengaja merobeknya.
Padahal di awal aku sangat yakin merobek pakaianku, kini aku jadi malu sendiri dan berusaha menutupi bagian tubuhku yang terbuka.
Pria tegap dengan jubah abu-abu, kopia dengan warna senada dan sorban itu terdiam sesaat, dari penampilannya yang rapi dan berkharisma sepertinya dia habis dari pengajian sebagai pemateri.
Mas Fahmi tak banyak bertanya, mungkin dia bisa menebak jawabannya. Dari penampilan, raut wajah, mata sembab dan semacamnya sudah bisa mewakilkan jawaban dari semua pertanyaan yang ada.
Mas Fahmi masuk kembali ke dalam mobil. Kukira dia akan melajukan mobilnya dan meninggalkanku. Aku sudah pasrah tentang itu. Menyesal sudah berprasangka, Mas Fahmi hanya mengambil gantungan jubah yang tergantung di dalam mobilnya. Melepaskannya dari hanger lalu menyampirkannya ke bahu dan tubuhku. “Pakai itu.”
Tubuhku aman, semua bagian terbuka sudah tertutup.
Tapi kepalaku, masih terbuka. Aku menunduk malu. Masih malu ternyata dilihat lelaki yang bukan mahram auratnya. Bisa menebak aku yang gelisah tidak nyaman, Mas Fahmi melepaskan sorban yang melingkar di lehernya. Berjongkok di depanku untuk mengimbangi tinggiku, lalu menyampirkan sorbannya ke atas kepala.
“Tahan dulu itu.” Mas Fahmi memintaku untuk memegang sorbannya agar tidak terlepas dari kepala, selagi dia kembali beranjak ke mobil dan mencari jarum yang barangkali tertancap di jok mobil.
Mas Fahmi menggaruk tengkuknya, sepertinya tidak berhasil menemukannya.
Kini matanya menjelajahi tubuhnya sendiri, lalu senyumnya tersungging ketika menemukan sebuah bros bunga yang melekat di salahsatu bagian jubahnya. “Aku keingat Cicil memberiku ini kemaren.” Celotehnya dengan senyum kecil. Cicil adalah sebutan imut untuk adiknya Mas Fattah yang masih berusia 10 tahun. Cicil memang sangat manja kepada Mas Fahmi, dan Mas Fahmi sangat menyayanginya.
Mas Fahmi kembali berjongkok di sebelahku, memberikan bros bunga di tangannya. “Pakai ini, kamu bisa memakainya sendiri ‘kan?” Tanyanya, dengan pandangan yang lebih menatap ke aspal bawah.
Aku menerimanya, lalu mulai memasangnya. “Argh.” Jariku tertusuk. Gelap di sekitar membuatku tak bisa fokus dan memasangnya dengan benar.
“Hati-hati.” Mas Fahmi terlihat cemas. Tanganku menyingkir saat dia membantuku memasang bros tersebut.
Setelah itu dia tersadar, “Eh, maaf.”
Aku hanya mengangguk kecil.
Kami, masih bertahan di posisi yang sama. Berjongkok di tepi jalan.
Mas Fahmi, memang dikenal sebagai lelaki baik hati nan rendah hati yang sopan. Parasnya yang menawan membuatnya banyak dipuja, apalagi prestasinya sedari usia belia. Dia adalah keponakan dari Kyai di Pondok Pesantren tempatku menimba ilmu. Memang berasal dari keluarga ulama yang religi, orangtua Mas Fahmi juga merintis beberapa usaha yang berkembang pesat.
Mas Fahmi seumuran dengan Mas Fattah. Awal 20-an.
Mas Fahmi bangkit berdiri dan membelakangiku.
Punggung ini, aku selalu mengingat punggung tegap satu ini. Satu-satunya punggung yang bukan berjalan meninggalkanku, tapi satu-satunya punggung yang berhenti untuk menungguku.
Dia satu-satunya orang yang percaya, kalau aku adalah perempuan baik.
Setelah sekarang aku malah menjadi seperti apa yang orang-orang tuduhkan, dia masih menerimaku dengan baik. Sebagai seorang saudari atau keluarga.
Padahal dengan kehadiranku di sekitarnya sama saja mencemarkan imejnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (64)

  • avatar
    sintabaktisinta

    ceritanya di awal seru... tp ngegatung bgt ceritanya

    02/04/2022

      0
  • avatar

    keren

    4d

      0
  • avatar
    M1zknown

    I LOPE ITTTTTT

    5d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด