logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Aku Harus Bercerai

"Muliho nang umahku wae (pulanglah ke rumahku saja). Tak urusi sampai sehat." Budhe Risah berkata dengan lemah lembut. Ia datang untuk menjemputku pulang dari puskesmas. Bujukan Bu Bidan lewat telepon telah membawanya di hadapanku kembali.
"Nanti ngrepoti, Budhe, anakku banyak. Gak enak juga sama pakdhe." Aku menjawab dengan sungkan.
"Kapan kamu gak ngrepoti aku, sudah biasa ngrepoti gak usah dipikir lagi. Demi anak-anak yang nurut sama omonganku." Budhe berkata sembari tertawa meledekku.
"Aku nurut, harus bagaimana kata Budhe aku nurut." Aku menjawab sambil tersenyum, bahagia rasanya ada budhe lagi.
"Gak usah ketemu Muis lagi, langsung ajukan gugat cerai, nanti aku minta dibantu orang kelurahan. Habis keluar putusan cerai Muis harus keluar dari rumah, itu rumah kan milikmu," jelas wanita yang perilakunya mirip mamakku itu sembari mulai membereskan barang-barangku.
Budhe Risah mengganti pakaian bayiku, ia membawa beberapa pakaian bekas cucunya yang masih bagus dan layak dipakai.
"Aku belum sempat cari baju ke kecamatan, pakai ini dulu gak apa, nanti kalau si gendhuk ini tambah besar baru tak belikan baju." Budhe menimang bayiku dengan senyuman dan penuh kasih sayang.
"Nggih, Budhe, maturnuwun (Iya, Budhe, terima kasih)," jawabku berkaca-kaca terharu.
"Tapi gimana ngambil anak-anak dari rumah, Bang Muis pasti gak akan membolehkan anak-anak kubawa." Aku berkata dengan gelisah, baru terpikir kemungkinan itu.
"Wah iyo, bentar aku pikir dulu." Budhe duduk di kursi sembari memandangi bayiku. Aku turun dari ranjang perlahan, merapikan jilbab dan bersiap ikut pulang bersama Budhe.
"Muis dan anak-anak biar jadi urusannya Pakdhe, sekarang mikir kesehatanmu sama bayi ini saja lebih penting," tukas Budhe kemudian.
Budhe membantuku duduk sambil menunggu pakdhe datang menjemput dengan mobilnya.
"Aku panggil Bu Bidan dulu," pamit Budhe.
Mpok Imas datang lagi, kali ini ia datang menggendong Aisyah. Putriku itu terlihat rapi dan harum, sepertinya sudah mandi. Aisyah mewarisi mata bulat dan hidung mancungnya Bang Muis, bibir dan dagunya serupa milikku. Perpaduan wajah kami membuat Aisyah memilik wajah jelita.
"Ini anak kagak bise jauh dari mamaknya, nyusahin banget susah diurusin. Biar ikutan lu disini aje." Mpok Imas menurunkan Aisyah dari gendongan. Putri kecilku itu segera berlari ke arahku. Aku menyambutnya dengan pelukan dan mengangkatnya ke pangkuan.
"Eh, Lu udeh sehatan bisa duduk begitu, kalau sudah boleh pulang nitip kabar saja sama Mbak Mia, Nanti kami jemput pakai mobil suamiku," kata kakak iparku itu dengan sok lembut.
Aku hanya diam, sembari berdoa semoga Budhe lebih lama di rumah Bu Bidan agar tak bertemu dengan Mpok Imas.
"Iya, Mpok. Makasih. Kurang tahu ini boleh pulang apa belum. Eh, Mpok udah masak di rumah? Udah siang ini. Aku malah ngrepoti, maaf, ya." Aku berusaha membuat wanita berparas cantik tapi judes itu agar cepat pulang.
"Ya belum masak pan dari tadi ngurusin anakmu. Ya udah aku pulang dulu."
Aku merasa lega, akhirnya Mpok Imas berpamitan.
"Eh Nurma, jangan ceraiin Muis, ye. Aku gak bakalan nganggep anak lu ponakan lagi kalau sampai kalian cerai." Mpok Imas mengingatkanku dengan bahasanya yang campur aduk.
"Mpok Imas! Apa hak sampeyan mutusin nasab anak-anak begitu? Namanya saudaraan mau sampai kiamat juga tetap saja sedarah." Budhe yang baru sampai di pintu ruang rawat dengan gemas menimpali ancaman kakak iparku itu.
Aku mengelus dada, Budhe yang tak punya ikatan saudara dengan kami saja bisa begitu baik tapi kakak iparku sendiri justru ingin memutuskan ikatan persaudaraan dengan anakku.
"Maaf, Budhe. Tolong nasehati Nurma, dia itu mau tega minta cerai. Mentang-mentang adikku hanya numpang tinggal di rumahnya. Nanti ye, kalau Muis udeh gue kasih kebun sawit baru nyesel tuh Si Nurma," cerocos Mpok Imas dengan sombongnya.
"Lha opo! (lah apa!) Kenapa gak dari dulu Mpok kasih Muis kebun sawit biar gak bikin Nurma sengsara terus." Budhe menentang perkataan Mpok Imas.
"Budhe, Muis itu kagak biasa ngurusin kebun sawit, butuh waktu bagiku untuk mempercayakan kebunku sama dia. Kalau terpaksanya ya udeh gue kasih aje nanti."
"Mbuh, aku ra percoyo (Entah, aku gak percaya)," celetuk Budhe Risah cuek.
"Apa to ini ribut-ribut? Tadi adiknya, sekarang kakaknya yang ganggu pasienku? Mpok Imas monggo pulang dulu, Bu Nurma perlu istirahat." Bu Bidan datang menengahi perdebatan yang sengit itu.
"Ya memang aku mau pulang ini. Budhe itu yang ngajak ribut." Mpok Imas mengangkat ujung rok lebarnya agar bisa berjalan dengan cepat, ia pun berlalu meninggalkan kami.
Bu Bidan memberikan penjelasan padaku tentang kondisiku dan apa saja yang harus kuperhatikan jika sudah di rumah nanti. Ia juga membebaskan biaya persalinanku. Aku tak bisa berkata-kata menerima kebaikan hatinya.
Budhe Risah tetap memaksa menyelipkan sejumlah uang di tangan Bu Bidan, namun wanita tulus itu tetap menolaknya.
"Bu Nurma, ingat, sayangi diri sendiri. Ibu yang bahagia akan lebih siap mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Ambil keputusan yang terbaik terutama untuk anak-anak." Bu Bidan berpesan padaku.
"Rungokno iku! (dengarkan itu!)," sahut Budhe menimpali pesan Bu Bidan.
Aku mengangguk dan tersenyum. "Iyo Budhe, aku sudah pintar sekarang," kataku bergurau.
"Lha iyo, keblinger kok tahunan. Meski sudah terlambat tapi tak apa, yang sudah berlalu jadikan cambuk untuk mengejar hidup lebih baik. Kamu itu cantik, Nur. Disia-siakan Muis kok betah." Budhe bersungut sambil mengambil barang-barangku untuk dibawa ke mobil.
"Bu Nurma sini aku bantu gendong Aisyah, bayinya biar digendong Mbak Mia nanti."
Bu Bidan mengambil Aisyah dari pangkuanku.
Siang itu, aku semakin yakin untuk bercerai dari Bang Muis. Ada Budhe Risah yang Allah kirimkan untuk mendampingi kesusahanku. Aku mungkin tak layak mengeluh lagi karena nestapa hidupku adalah akibat kebod*hanku sendiri.
Harusnya kupinta jiwa yang kuat untuk bisa melalui terjalnya hari yang akan kulalui nanti, agar aku benar-benar tegar bersama anak-anak. Lebih baik aku bekerja keras untuk menopang hidup bersama buah hati, daripada hidup bersama Bang Muis yang hanya menambah beban hidupku saja. Aku dan anak-anak berhak bahagia.
Pakdhe melajukan mobil dengan perlahan. Rumah budhe sudah beda RT dengan tempat tinggalku, hanya saja berdekatan dengan mushola tempat Bang Muis mengajar mengaji. Namun aku tak takut, aku sudah berserah diri pada Allah agar selalu melindungiku dan anak-anak.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (19)

  • avatar
    Dedi Yanto

    terima kasih

    05/06

      1
  • avatar
    0392Mahesa

    bagus

    09/05

      1
  • avatar
    Heyyud Heyyud

    sangat lah keren

    14/04

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด