logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Ketegaran Semu

Aku menutup kedua telingaku, tak ingin menjadi iba pada Bang Muis jika mendengar penuturan Mpok Imas seperti dulu.
"Mpok, lihat bayiku, ia bahkan tak diinginkan bapaknya. Andai aku teruskan rumah tanggaku, kasihan anak-anak," lirihku pilu.
"Memiliki anak banyak tak apa, asalkan mampu mencukupi kebutuhan mereka, mendidik dengan baik agar shaleh shalehah bisa mendoakan orang tua setelah tiada. Tapi Bang Muis ...." Aku tak sanggup meneruskan ucapan, nelangsa sudah menggelayutiku.
"Muis tak salah, dengarlah dulu ceritaku." Mpok Imas mengulangi lagi pintanya.
Aku kembali menutup telingaku, menggeleng berulang kali dengan cepat. Mpok Imas pun menyerah, ia diam tak berkata lagi.
"Mbak Mia sebentar lagi datang, makasih kuenya Mpok, nanti kumakan setelah sarapan. Boleh aku minta tolong?"
"Ape? Lu mau Mpok ngapain?"
"Tolong lihat Afifah, Ridho dan Aisyah, mereka sudah makan apa belum," pintaku memelas.
"Gitu doang kagak usah Lu ajari, Mpok juga bakalan lihat mereka di rumah." Kakak iparku itu menyahut dengan kesal, ia pun berpamitan.
Tak beda dengan adiknya, Mpok Imas juga mudah tersinggung.
"Bu Nurma, mau makan dulu apa mau dibersihkan badannya dulu?" tanya Mbak Mia yang baru datang lagi.
"Mumpung bayinya masih tidur, aku mau ke kamar mandi dulu saja, Mbak."
"Iya, Bu, tapi hati-hati kalau merasa pusing atau lemas teriak, ya, Bu. Ayo saya bantu." Mbak Mia memapahku ke kamar mandi di depan ruang rawat.
Puskesmas ini memiliki tiga ruang rawat inap tapi kamar mandinya hanya ada dua terpisah di depan ruangan. Ada satu dokter, bidan dan beberapa perawat saja yang bertugas di sini. Mereka hanya merawat inap pasien dengan sakit ringan saja.
Bayiku kutinggal hanya dengan Mbak Mia, bagaimana jika Bang Muis datang tiba-tiba lalu memberikan bayiku pada Bu Rahmat? Rasa was-was menyelimutiku, cepat kuselesaikan membersihkan badan seperlunya saja. Aku menggigil meski sudah menggunakan air hangat yang disiapkan Mbak Mia.
Kukenakan pakaian ganti yang sudah disiapkan Budhe Risah kemarin. Teringat Budhe, akhirnya air mataku menetes, merasa sedih harus melewati semua kesulitan tanpa Budhe lagi. Wanita baik hati yang sudah menganggapku layaknya anak itu benar-benar tak datang mengunjungiku kembali.
Kusandarkan punggung ke tembok kamar mandi, menahan kepiluan rasa. Bayiku menangis keras, tangisnya menorehkan nelangsa kian membuatku semakin sedih. Mamak lelah, Nak, tunggu lah sebentar, Mamak masih ingin sendiri dulu.
"Bu Nurma, Bu!" Mbak Mia mengetuk pintu seraya memanggil dengan nada cemas.
"Iya, Mbak," sahutku cepat lantas membuka pintu, lega rasanya melihat putri bungsuku sudah tenang dalam gendongan perawat muda itu.
"Bu Nurma bisa kutinggal sebentar? Aku harus melayani pasien lain."
Aku mengangguk. Mbak Mia menidurkan kembali bayiku lalu memapahku kembali ke tempat tidur. Lekas kuhabiskan makan pagiku selagi anakku tenang.
Masih dilayani dan dibantu Mbak Mia saja aku merasa kerepotan, bagaimana nanti jika sudah di rumah? Ada Aisyah dan pekerjaan rumah juga yang harus kutangani. Ridho sudah mandiri dan Afifah bisa membantuku mengurusnya, tapi Aisyah masih bergantung padaku.
Ketika Aisyah lahir, Ridho juga belum genap berusia dua tahun, saat itu Bang Muis masih mau membantuku mengasuh Ridho karena ia memang ingin anak lelaki. Ada Budhe Risah juga yang membantuku menggendong Aisyah jika aku bekerja.
Budhe Risah mengelola kantin koperasi desa, aku membantu apa saja yang bisa dan sempat kukerjakan. Anak-anak pun boleh ikut bersama saat aku bekerja, kadang mereka ikut Pakdhe mengantar penumpang. Mereka juga boleh tidur di kamar tempat istirahat Budhe di kantin, anak-anakku sudah layaknya cucu budhe saja.
Budhe bersahabat baik dengan mamakku, ia merasa aku menjadi tanggung jawabnya setelah berpulangnya mamak. Anak-anak Budhe sudah berpencar ikut suaminya hingga merasa kesepian tinggal berdua dengan pakdhe saja, itulah kenapa ia semakin menyayangiku dan anak-anak.
"Nurma! Kamu ngomong apa sama Mpok Imas tadi, hah?" Bang Muis tiba-tiba masuk ke ruang rawat berteriak padaku dengan napas memburu.
"Mpok Imas ngomong apa memangnya?" tanyaku memperjelas, aku tak takut lagi menatap Bang Muis yang menyorotkan kemarahan di matanya.
"Jangan berbelit, kamu mau minta cerai? Apa kamu gak tahu, haram hukumnya seorang istri meminta cerai duluan!" Kilat mata suamiku itu semakin tajam.
"Ajaran dari mana itu, Bang! Jika suaminya baik, memang benar haram seorang istri meminta cerai tanpa alasan yang kuat. Tapi abang bukan suami yang baik, jadi ...."
"Ingat, Nur! Lu baek gue lebih baek, Lu jahat gue lebih jahat lagi. Lu kagak bakal bahagia meski bisa cerai dari gue!" teriak Bang Muis mengancamku, tabiatnya semasa hidup di pinggiran Kota Jakarta seketika muncul, ia nampak begitu keras hati.
"Selama ini aku sudah mencoba bertahan, Bang. Aku menuruti semua kemauan abang, sekarang aku lelah, gak sanggup lagi jika abang gak berubah juga tabiatnya," jelasku tegas.
"Pak Muis, tolong jangan buat keributan di sini. Selama Bu Nurma jadi pasien, saya berhak melindungi agar kondisinya tetap baik. Silakan pulang saja dulu." Bu Bidan masuk ke ruang rawat sambil menegur Bang Muis yang berteriak membuat kekacauan.
Suamiku tak menjawab, ia berlalu dengan kesal dan salah tingkah. Aku bersyukur Bidan desa itu datang di waktu yang tepat, setidaknya ia menyelamatkanku sesaat dari kungkungan Bang Muis.
"Ma-kasih, Bu Bidan," kataku terbata.
"Bu Nurma sudah benar, memang Pak Muis harus dilawan, Bu. Jangan mau diperlakukan layaknya pelayan di rumah. Jadi suami belum bisa membuat keluarga sejahtera saja kok ya bertingkah." Bu Bidan ikut kesal.
"Saya mohon izin bisa istirahat di sini hingga pulih benar, ya, Bu. Tolong teleponkan Azizah di pesantren agar pulang dulu, saya butuh bantuan mengurus adek-adeknya."
Bu Bidan menatapku pilu. "Budhe Risah belum ke sini lagi? Aku telepon Budhe saja, ya. Azizah jangan diganggu belajarnya. Wis ojo kuatir, tak ewangi, Bu (sudah jangan khawatir, tak bantu, Bu)."
Aku hanya terisak, beban kehidupan yang sekian lama menderaku kini meruntuhkan ketegaran semu yang selama ini coba kubangun demi anak-anakku. Bu Bidan merengkuhku dalam pembaringan, tangisku semakin menjadi.
"Nangiso, Bu. Lek wis nangis iso luwih temata atine. (menangislah, Bu. Kalau sudah nangis bisa lebih tertata hatinya). Semoga Bu Nurma bisa merawat anak-anak dengan lebih baik nanti."
Aku mengangguk, terbayang di pelupuk mataku bayangan kelima anakku, aku harus menjadi ibu yang kuat bagi mereka. Sosok Bang Muis tak akan kuharapkan lagi, tak peduli masa lalunya apa, aku tetap akan bercerai darinya. Mmm, masa lalu Bang Muis seperti apa? Sejenak aku merasa sedikit penasaran.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (19)

  • avatar
    Dedi Yanto

    terima kasih

    05/06

      1
  • avatar
    0392Mahesa

    bagus

    09/05

      1
  • avatar
    Heyyud Heyyud

    sangat lah keren

    14/04

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด