logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

6: Ran

Meskipun nampak ogah-ogahan, Ran menggiringku menuju kamar setelah makan malam. Duluan melesat masuk kedalam kamar, saat Alex menghampiriku dan mengajakku mengobrol didepan pintu. “Kalau aku ngetuk kamar kamu malam-malam jangan dibukain, ya.” Alex memberikan peringatan serius, namun penuh kejahilan. Lalu berbisik tepat ditelingaku, “Soalnya kita masih belum mahrom, haram hukumnya. Apalagi kebablasan.” Aku mendengus geli, mendorong pundak Alex yang terbahak.
Alex lagi-lagi membelai lembut daguku dengan telunjuk lalu berujar, “Aku mencintaimu.”
Aku terperanjat sejenak, lalu tersenyum. “Aku juga.”
“Untuk sekarang, kalimatmu masih terdengar mustahil. Nanti, jika kamu mengatakannya sekali lagi, aku akan percaya.” Alex menepuk pipiku sekilas lalu pergi meninggalkanku didepan pintu. Kuamati punggung tegapnya yang menjauh, membelalak sejenak, saat mataku memberikan ilusi dari ingatan punggung Mas Bian yang tengah menjauhiku, sesaat setelah melemparkan surat cerai dan meninggalkanku. Pundakku lesu, lalu menggelengkan kepala kuat. Mas Bian hanya masa lalu, sepenuhnya masa lampau. Sekarang dan masa depanku sudah berbeda, yaitu Alex. Jalan lain yang diberikan Allah setelah jalanku sebelumnya buntu. Aku sangat bersyukur akan itu.
Aku mendorong pintu kamar, menemukan Ran yang nampak menyiapkan sesuatu untukku. Aku masih berdiri diambang pintu, memperhatikannya yang tengah serius. Setelah selesai, Ran menoleh lalu membungkuk sopan. Sepertinya, Ran akan melayaniku dengan baik tanpa mengikutsertakan perasaan pribadinya. “Silahkan, Nona Alisa.”
Aku mendekat, menepuk pundak Ran. “Makasih, Ran--” Aku terkejut, saat tanganku yang menyentuh bahunya segera ditepis. Sejenak Ran menyorotku tajam lalu kembali membungkuk sopan, “Anda tidak perlu berterimakasih.”
“Jangan terlalu formal kepadaku, anggap saja aku kawan lamamu.” Aku meminta, dan Ran menggeleng.
“Tidak bisa. Perintah Tuan Alex itu mutlak, bahkan mulai dari sekarang saya diwajibkan untuk lebih memprioritaskan anda, daripada diri saya sendiri.”
Aku tertawa. “Aku malah terdengar begitu berharga bagimu.”
Ran menatapku sinis, lalu mengingatkanku dengan sopan meskipun terdengar menusuk. “Jangan menyalahartikan kewajiban sebagai bentuk perhatian, Nona Alisa. Kedua hal itu berbeda.”
“Kenapa berbeda?”
Mendengar pertanyaanku, Ran semakin menghujamiku tatapan tajam. Nampak tidak suka aku membalasi kalimatnya. “Saya tulus melaksanakan tugas yang dipercayakan Tuan Alex kepada saya, tapi saya tidak tulus melayani anda.”
Aku menyambut kalimat blak-blakannya dengan tawa pahit, lalu mengangguk mengerti. “Oke, aku percaya kamu tidak akan mengecewakan Tuanmu yang juga calon suamiku.”
Ran tidak menjawab, lalu berpamitan untuk melengos keluar. Aku mempersilahkannya, berpesan santai kepadanya seakan seperti sesama teman karib, tentu aku ingin berteman baik dengannya, hanya saja dia memiliki pandangan berbeda untukku. “Jangan lupa salat. Dan, jangan salah cara dalam memilih cowok untuk menjadi pendamping hidupmu.” Ran melayangkan tatapan risih, lalu menghilang dibalik pintu.
Tatapanku beralih ke barang-barang yang dipersiapkan Ran, yang terlipat rapi ditepi ranjang. Mukenah hijau yang dibarengi tasbih dan Al-Qur’an diatasnya, lalu sehelai piyama berbahan lembut yang nampak nyaman. Aku tersenyum, lalu beranjak untuk mengambil air wudhu’.
>><<
Aku terbangun tengah malam saat suara ketukan menggema dikamarku. Aku bangkit lalu menyalakan lampu, menyorot bingung pintu besar yang masih diketuk dari luar. Aku turun dari atas ranjang, melangkah menuju pintu yang masih tetap diketok. Baru saja tanganku terulur untuk membukanya, gerakan tanganku berhenti setelah teringat pesan Alex. Kalau aku ngetuk kamar kamu malam-malam jangan dibukain, ya. Aku terdiam, masih menimbang-nimbangnya. Membalikkan badan, aku berniat kembali keranjang dan mengabaikannya. Tapi membiarkannya ‘pun aku tidak tega. Orang diluarsana--yang kemungkinan besarnya Alex--masih cekatan mengetuk pintu, tanpa suara, tanpa panggilan.
Aku mendadak pening, membuang segala prasangka segera meraih handle dan membukanya. Tubuhku terperanjat, melihat Ran berdiri dihadapanku, dengan tangan yang masih mengepal dan wajah datar. “Nona Alisa tidak mendengarkanmu, Tuan.” Aku menoleh kesamping, menemukan Alex yang bersandar didinding, disebelah kusen pintu yang sudah kubuka. Aku menelan ludah, Alex menyambutku dingin. Punggungnya ditarik dari sandaran lalu melangkah mendekat, dengan kedua tangan yang menelusup dalam saku celana. “Kamu mau aku kebablasan, sayang?”
Aku menggeleng getir, mendadak ketakutan dengan tubuh gemetar.
“Aku bisa menodaimu bahkan sebelum pernikahan kita berlangsung. Aku tidak mau menjadi lelaki bejat yang melecehkan calon istrinya padahal dia bisa menunggu keesokan harinya untuk menikah dengan resmi.” Alex tersenyum sinis, lalu melangkah kebelakang, menipiskan jarak.
Ran hanya bergeming ditempat, nampak memperhatikan tanpa suara.
“Maaf.” Aku menunduk, merasa bersalah, padahal dia sudah beramanah.
“Aku akan memaafkanmu. Dengan satu ciuman.”
Aku terperanjat, Ran disebelahku melebarkan mata. Alex mendekat, refleks membuatku memejamkan mata. Lima detik aku menunggu sesuatu yang kenyal menyentuh bibirku, tak kunjung kurasakan, tawa Alex malah meledak. Aku membuka mata, Alex kembali berposisi jauh dari hadapanku. “Setelah kita menikah tentunya.” Tambahnya, dengan senyum dan tatapan nakal.
Aku salahtingkah. “Padahal setelah menikah … kamu bisa minta lebih dari itu.”
Mata Alex melebar, lalu terkekeh. “Tentu. Aku akan menjamahmu semauku.”
Aku merah padam, Ran disebelahku yang ikut mendengarnya tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah malu. Lelucon Alex, terlalu realistis untuk dibahas kepada dua gadis seperti kami. Alex mengusap bahuku yang gemetar, lalu berbisik. “Mohon kerjasamanya, ya cinta. Jadikan malam pertama kita nanti adalah momen untuk pertama kalinya untuk kita. Tidak sebelum itu.” Aku mengangguk, setelah itu Alex pergi.
Ran masih bergeming disebelahku, lalu beranjak tanpa pamit. Aku menghela nafas berat, tak menyangka Alex akan mengetesku. Aku memasuki kamar lalu menutup pintu. saat punggungku masih menempel dipintu kamar, seseorang kembali mengetuk pintu kamarku dari luar. Aku lelah, lalu memilih mengabaikannya. Palingan, Alex berusaha mengetesku lagi. “Nona Alisa,” Ran memanggil, yang kuabaikan. Dia sudah bekerjasama dengan Alex untuk menipuku, bodoh jika aku kembali mempercayainya dan membuka pintu. “Nona Alisa,” Ran mendesak, ketukannya semakin kencang. Aku menghela nafas, mulai tidak enak hati mengabaikannya. “Nona Alisa!” Volume suara Ran meningkat, bukan lagi sekedar ketukan seperti sebelumnya, kepalan tangannya seperti meninju-ninju pintu kamar dengan emosi. Aku panik, tapi masih ragu untuk membukanya. Setelah itu hening, sepertinya aku lulus dalam tes untuk keduakalinya meskipun sebelumnya gagal.
BRAK! Aku terperanjat, Ran menendang pintunya!
Dengan tergesa aku meloncat turun dari ranjang, lalu memutar kunci dan membuka pintu tanpa kembali berpikir. Benar saja, Ran nampak marah didepan ambang pintu, wajahnya emosi dan kusut, tak ada Alex disekitarnya. Semangkuk es krim mencair berada diatas nampan yang dia bawa, berserta susu cokelat hangat yang sudah mendingin. “Ran?” Aku gelagapan, sepertinya kembali salah menduga. Ran bukan disuruh Alex untuk kembali mengetesku, dia hanya membawakanku camilan.
Ran tak menjawab lalu berbalik arah, “Akan saya ambilkan yang baru.” Aku ingin mencegat lengannya, langkahnya yang lebar sudah keburu membawanya pergi meninggalkanku yang merasa bersalah. Ran kembali hadir sepuluh menit kemudian dengan es krim dan susu cokelat hangat yang baru. Setelah memasuki ruangan, Ran meletakkan nampan keatas meja yang ada dikamar, lalu menjelaskan, “Tuan Alex memintaku untuk membawakanmu makanan manis. Beliau merasa bersalah karna sudah menganggumu tidur nyenyak. Meskipun bagi saya, Tuan Alex tidak salah samasekali.”
Aku mengangguk dan berucap lirih, “Maaf.”
Ran tidak menjawab, tidak merasa kalau ungkapan maaf itu tertujukan juga untuknya. Aku meraih mangkuk es krim itu hati-hati lalu menikmatinya, tidak lupa cokelat hangat yang semakin mendingin. Ran belum beranjak, masih menungguiku sampai aku selesai menyantap cemilan malam. Meskipun aku tidak begitu selera, kupaksakan untuk menghabiskan semuanya, agar tidak kembali menyinggung perasaan Ran. Aku meletakkan mangkuk berserta sendok licin keatas meja, lalu menyeruput susu cokelat mendingin hingga tandas. Ran segera merapikan mangkuk, sendok dan gelas kotor keatas nampan dan membawanya pergi keluar dari kamar. Nyaris ditelan ambang pintu, aku menghentikan langkahnya. “Ran.” Panggilanku membuatnya menoleh. “Makasih, ya.”
Wajah Ran masih nampak datar, lalu mengangguk sekilas. Tanpa mengatakan apapun, segera melengos pergi. Aku menghela nafas karna perlakuan dinginnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (161)

  • avatar
    LawatiSusi

    kayaknya seru cerita ini

    6d

      0
  • avatar
    ZhazaliAnwar

    ya oke

    25d

      0
  • avatar
    PutriRia

    Bagussss

    24/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด