logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Perhitungan

Bel pulang sekolah tengah berbunyi. Lina mengeluarkan dua tumpuk buku dari laci, lalu menaruh ke meja. Buku-buku itu terdiri dari empat buku paket dan empat buku tulis. Ransel sudah berada di meja. Ia membuka resleting dengan hati-hati. Sebelum memasukkan buku, ia merogoh ke dalam tas, merapihkan isi agar muat. Saat tangannya menyentuh sesuatu yang sangat dikenali, ia pun ambil benda itu keluar. Pandangannya tertuju pada jam tangan berwarna nila dan pada bagian tali berbahan karet.
“Lin, lo belum mau pulang?” tanya cewek di samping Lina. Pertanyaan itu membuat Lina mengalihkan perhatian dari jam tangan ke cewek berambut hitam pendek sebahu itu. “Gue udah dijemput, lo mau bareng, gak?”
Lina menggeleng. “Lo duluan aja, Bell. Gue mau beresin ini dulu.” Setelah mengambil alih jam tangan menggunakan tangan kiri, tangan kanan Lina menepuk-nepuk tumpukan buku.
“Ya udah kalo gitu, gue duluan ya.” Bella yang merupakan teman dekat Lina pun bangun dari duduknya, menyambar pipi tembem Lina, baru kemudian melenggang semakin jauh dari tempat Lina berada.
Sudah menjadi hal biasa bagi Lina, pipi tembemnya jadi bahan cubitan, terutama Bella yang sering melakukan itu. Sebab itu, ia tidak marah ketika Bella barusan menyambar pipi tembamnya.
Selepas Bella pergi, ia mendengar beberapa murid masih berada dalam kelas. Ada yang beres-beres buku seperti dirinya, ada juga yang mengobrol tanpa memikirkan waktu pulang sekolah.
Samar-samar, ia mendengar namanya disebut dalam obrolan itu. Penindasan Winda terhadapnya menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Namun, topik yang didengarnya semakin luas dan sembarangan; mengenai keluarga, anak haram, kemiskinan.
Lina yang tidak ingin mendengar lagi berita buruk tentangnya, mencoba menutup telinga. Ia mengalihkan fokus dengan memandang jam tangan yang masih berada digenggaman tangan kiri. Ia putar perlahan, perhatikan dari sudut ke sudut, terlihat goresan-goresan di bagian sudut lingkaran, serta sedikit kotor di bagian tali. Pasti kotor saat tadi jatuh. Harusnya Lina gak naruh sembarangan jam tangan ini, gumamnya sambil mengusapkan tangan pada bagian tali yang kotor.
Baru saja Lina memasukkan jam tangan yang telah ia bersihkan ke bagian samping ransel, ia merasakan kehadiran seseorang di depan meja. Ia mengangkat kepala dan melihat Nico berdiri menghadapnya. Tangan cowok itu bersedekap.
“Lo sendirian aja? Gak pulang?” tanya Nico tanpa memberikan senyuman, tatapannya pun biasa-biasa saja.
“Gue... lagi beresin buku.” Pandangan Lina yang tadi ke cowok di depannya, kini beralih ke tumpukkan buku. Tangan Lina sibuk memasukkan buku ke ransel.
“Oh... gue duluan.” Mendengar ucapan Nico, Lina mengangguk. Selepas itu, ia melihat cowok dengan tinggi sekitar 174 sentimeter itu berjalan keluar kelas.
Atmosfer terasa berubah menjadi lebih nyaman, Lina mengembuskan napas lega. Kehadiran Nico telah membuatnya hampir membeku. Siapa yang tidak kenal Nico? Salah satu cowok populer di sekolah. Bisa dekat dengan cowok itu, dirinya seakan berada di ambang nasib baik dan buruk. Tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
Baru selesai memasukkan buku ke ransel, Lina melihat Nico kembali masuk ke kelas. Cowok itu memperhatikannya selama berjalan, hingga tatapan mereka bertemu saat Nico berhenti tepat di depannya.
“Buku gue ketinggalan,” kata Nico. Tatapan cowok itu biasa saja, tapi mampu membuat Lina jadi canggung. Tidak butuh waktu lama, cowok setampan Kenny Austin itu berjalan ke meja yang berada di urutan ke tiga barisan paling kiri dekat dinding. Ia melongok ke laci, lalu mengeluarkan sebuah buku tulis.
Saat Nico berbalik, Lina tersadar karena sejak tadi pandangannya tidak luput dari cowok itu. Seakan ada magnet dari diri Nico yang membuatnya terus memperhatikan. Menghilangkan ketegangan dan mengalihkan pandangan, ia merapatkan ritsleting ransel dengan hati-hati. Setelah selesai, ia melihat sekeliling dan sosok Nico sudah nihil. Merasa sudah beres dengan buku-buku dan ransel, dirinya beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kelas, lalu menjauhkan diri dari penggosip yang masih berbicara tak ada habisnya.
Di koridor mulai terlihat sepi, banyak murid sudah meninggalkan lingkungan sekolah. Sesampainya di depan kelas XI IPA 1 yang merupakan kelas unggulan, Lina dihadang empat murid cewek--sepertinya murid-murid dari kelas tersebut.
“Lo Lina anak IPA tiga, kan?” tanya cewek berambut gelombang sepundak.
“Ya,” jawab Lina seperlunya.
“Lo yang berani numpahin air minum ke sepatu Winda?” tanya cewek itu lagi.
“Kalau iya, kenapa?” Lina bersikap tenang meskipun ia tahu bahwa keempat siswi di depannya merupakan teman sekelas Winda. Dari keempat cewek itu, yang ia ketahui, satu di antara mereka yang sering bertindak dan banyak bicara, sementara sisa tiga siswi hanya mengikuti perintah.
“Gue mau buat perhitungan sama lo karena udah macem-macem sama Winda. Gengs mana?” Tangan kanan cewek itu meminta sesuatu ke teman di sampingnya.
Teman cewek itu, yang rambutnya dikuncir kuda, memberikan sebotol air minum. Namun, setelah diperhatikan, air tersebut tidak lagi jernih. Lina mengira jika air dalam botol itu merupakan air dari keran. Ia pun sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan cewek di hadapannya.
Lina tidak beranjak atau berniat kabur. Biar saja mereka melakukan apa yang diinginkan, ia tidak harus melawan atau kabur sebagai pengecut. Apa yang dilakukan mereka, akan berbalik suatu saat nanti. Menenangkan diri, ia menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan.
Suara tutup botol terbuka, ia melihat cewek itu tersenyum jahat sambil mengangkat botol dan berjalan mendekatinya.
“Lo harus terima ini!” kata cewek itu sambil mengangkat botol semakin tinggi dan berusaha membaliknya ke arah kepala Lina.
Lina tersentak ketika kedua tangan besar meremas bahunya, lalu mendorong tubuhnya hingga mundur perlahan. Tak lama, ia merasakan cipratan air kecil mendarat ke wajahnya. Pandangannya tertuju pada cowok, yang sangat ia kenal, sedang berdiri menghadapnya. “Nico?”
“Ya, itu nama gue. Lo gak usah bengong gitu,” ucap Nico yang melihat keterkejutan di wajah Lina, “Gue belum pulang. Dan gue lihat lagi-lagi lo ditindas. Lo kenapa diem aja?” Ia menatap mata bulat milik cewek di depannya.
“Nico, kok bisa lo, sih?” Cewek yang menyiram air berucap, menghancurkan suasana hati Nico yang sedang menunggu jawaban dari Lina.
Lina melirik ke punggung Nico yang sudah basah terkena air, tetapi belum sempat mengucapkan apa-apa, tangannya ditarik Nico. “Kita pergi dari sini!” Cowok itu berjalan sambil menarik tangan Lina, menerobos keempat cewek yang masih diam dengan keterkejutan mereka.
Tidak peduli tangan yang ditarik Nico, Lina memandang punggung cowok itu yang telah basah. Sebagian air juga mengenai rambut Nico. Kenapa jadi seperti ini? Harusnya kan Lina yang kena air, bukan dia, ucapnya dalam hati.
Sesampainya di halaman depan sekolah, mereka berhenti. Lina merasakan tangannya tiba-tiba dilepas Nico setelah mereka saling melirik ke tangan yang merapat.
“Gue heran sama lo. Kenapa lo diem aja ditindas sama suruhannya Winda?” Nico bersikap tenang, tetapi pandangannya dipenuhi rasa penasaran.

“Gak kenapa-kenapa.” Hanya jawaban seperti itu yang Lina utarakan dan justru membuat Nico sedikit frustasi tidak percaya.
“Lo gak apa-apa? Maksud gue, lo gak masalah mereka nindas lo? Bully lo?”
“Ya.”
“Lo... lo....” Nico bertambah frustasi ketika melihat tatapan Lina yang begitu tenang sehingga ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Cewek yang aneh, gumamnya dalam hati.
Lina tersenyum melihat Nico yang kebingunan, ia pun menjelaskan, “Gue gak mau jadi cewek cengeng, dan gue gak mau jadi seperti mereka dengan membalas. Dan juga, gue gak mau lo bantuin gue lagi.”

หนังสือแสดงความคิดเห็น (260)

  • avatar
    nadyapAllysa

    keren

    02/01

      0
  • avatar
    JunaediAjun

    sangat bagus

    01/01

      0
  • avatar
    Sarmila

    bagus

    23/12

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด