logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

SETELAH TIADA BARULAH TERASA

SETELAH TIADA BARULAH TERASA

QORIN FATCHI


บทที่ 1 Nafkah Enam Ratus Ribu Sebulan.

"Dek, ini gajiku bulan ini. Maaf hanya satu juta yang bisa ku beri padamu, tolong aturlah agar cukup untuk kebutuhan rumah kita!" pintaku dengan tatapan penuh kasih pada Istriku Kinan.
"Tak perlu minta maaf, Aku sudah hafal kok. Bahkan selama sepuluh tahun Kamu bekerja di fotokopian itu, tak pernah ada kenaikan gaji. Untung saja Aku kerja, kalau tidak bisa nggak ngebul dapur Kita!" ketus Kinan, sambil menyaut Amplop coklat berisi sepuluh lembar seratus ribuan.
"Ya sudah, Aku berangkat ngojek ya. Doakan semoga malam ini ramai jadi bisa kasih tambahan uang belanja untukmu!" pamitku sambil menjawil pucuk hidung Kinan yang mancung. Sedangkan Kinan masih dengan wajah datarnya tak menanggapi ucapanku.
Aku kembali keluar dan menstater motorku, saat kulihat Ibu dan Citra berjalan memasuki halaman rumah.
"Baru pulang kerja, kok sudah mau pergi lagi? Istirahatlah dulu, Nak Ibu buatkan kopi ya!" tawar Ibu padaku.
"Aku mau ke pangkalan, Bu. Doakan Jaya ya semoga malam ini banyak penumpang, biar bisa ngasih tambahan uang belanja untuk Kinan!" pintaku pada Ibu sambil meraih punggung tangannya untuk ku cium. Tak lupa ku elus pelan pucuk kepala Citra yang tertutup kerudung dengan lembut.
"Selalu Nak, tak henti doa Ibu untuk kelancaran rejekimu dan di beri kesehatan, keselamatan juga keberkahan. Aamiin!" doa Ibu mengiringiku.
"Citra baru pulang mengaji ya, Sayang?" tanyaku pada putri kecilku yang saat ini sudah berumur empat tahun. Kukecup pelan keningnya dan berpamitan padanya untuk menuju pangkalan ojek.
"Dadah Ayah!" teriak Citra sambil melambaikan tangannya mengiringi kepergian ku.
Baru beberapa meter ku lajukan motor, baru teringat kalau Aku lupa membawa bekal minum. Sayang uangnya jika harus di gunakan membeli sebotol air mineral. Karena malas untuk memutar motor ku putuskan untuk berjalan, kembali ke rumah.
"Ini Bu, enam ratus ribu harus Ibu cukupkan untuk semua kebutuhan di rumah ini! Kinan nggak mau tahu ya, ingat ya, Bu tidak ada tambahan lagi!" suara Kinan yang keras terdengar hingga keluar rumah. Aku terpaku mendengar ucapan Kinan, Ku coba memahami kata demi kata yang baru saja Kinan ucapkan.
"Tapi, Nak kebutuhan pokok sekarang mahal. Uang enam ratus ribu tak akan cukup. Belum biaya listrik dan air, Ibu mohon, Nak tambahkan sedikit untuk sekedar beli gas." Pinta Ibu dengan suaranya yang lirih.
Mendengar ucapan Ibu, sontak air mataku luruh membasahi pipi. Segera ku susut dan melangkah ke dalam untuk meminta penjelasan dari Kinan.
"Apa maksud ucapanmu, Dek?!" bentakku yang membuat Kinan terkejut hingga terpaku beberapa saat. Ku lihat wajahnya memucat melihat sosok ku yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu.
"M-mas Jaya? Apa ada yang ketinggalan, Mas? Akan Kinan ambilkan!" ucapnya gugup dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Tidak perlu! Duduk dan jelaskan padaku, apa maksud ucapan mu tadi!" cerca ku dengan tegas. Sambil menundukkan wajah, Kinan menuju kursi ruang tamu dan duduk di sana.
"Mari, Bu Kita duduk di ruang tamu. Sepertinya ada permasalahan yang harus Kita selesaikan sekarang juga!" Ku rangkul pundak Ibu dan mengajaknya duduk di ruang tamu. Kulihat raut wajah gelisah Ibu, jelas terpancar kekhawatiran dari sinar matanya
"tenanglah, Bu. Jaya akan berusaha mencari solusi dari permasalahan di rumah ini!" ujarku berusaha menenangkan Ibu.
"Jelaskan, Dek! Apa betul Kamu melimpahkan semua kebutuhan rumah pada Ibu, hanya dengan memberinya uang enam ratus ribu sebulan?" tanyaku dengan menatapnya tajam. Kinan terlihat salah tingkah.
"Tidak, Nak. Kamu salah paham." Ujar Ibu berusaha menutupi kesalahan Kinan.
"Telingaku masih normal, Bu. Dan Aku masih bisa mencerna dengan baik apa yang baru saja ku dengar. Aku hanya ingin mendengar penjelasan dari Kinan, Bu. Apa Dia bisa bicara jujur padaku?!" tanyaku sambil menatap Kinan dan menunggu kata yang akan keluar dari mulutnya.
"Kalau Kamu tak mampu bicara, baiklah tolong jawab pertanyaan ku!" pintaku yang di jawab Kinan dengan anggukan kepala.
"Apa Kamu memberi uang pada Ibu enam ratus ribu untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga kita?" tanyaku Pada Kinan, yang sedari tadi memalingkan wajah.
"Jawab Kinan!" bentakku yang kemudian di jawab oleh Kinan dengan anggukan kepala.
"Astaghfirullah, Kinan. Kenapa Kamu bisa setega itu pada Ibu? Sejak kapan Ibu Kau perlakukan seperti ini?" cercaku dengan pertanyaan yang membuat diriku sendiri tercekat. Tak habis pikir dengan kelakuan Kinan.
"Jawab Kinan!" bentakku sekali lagi.
"Sejak Citra lahir." Lirih ucapan Kinan, begitu menyesakkan bagai godam yang memukul dadaku.
"Astaghfirullah, Kinan. Kamu sadar nggak, Kita di sini menumpang di rumah Ibu, tega sekali Kamu membebani Ibu dengan kebutuhan rumah tangga Kita." Ujarku dengan meraup wajah kasar.
"Sudahlah, Nak. Tak perlulah hal sepele seperti ini menjadikan Kita bertengkar. Ibu ikhlas membantu Kalian. Hanya saja, uang enam ratus ribu sama sekali tidak mencukupi kebutuhan rumah ini!" ucap Ibu dengan wajah sedihnya.
"Kamu keterlaluan Kinan gajiku satu juta sudah ku berikan semua padamu, juga hasil ngojek setiap harinya tak kurang dari tiga puluh ribu selalu untukmu, sama sekali tak ku kurangi sepeserpun. Karena Aku takut tak mampu mencukupi kebutuhanmu!" bentakku saat emosi mulai meledak dan tak terkontrol.
"Sabar, Nak. Jangan buat Kinan ketakutan, kasihan Dia!" ucap Ibu membela Kinan. Sedangkan Kinan hanya terdiam sambil membuang pandangan.
"Lihatlah, Ibu yang Kamu tindas begitu menyayangi dan membela mu. Apa Kamu tak malu sudah menyakiti Ibu?" tanyaku geram melihat Kinan yang hanya diam saja.
"Jawab Aku Kinan! Jangan diam saja!" teriakku mengagetkan nya. Dengan tatapan nyalang membuatku tak berkutik.
"Sudah bicaranya? Sudah marahnya? Sudah selesai bentaknya? Talak Aku sekarang juga!" teriakan Kinan bagai petir di siang bolong. Aku dan Ibu terkejut hingga Kami tak mampu berkata untuk beberapa saat.
Kinan berdiri dengan wajahnya yang memerah menahan amarah.
"Baru bisa ngasih satu juta sebulan saja sudah begitu angkuh Kamu, Mas. Apa niatmu menikahi ku hanya untuk menjadikanku Babu? Bahkan untuk memenuhi kebutuhanku saja Kamu tak mampu!" ucapan Kinan semakin menusuk jantungku.
"Minta maaflah pada Kinan, Nak. Jangan karena keburukannya yang setitik membuatmu melupakan kebaikannya." Nasehat Ibu membuat hatiku langsung tersentuh.
"Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadiku. Tanpa sepeserpun mengambil uang darimu. Sisa gaji mu untuk membayar biaya sekolah dan mengaji Citra. Uang hasil dari Kamu ngojek untuk bekal Citra selama di sekolah! Puas Kamu sudah menghina harga diriku!" bentak Kinan kehilangan kesabaran.
"Sudah menjadi kewajiban mu, bukan? Memenuhi semua kebutuhanku, tapi Aku tak membebanimu. Ku cari sendiri untuk kebutuhanku. Dasar laki-laki nggak guna, hanya bisanya menuntut ku banyak tapi hak ku tak Kamu penuhi!" teriak Kinan marah. Aku terpana tak menyangka Kinan akan bisa berucap Sekasar itu padaku.
"Jaya, minta maaflah pada Istrimu, Nak. Jangan sekali-kali Kamu menyakitinya, lihatlah Citra ketakutan melihat pertengkaran Kalian!" ucapan Ibu, menyadarkan ku akan Citra yang sedari tadi berdiri di ambang pintu dengan raut wajah ketakutan.
"Maafkan Ayah, ya Nak. Citra main lagi di kamar ya. Ayah dan bunda mau bicara sebentar." Rayuku kemudian Citra kembali ke kamarnya setelah menganggukkan kepalanya.
Aku kembali duduk di ruang tamu, menghela napas berat. Menatap sendu kedua orang yang sangat ku kasihi.
"Jika Mas Jaya sudah tak mampu lagi menjadi suamiku, silahkan kembalikan Aku pada kedua orang tuaku." Ucapan Kinan seolah menantang ku. Aku hanya mampu terdiam mendengar ucapan Kinan. Sedangkan Ibu sedari tadi mengusap air matanya yang terus saja mengalir membasahi pipinya yang mulai keriput.
🌾🌾🌾🌾🌾🌾





หนังสือแสดงความคิดเห็น (20)

  • avatar
    atiqahnurul ainaa

    Reality kehidupan

    02/07

      0
  • avatar
    Pasariburidwan

    👍👍

    24/11/2022

      0
  • avatar
    Iqbal Faizz

    baguss

    12/07/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด