logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 23 Reality Show

Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah.
"Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"
Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online.
"Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar.
"Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.
Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercantik.
"Kenapa kamu pura-pura bangkrut?!" pekik Soraya.
"Aku pikir, kamu tahu jawabannya," sahut Aksara, mencium pucuk kepalaku. "Sekarang Hasna adalah satu-satunya cintaku."
Soraya mengacak rambutnya yang bergelombang panjang. Dia mendengus kasar. Rahangnya mengeras, hidung itu mancung itu mengerut.
"Soraya, Soraya ... Dia bukan ART, dia istri bos," ucap Dee, berjalan keluar toko diikutin yang lain.
"Tapi, bagaimanapun juga Edlyn tetap putriku," cetus Soraya. "Ada darahku mengalir di tubuh Edlyn."
"Soraya, seorang ibu bukan hanya memberikan darah. Dia juga berkewajiban merawat anaknya. Sedangkan dirimu meninggalkan Edlyn," ucapku. "Kau tidak layak disebut ibu."
"Kau," geram Soraya.
Seorang penjaga keamanan datang. "Silakan pergi ibu, Anda mengganggu kenyamanan pelanggan lain."
"Awas kau, Hasna," sungut Soraya sebelum melangkah pergi.
"Kamu sudah pilih perhiasan?" tanya Aksara.
Aku mengesah. "Belum sempat."
Aku duduk kembali, sedang Aksara berdiri di belakangku dengan tangan melingkar di bahuku. Aku memilih anting dengan model kupu-kupu untuk Mbak Niken dan model bintang untuk Lenni. Setelah selesai, aku dan Aksara berjalan keluar.
"Besok kita akan mengantar Amanda ke rumah sakit, ada beberapa prosedur yang harus dia jalani sebelum operasi. Aku ingin kepercayaan diri Amanda kembali," kata Aksara.
"Terima kasih," ucapku.
"Untuk apa mengucapkan terima kasih, kalian berdua adalah tanggung jawabku," sahut Aksara.
"Terima kasih."
"Kok terima kasih lagi?" Kening Aksara mengerut.
"Karena ribuan kata terima kasih tidak cukup," jawabku.
***
Aksara berdiri membelakangiku, dia sedang mencari kaus di dalam lemari. Luka panjang di punggungnya membuatku bergerak mendekat. Aku mengelus punggung Aksara.
"Apakah sakit?" tanyaku.
"Ya, sakit sekali," sahut Aksara seraya mengambil satu kaus warna cokelat. "Tapi, sudah sembuh hanya meninggalkan bekas yang tidak berarti."
"Kenapa bisa ada luka yang mengerikan di punggungmu?"
Aksara berbalik, dia menjawab, luka itu ada karena dia melindungi istri dan calon bayi di dalam kandungan---dari perampok. Ya, untuk Soraya dan Edlyn yang belum lahir. Aksara pernah mempunyai cinta yang tulus untuk Soraya. Cintanya pasti sangat dalam.
Aku menatap manik mata Aksara. Binarnya sudah berubah, dulu tatapan itu sangat dingin--bisa membekukan udara di sekitarnya.
"Apa?" Aksara menangkupkan kedua tangannya di wajahku.
Aku tidak menyahut, hanya tersenyum dan memegang kedua lengannya. Aku memejamkan mata ketika satu kecupan mendarat di keningku. Dan membiarkan tubuh ini dibopong menuju peraduan, melebur dalam dekapan Aksara--mengizinkan dia merasuk untuk menjadi satu. Melintasi malam dan alam semesta sebagai pasangan yang mencinta.
Dan, menemukan wajah Aksara ketika terjaga dari lelap--sungguh luar biasa indah. Aku mengurai rambutnya yang berkeliaran di dahi. Dia tidur nyenyak seperti bayi. Aku mencium pipinya sebelum beranjak dari tempat tidur.
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar kamar tidak lupa meraih kotak kecil berisi anting untuk Lenni. Namun, kakiku berhenti tepat di depan kamar Amanda. Pintu sedikit terbuka.
"Gue takut, Lyn. Operasi, persidangan ... itu membuat gue susah tidur," keluh Amanda.
"Mama, Papa, gue, kita bertiga ada buat lu," sahut Edlyn.
Aku mendorong pintu pelan, tampak Edlyn duduk di sebelah Amanda di tepi ranjang.
"Wah, ada pertemuan gadis-gadis cantik di pagi hari yang indah," ucapku, kemudian duduk di bawah dengan tangan berada di atas paha Amanda. "Kita akan menghadapi bersama, Manda."
"Bertemu dengan Papa di persidangan dan menjadi saksi, aku sepertinya tidak mampu, Ma ...." Amanda terisak.
Aku menghela napas, bagaimanapun juga Mandala adalah ayah kandung Amanda.
"Oma bilang aku anak durhaka, memenjarakan Papa sendiri," ungkap Amanda sambil menyeka air mata di pipi.
"Kapan kamu bertemu Oma?" tanyaku.
"Oma mengirim pesan," jawab Amanda, menunjukan pesan Bu Rosie.
Kembali aku mengembuskan napas, Bu Rosie mungkin susah bicara, tetapi jarinya bisa mengetik hujatan dan hinaan. Ah, tidak mungkin, dia pasti di bantu seseorang untuk mengirim pesan. Aku langsung memblokir nomor ponsel Bu Rosie.
"Mama tahu, Bu Rosie adalah Omamu, tapi alangkah baiknya untuk sementara kamu tidak berhubungan dengan Oma." Aku meletakan ponsel di tempat tidur. "Kamu bukan anak durhaka, kamu hanya berkata jujur," lanjutku, menggenggam erat tangan Amanda.
Kami bertiga terdiam.
"Mama, aku boleh menjenguk Papa di penjara?" tanya Amanda, pelan.
"Tentu saja boleh. Kapan? Mama akan mengantarmu."
"Sebelum ke rumah sakit aku ingin mampir sebentar menemui Papa," jawab Amanda.
"Baik." Aku berdiri, mencium kepala Amanda lalu mencium Edlyn. "Kalian berdua bau acem," candaku.
"Nanti agak siangan baru mandi," tukas Edlyn.
"Mau dibuatin sarapan apa?" tanyaku.
"Mie goreng." Itu jawaban Edlyn.
"Aku sedang diet." Itu jawaban Amanda, lalu tawa berderai.
Aku keluar dari kamar Amanda. Di ujung bawah anak tangga berpapasan dengan Lenni yang sepertinya dari ruang cuci.
"Pagi, Nyonya bos," sapa Lenni.
"Pagi, Len," sahutku datar, menyamai langkah Lenni menuju dapur. "Ini untukmu." Aku menyodorkan kotak perhiasan.
"Apa ini?" Lenni mengerutkan dahinya.
"Buka dan dilihat saja."
Lenni membuka kotak perhiasan, refleks kakinya berhenti melangkah, bibirnya membulat. "Ini untukku? Indah sekali."
"Ya, jelas untukmu." Aku tetap berjalan meninggalkan Lenni yang terkejut.
"Hasna, kamu tidak salah membelikan aku barang semahal ini?" tanya Lenni yang menyusul di belakangku.
"Kamu pantas menerimanya, Len. Kamu sudah bekerja cukup lama dengan Pak bos," jelasku.
"Sebenarnya perlakuan baik Pak bos sudah cukup, aku tidak meminta apapun," kata Lenni.
"Kamu adalah bagian keluarga ini."
"Hasna ...."
"Pagi-pagi jangan mewek," potongku cepat.
"Bukan itu, siapa yang mau mewek? Aku hanya mau bilang, tumben kamu sudah mandi pasti semalam telah terjadi sesuatu. Ya 'kan? Ya 'kan?" goda Lenni.
"Woiya jelas telah terjadi sesuatu," sahutku, mengedipkan satu mata.
Bibir dan mata Lenni membulat, ekspresi kagetnya jelas dibuat-buat.
***
Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.
Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut.
"Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu."
"Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.
Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.
Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur.
Mandala.
"Apa isinya?"
"Baca sendiri." Aku menaruh surat di dada Aksara. Mandala seperti paranormal--bisa membaca pikiranku. Beberapa waktu lalu aku sempat mengutarakan keinginanku pada Aksara untuk mencabut tuntutan. Memang demi Amanda.
"Mandala tahu persis karaktermu, karena dia begitu mencintaimu ...." ungkap Aksara, melipat surat lalu menaruhnya di atas nakas.
Aku merebahkan tubuh di tempat tidur, memejamkan kedua kelopak mata. Hari ini Amanda sudah diizinkan pulang dari rumah sakit pasca operasi plastik. Dia dalam masa pemulihan. Aku tahu, hati Amanda terbelah. Di satu sisi dia membenci Mandala yang telah menganiaya diriku, di sisi lain dia bersedih melihat Papanya di balik jeruji.
Tangan Aksara melingkar di perutku. "Tidurlah," bisiknya, "tinggalkan sejenak pikiran yang ruwet."
Aku pun mulai terbawa ritme alam mimpi, berjalan menyusuri jalan setapak menuju bukit. Hamparan rumput liar merapat di sisi jalan. Sinar jingga menyusup di antara pepohonan pinus.
'Apa kabar, Hasna?' Mendadak Mandala muncul menghalangi langkahku. Dia tersenyum, namun matanya berkilat bagai serigala.
"Pergi!" teriakku.
Mandala semakin mendekat.
"Jangan mendekat!"
"Hasna!"
"Pergi!"
"Hasna, sadar!"
Aku terbangun dari tidur, napasku memburu, jantungku melesat cepat. Keringat membasahi kening. Mataku menelisik tiap sudut kamar, tidak ada Mandala. Pandanganku berhenti pada Aksara yang memegangi kedua bahuku.
"Mimpi buruk?" tanya Aksara, kali ini dia mengusap keningku.
Aku menggangguk, kemudian merengkuh Aksara.
"Kamu aman, Hasna," ucap Aksara mengusap punggungku.
Karena surat aku bermimpi buruk tentang Mandala. Aku menghela napas, aku tidak boleh terpengaruh.
"Aku akan menyanyikan sebuah lagu," ujar Aksara.
"Tidak perlu." Aku mengurai pelukan. "Suaramu bikin kuping panas."
"Belum dengar sudah komentar jelek," sungut Aksara.
Aku beringsut turun dari tempat tidur, berjalan menuju pintu kamar sambil menggelung rambut. Aku membutuhkan minuman hangat.
"Masih pukul tiga pagi, belum waktunya memasak," sergah Aksara, "aku juga belum lapar."
"Hiss, siapa yang mau masak. Hanya ingin membuat segelas teh atau cokelat panas."
"Aku juga bisa menghangatkan seperti segelas teh," celetuk Aksara, tangannya menepuk-nepuk tempat tidur. "Sini bobok lagi."
"Itu namanya serangan fajar, Sayang." Aku membuka kenop pintu, berjalan keluar kamar.
Aksara dengan langkah tergesa mengekor di belakang. Dia langsung menghempaskan bokongnya di kursi meja makan begitu sampai di dapur. Ponsel Aksara berdering.
"Hmm, siapa tuh, pagi buta menelepon?" tanyaku sembari menyalakan kompor untuk menjerang air.
"Ini dari Beny. Kamu cemburu sama Beny?" sahut Aksara.
"Halo, Ben."
Selebihnya Aksara hanya mendengarkan, helaan napas berat terdengar. Sepertinya bukan sesuatu yang baik.
"Cari tahu kelemahannya, aku harus membungkam mulutnya," ujar Aksara sebelum menutup panggilan.
Aku menuang air panas ke dalam dua buah cangkir. "Apa yang dikatakan oleh Beny?"
"Soraya bikin masalah," sahut Aksara, bersandar di punggung kursi.
"Apalagi ulahnya?" Aku duduk dan menyorongkan secangkir cokelat panas pada Aksara.
"Ini." Aksara mendorong ponselnya yang berada di meja. "Ketika kita sibuk dengan hidup kita, dia sibuk buat masalah."
Mantan suamiku dan istri barunya tidak memberikan akses komunikasi, mereka selalu menghalangi saat aku ingin bertemu dengan putriku sendiri. Sepertinya putriku, mulai terpengaruh. Dia membenciku.
Penggalan wawancara Soraya pada media tiga jam yang lalu. Dia selalu menggunakan media untuk menyebar fitnah.
"Dia tidak waras," imbuh Aksara lalu menyesap perlahan secangkir cokelat.
"Apa rencanamu? Menuntut Soraya karena pencemaran nama baik?"
Aksara menggelengkan kepalanya. "Itu hanya buang waktu dan energi."
"Edlyn! Mama di sini, Nak!"
"Tolong pergi dari sini!"
"Edlyn!"
Suara Soraya dan suara Pak Heri bersahutan di luar. Aku dan Aksara saling memandang sebelum bergegas keluar rumah. Sorot lampu kamera menyilaukan pandanganku. Ada dua orang memegang kamera. Soraya membawa pasukan.
"Izinkan aku bertemu Edlyn." Soraya bersimpuh di hadapan Aksara, lalu memeluk kedua kaki Aksara. "Aku mohon," pinta Soraya, dia menangis.
Wow, akting yang luar biasa. Jika tidak ada kamera, mungkin aku sudah menarik rambut Soraya dan mencakar pipinya. Tapi, aku harus bisa mengendalikan diri.
"Aku merindukan putriku." Tangis Soraya semakin meledak. "Tolong jangan pisahkan aku dengan Edlyn."
Kamera kembali menyorot tepat di wajah kami berdua. Wajah Aksara mengeras, tetapi dia mencoba menahan emosi yang pastinya sudah mencapai ubun-ubun.
Aku dan Aksara masuk dalam acara reality show televisi.
Satu kata untuk Soraya: BANGKAI.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด