logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 19 POV Aksara: Kita Selesai

POV. Aksara
Edlyn dan Hasna. Dua perempuan yang menggenapi kehidupanku. Tawa mereka seolah mengisi kekosongan di sudut kalbu. Aku yakin, Hasna adalah dermaga terakhir, jangkar telah menghujam kuat--tidak ada layar yang terkembang.
"Mama." Edlyn mengulang kembali memanggil Hasna. Ia memeluk Hasna erat, dan enggan terlepas.
Aku melingkarkan kedua tanganku, merengkuh tubuh Edlyn dan Hasna. Menenggelamkan wajah di rambut Hasna, aroma bunga menelisik hidung. Kuhirup--akan tersimpan di memori.
"Papa modus," ujar Edlyn, mencoba mendorong tubuhku yang mendekap mereka berdua dengan kuat.
"Oke, Papa memang modus." Aku tertawa, melepaskan pelukan. "Tapi, kalian berdua adalah pusat kehidupanku."
Rona merah di wajah Hasna semakin tercetak jelas. Dan aku menyukainya.
"Kalian bertiga sedang apa?" Soraya menatap curiga. "Aku mendengar suara tawa yang sangat bahagia," lanjutnya, berjalan mendekat--kemudian merangkul pinggangku dan mendaratkan satu kecupan di pipi dengan cepat.
Hasna terlihat kaget, rona merah tersipu menjadi rona merah cemburu. Matanya tajam bagai ujung anak panah.
"Bu Hasna, berhenti dari pekerjaannya," sahut Edlyn, "Kami hanya menertawakan burung yang menabrak kaca jendela. Setelah linglung si burung mampu terbang kembali."
"Baguslah, kamu berhenti. Mulai kapan?" tanya Soraya.
Aku mendorong tubuh Soraya perlahan, duduk di sofa. Soraya malah ikut duduk dan meletakkan satu tangannya di atas pahaku.
"Saya permisi dulu." Hasna tampak menghela napas.
"Hasna," panggilku ketika Hasna mulai beranjak.
"Ya, Aksara," sahut Hasna, "eh, maksudnya Pak Aksara."
"Tolong siapkan kemeja abu-abu. Terima kasih." Aku mengerlingkan satu mata, Hasna mengulum senyum geli dan menggelengkan kepalanya pelan.
"Mama belum resmi menikah dengan Papa jadi tidak boleh dekat-dekat, dosa. Apalagi pakai cium-cium. BIG NO," ucap Edlyn seraya duduk di antara aku dan Soraya. "Orang dewasa harus tahu batasan."
Wajah Soraya berbias malu.
"Bu Hasna, tolong bilang ke Lenni, aku ingin dibuatkan bakwan," pinta Edlyn.
"Oke, Lyn."
"Kok kamu panggil Lyn, harusnya Nona Edlyn," protes Soraya pada Hasna.
"Itu aku yang minta, Ma. Please, deh, tidak perlu dramatisasi," sungut Edlyn.
Ternyata Edlyn tidak bisa bersikap pura-pura manis pada Soraya. "Lyn, ingat kita sedang main sinetron. Aktingnya harus bagus," bisikku di telinga Edlyn.
Edlyn memutar kedua bola matanya, setelah menarik napas dia berucap, "Aku yang meminta Bu Hasna untuk memanggil Lyn."
"Kamu dan pembantu itu beda kelas, jangan terlalu dekat dengan mereka, nanti ngelunjak," kata Soraya.
Hasna tidak terpengaruh dengan ucapan Soraya, dia keluar dari ruang kerja dengan kalem.
"Apa kita jadi nonton?" tanya Soraya.
Edlyn merangkul pundak Soraya. "Kita nonton film di rumah saja, Ma. Lebih hemat."
Soraya menyetujui permintaan Edlyn, walaupun ekspresi mukanya berbeda. Yang diinginkan Soraya adalah jalan-jalan di mal dan belanja.
***
"Bagaimana proses perceraian Soraya dan Mandala?" tanyaku pada Beny--sekretarisku.
"Soraya tidak mengajukan harta gono-gini, sepertinya dia ingin cepat resmi bercerai. Pun demikian dengan Mandala tidak mempersulit jalannya proses perceraian."
Mandala pasti ingin mengejar Hasna, dari awal dialah yang ngotot ingin bercerai. Dan Soraya pikir, dia akan mendapatkan pengganti harta dengan menikahiku.
Soraya, otakmu hanya berisi dengan uang dan kemewahan.
"Soraya saat ini sedang sepi job, Pak," jelas Beny. "Karirnya semakin redup."
Aku menghela napas, sebentar lagi dia jatuh miskin jika tidak mengubah gaya hidupnya. Tiga hari yang lalu tanpa sungkan, Soraya meminta uang 20 juta. Aku memberinya untuk pertama dan terakhir kali.
Maaf, Soraya ... aku ingin memberimu pelajaran bahwa hidup itu bagai roda.
"Saya permisi, Pak." Beny berjalan keluar dari ruangan kerjaku.
Sepuluh hari tidak bertemu Hasna membuat hati kelabakan. Jika aku menemuinya di rumah, ada Amanda--gadis itu belum tahu tentang hubungan Mamanya denganku. Jika Amanda tahu, dia akan bercerita pada Mandala. Rencanaku bisa bubar.
Aku membuka aplikasi WhatsApp, biasanya Hasna membuat status. Ternyata tidak ada. Mataku tertarik membuka status milik Soraya. Slide pertama, dia sedang menjalani pemotretan. Slide kedua, foto tangannya memegang cangkir kopi--dan terlihat jelas cincin pemberianku. Hariku semakin indah, terima kasih my love atas hadiahnya. Caption dari Soraya.
Tentu saja Soraya tidak menahan diri untuk pamer.
"Biarkan aku masuk! Kamu tahu siapa aku!?"
Aku memijat pelipis, suara Soraya melengking. Kemudian dia sudah merangsek masuk. Beny mencoba menghadangnya.
"Ben, biarkan saja dan tolong tutup lagi pintunya," perintahku.
Beny mengangguk dan segera keluar.
"Kenapa kamu tidak memberitahu sekretarismu kalau aku calon istrimu!?" cecar Soraya.
"Aku akan mengumumkan pada dunia kita akan menikah setelah selesai proses perceraianmu. Mengerti?"
"Tapi-"
"Soraya, reputasimu akan buruk jika media tahu kamu menjalin hubungan dengan lelaki lain sebelum resmi bercerai. Begitu juga dengan aku, skandal akan mempengaruhi perusahaan. Aksara Winata merebut istri orang, kamu ingin ada pemberitaan seperti itu?"
Soraya menghempaskan tubuh rampingnya di sofa. "Aku ingin segera menikah denganmu, Aksara."
"Sabar, Sayang. Lantas apa tujuanmu datang ke kantorku? Aku sibuk sekali."
"Aku kangen ...." jawab Soraya, mesra.
Aku juga kangen, tetapi pada perempuan lain. Sedang apa Hasna sekarang?
"Nanti malam kita bertemu di rumah saja, kamu bisa menghabiskan waktu dengan Edlyn dulu."
"Mungkin aku akan datang malam saja. Aku ada urusan dengan teman-teman arisan," ucap Soraya, dia beranjak dari sofa berjalan ke arahku. Dia hendak mencium, tapi aku segera menjatuhkan gelas berisi air putih. Pecahan gelas luruh di lantai.
Spontan, Soraya mundur.
"Hati-hati di jalan, Sayang." Aku berdiri membuka pintu untuk Soraya.
"Sampai jumpa nanti malam, Aksara."
Edlyn bukan hal penting bagi Soraya, dia sering menolak ajakan Edlyn dengan alasan sibuk.
Ya, sibuk berpesta dan kumpul-kumpul dengan teman sosialita. Hartaku menjadi incaran sang super model.
***
"Aksara, di mana ART-mu? Kenapa cuma ada satu satpam? Kasihan Edlyn mencuci baju sendiri." Soraya langsung mencecarku begitu aku sampai di rumah.
"Kami sedang berhemat," sahutku, sambil melepas dasi--melangkahkan kedua kaki ke dapur.
Biasanya di dapur ada Lenni dan Hasna. Sekarang sepi.
"Kamu mau kopi?" tawarku pada Soraya.
"Setidaknya ada satu ART," protes Soraya.
"Aku tiap pagi membuat sarapan sendiri, tugas Edlyn mencuci, sterika biasanya di akhir pekan."
Soraya berkacak pinggang. "Cuci piring, membersihkan debu, ganti sprei, taman juga perlu dirawat. Sedangkan kau orang sibuk, Edlyn sekolah sampai sore."
"Ini rumahku, kenapa kamu yang ribut dengan urusan ART."
"Aku calon istrimu," tandas Soraya.
Aku duduk di kursi meja makan, melihat Soraya yang stress karena tidak ada satu pun ART di rumahku.
"Soraya, setelah kita menikah aku putuskan tidak memakai ART," ucapku, menunggu reaksi Soraya.
"Omong kosong!" teriak Soraya.
"Mama, katanya mau membantu cuci baju dan cuci piring. Terus membersihkan ruang tamu, ruang keluarga, ruang kerja Papa." Edlyn muncul dengan membawa tumpukan cucian.
"Aku ke sini ingin bersantai, menghabiskan waktu denganmu, Aksara ...." Soraya terlihat menahan emosi yang siap meledak, beberapa kali dia menarik nafas panjang. " ... bukan mencuci baju kalian."
"Ini 'kan, baju putrimu, Ma," sahut Edlyn. "Dan baju lelaki yang Mama cintai."
"Tapi, ini sudah malam. Besok saja aku datang lagi," tolak Soraya.
"Kalau begitu Papa jangan menikahi perempuan seperti Mama. Bagaimana nanti kalau sudah menikah, pasti tidak ada perhatian." Edlyn bersungut-sungut.
"Bukan begitu ...." Soraya tampak bingung. "Baju kalian bisa dimasukkan ke laundry."
"Aku tidak pernah memakai jasa penatu." Aku meregangkan otot leher.
"Ya, ya, aku akan membantu kalian," putus Soraya.
"Begitu dong, Ma. Aku sayang sama Mama. Kalau capek, Mama boleh menginap, nanti Mama tidur denganku." Edlyn menyodorkan cucian kotor ke Soraya, perempuan itu menerima dengan muka mengerut.
Pukul sebelas lewat lima menit, Soraya selesai dengan pekerjaannya. Dia rencana ingin pulang, namun setelah tiduran di atas sofa ruang keluarga dia jatuh terlelap, mungkin kelelahan.
Edlyn menyelimuti tubuh Soraya. "Kenapa dulu Papa bisa jatuh hati dengan Mama, perempuan egois dan matre?" tanya Edlyn pelan.
"Mana Papa tahu Mamamu sifatnya seperti itu," sahutku.
"Aku mau tidur dulu, Pa."
"Selamat malam, Lyn," ucapku, mencium kening Edlyn.
"Aku bosan berakting baik, Pa. Sampai kapan?" rajuk Edlyn.
"Tidak sampai ribuan tahun, Lyn."
Edlyn berjalan malas menaiki anak tangga. Aku menyusul di belakangnya, biarkan Soraya menikmati mimpi di temani televisi yang menyala.
***
Setiap Soraya datang ke rumah, Edlyn sudah menyiapkan pekerjaan untuk Soraya. Aku tahu Soraya mulai enggan datang ke rumah, tetapi Edlyn selalu berkata 'tidak ada pernikahan jika Mama tidak mau mencuci piring'.
Waktu yang kujanjikan pada Hasna meleset, sudah hampir dua bulan. Aku juga menghubungi semua pegawai rumah, bahwa libur mereka di perpanjang.
Sekarang. Hasna duduk tepat di seberangku, sedang memainkan sedotan gelas.
"Kenapa diam saja?" tanyaku.
"Apa yang harus kutanyakan?" Hasna balik bertanya.
"Misal, apa kau merindukanku?"
Hasna tertawa lalu berucap, "Tidak perlu ditanyakan tentang hal merindu, aku tahu kamu merindukan diriku, Aksara."
"Sepertinya hanya aku yang rindu berat," ujarku, jemariku menyusup di jemari tangan Hasna. "Aku ingin segera menghabiskan waktu bersamamu."
Wajah cantik dan lembut itu tersenyum. Dia membalas tatapanku.
"Kenapa baru sekarang kita bertemu? Seandainya kita dipertemukan lebih awal ...." Aku menjeda.
"Apa?" Hasna penasaran.
"Kita pasti sudah menikah dan punya banyak anak," lanjutku. Sejurus kemudian mataku melihat sosok Mandala memasuki kafe. "Hasna ...."
"Apalagi?"
"Jangan menengok, ada Mandala. Pergilah ke toilet sekarang. Bawa tasmu." Aku menarik tanganku dari jemari Hasna, duduk tegak bersandar di punggung kursi. Hasna gegas beranjak dari kursi, berjalan cepat ke toilet.
Aku alihkan pandanganku keluar jendela. Aku yakin Mandala melihatku.
"Selamat siang, Pak Aksara," sapa Mandala. "Wah, Anda bertemu siapa?"
Mandala melihat jus mangga dan sepotong kue cokelat yang belum habis.
"Itu bukan urusan Anda," sahutku.
"Apa Soraya sedang bersama Anda?"
"Maaf, Anda datang ke kafe ini hanya ingin mengajukan pertanyaan seperti wartawan atau ada urusan lain?" tanyaku berbarengan dengan seorang lelaki bertubuh subur memanggil nama Mandala.
Mata Mandala kembali pada piring kue cokelat, lalu mengamati kafe sebelum akhirnya menghampiri meja yang ada dua lelaki dan satu perempuan.
Aku pun berdiri menuju toilet. Karena tidak mungkin masuk ke area khusus wanita, aku menelepon Hasna.
"Halo? Hasna?"
"Aku di belakangmu, Sayang."
Aku memutar tubuh, Hasna berdiri di dekat pintu dapur kafe.
"Kamu memanggilku Sayang?"
"Ya, begitulah. Kita keluar lewat dapur." Hasna mematikan sambungan telepon.
Buru-buru aku mengikuti Hasna, melewati koki atau tukang masak yang terganggu dengan penyusup.
Kami berdua lantas berjalan ke area parkir.
"Kok kita kayak pasangan selingkuh, ya?" celetuk Hasna saat sampai di mobilku. "Takut kepergok."
"Hahahaha, kita selingkuh dari siapa?" tanyaku.
"Entahlah," sahut Hasna masih berderai dengan tawa.
Ponselku berdering, ada panggilan masuk dari Beny. Dia mengatakan putusan cerai Mandala dan Soraya sudah ditetapkan.
"Aku akan mengantarmu pulang, Hasna," ujarku.
Sebentar lagi kita bisa bersama, bisa bertemu kapan saja. Setiap detik.
***
Kami bertiga makan malam di rumah. Soraya dengan gembira memberitahu kabar tentang putusan pengadilan. Aku mendengarkan sambil mengunyah spaghetti. Edlyn juga tidak tertarik, dia menenggelamkan diri dalam buku sembari makan.
Aku menarik napas. "Soraya ada yang ingin aku sampaikan," ucapku, menaruh garpu. Kemudian menggenggam tangan Soraya.
"Kamu serius sekali, Aksara."
"Sebenarnya, alasanku tidak menggunakan jasa ART karena aku mulai terpuruk. Aku harus menghemat pengeluaran, lima pegawai rumah bisa menghabiskan uang 15 jutaan untuk menggaji mereka."
Mimik wajah Soraya tampak kaget tidak percaya. "Perusahaanmu bangkrut?"
"Menuju kebangkrutan," sahutku.
Dengan cepat Soraya menarik tangannya dari genggamanku.
"Rumah ini akan dijual Papa, dan akan dibelikan rumah yang lebih kecil," timpal Edlyn tanpa mengalihkan mata dari buku.
Aku meraih kembali tangan kiri Soraya, perlahan melepaskan cincin berlian dari jari manis Soraya.
"Kenapa cincinku kamu lepas, Aksara!? Kembalikan!" sergah Soraya.
"Maaf, aku sedang membutuhkan uang banyak," ucapku. Memasukkan cincin ke saku kemeja.
Soraya bertambah kecut. Dia mengembuskan napas kasar.
"Apa kau masih mau menikah denganku?" tanyaku, serius. "Aku bukan lagi pengusaha kaya."
"Apakah perusahaan perhiasan milikmu tidak bisa diselamatkan?" Soraya mulai gusar.
"Sepertinya tidak bisa."
"Berarti kamu miskin lagi?"
"Bukan, miskin Ma ... Hanya hidup lebih sederhana." Edlyn menutup bukunya.
Kami bertiga terdiam. Soraya tampak sedang berpikir keras. Kedua tangannya bertautan, wajahnya pucat.
"Kita bisa melalui kesusahan hidup, Soraya. Bukankah cinta kita begitu dalam?" tanyaku.
"Cinta? Hah?!" Soraya berdiri dari kursi, melempar serbet ke tengah meja. "Aku pulang dulu."
"Jadi bagaimana dengan hubungan kita?!" teriakku.
"Kita selesai," jawab Soraya, singkat.
"Maksud Mama?" Edlyn ikut berdiri. "Mama akan meninggalkan kami lagi? Jangan, Ma ... Tolong, aku mohon," pinta Edlyn memeluk Soraya.
Soraya melepaskan pelukan Edlyn dengan kasar sehingga Edlyn hampir terjerembab jatuh. "Maaf, Mama harus pergi," tolak Soraya.
Soraya bergegas meninggalkan ruang makan.
"Ma! Mama! Aku mohon!" teriak Edlyn. "Aku mohon pergilah dan jangan kembali ...." desis Edlyn kemudian tertawa.
"Soraya, jangan tinggalkan kami!" giliran aku berteriak.
Edlyn semakin tergelak. "Kita kayak orang gila, Pap."
Soraya kamu dengan mudahnya pergi. Secepat kilat. Hati dan jiwanya hanya untuk uang.
"Sebenarnya aku antara sedih dan senang, sedih karena Mama tidak berubah, senang karena aku akan mempunyai Mama baru," ucap Edlyn menatapku.
"Mama baru yang mana?" godaku.
"Mama Hasna," sahut Edlyn cemberut. "Ish, Papa pura-pura lupa."
Hasna, kita akan berakar di bumi sampai matahari terbenam di barat. Kita akan bersemi setiap pagi bersama matahari di timur. Aku datang ....

หนังสือแสดงความคิดเห็น (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด