logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 16 Karma dan Sebuah Rasa

Aku celingukan, mencari mobil yang mengantar Amanda. "Kamu ke sini naik apa?"
"Taksi."
"Mama akan mengantarmu pulang," ujarku.
"Aku tidak mau pulang ke rumah Papa," tolak Amanda, kepalanya menggeleng lemah.
"Heh, kenapa?" tanyaku, heran.
"Aku ingin tinggal dengan Mama lagi." Lirih suara Amanda menjawab. Dia terlihat lelah dan menahan nyeri.
"Malam ini, kamu sementara tidur di rumah Pak Aksara. Besok kita baru pulang ke rumah."
Amanda agak ragu saat memasuki rumah. "Bagaimana kalau Edlyn mengusirku?"
"Edlyn anak yang baik, dia tidak akan mengusirmu," jelasku.
Aku membantu melepaskan sepatu Amanda, menyelimuti tubuhnya. Mata Amanda mengamati kamar--pada Lenni yang tidur tengkurap dan suara mendengkurnya yang khas.
"Tidurlah ...." Aku membelai rambut Amanda.
"Mama ... aku sayang mama. Selama ini aku salah. Aku kira Oma menyayangiku dengan kasih yang tulus. Namun, setelah aku mengalami kecelakaan, Oma selalu marah kalau aku hanya merepotkan, Oma juga bilang aku juga menyusahkan," ungkap Amanda, getir.
"Oma juga selalu menjelekkan Mama, hingga aku terpengaruh dan terjerumus. Saat ini Papa sedang keluar kota, tadi pun Oma ngomel-ngomel karena aku menjatuhkan gelas susu. Oma bilang, lebih baik aku mati karena hanya menghabiskan uang untuk perawatan dan rencana operasi plastik."
"Bagaimana dengan sikap Papa?" tanyaku.
"Papa orangnya baik sekali. Mama Soraya sudah pergi dari rumah sejak kemarin sore." Amanda menghela nafas panjang. "Maafkan aku, Ma ...."
"Kita bicara besok lagi, sekarang kamu tidur, ya ...." ucapku seraya merebahkan tubuh di samping Amanda.
Aku mengirim pesan pada Mandala, memberitahu--Amanda bersamaku. Berarti mulai besok aku tidak akan menginap di sini. Atau aku akan mencari pekerjaan lain.
Amanda sudah terlelap, sementara mataku masih betah memandangi plafon. Perutku lapar, mungkin itu penyebab aku susah tidur. Bukan itu. Hatiku penuh bunga karena bisa mendengar nafas teratur Amanda--saking bahagianya aku tidak bisa merapatkan kedua kelopak mata. Bukan itu juga.
Aku sedang gelisah.
"Tidur ... tidur ... jangan memikirkan ... dia ...."desisku pelan.
***
"Hasna, bangun ...." Seseorang menggoyang bahuku. "Bangun."
Aku menggeliat, meregangkan semua otot tubuh. Kemudian mengucek mata, kulihat Lenni berdiri sambil berkacak pinggang.
"Semalam kamu berubah jadi Cinderella, pergi ke pesta terus pulang malam? Jadinya kamu bangun kesiangan. Seperti itu?" omel Lenni.
Cinderella meninggalkan sepatu kaca, sehingga sang pangeran mencarinya. Sedangkan aku tidak meninggalkan jejak apa pun, pangeranku tidak mungkin mencari.
Aku beringsut dari atas tempat tidur. Amanda masih tidur pulas. Seorang ART yang bangun jam lima pagi termasuk bangun kesiangan.
"Belum siang, Len. Matahari bahkan belum terbit." Aku menguap panjang.
"Dia siapa? Kenapa tidur di sini? Sudah izin sama Pak Bos?" Rentetan pertanyaan Lenni.
"Dia Amanda, anakku," jawabku, "aku belum izin Pak bos. Sungkan, tengah malam ketuk pintu kamar Pak bos."
Setelah mencuci muka di kamar mandi, aku melangkah menuju dapur. Pagi ini, sebelum berjibaku dengan mesin cuci, kemoceng, vacuum cleaner dan sebagainya--aku ingin makan sepotong biskuit dan teh.
"Wah, ada singkong rebus." Aku langsung mencomot satu.
"Hasna!" teriak Lenni. "Itu singkong rebus punya Pak bos."
"Upsss, sudah terlanjur aku gigit." Aku menyengir. "Pak Aksara minta singkong rebus?" tanyaku dengan mulut mengunyah singkong.
"Kadang-kadang saja, saat beliau kangen kampung halamannya," jawab Lenni.
Aku hanya manggut-manggut, lalu melipir ke ruang cuci. Satu keranjang berisi sprei, satu keranjang lagi pakaian Edlyn dan Pak Aksara. Aku memilah pakaian berwarna dan putih. Saat mengambil kemeja Pak Aksara, tanpa sadar aku menghidu aroma kemejanya. Antara aroma lavender dan aroma lelaki.
"Cie, Bu Hasna lagi cium-cium kemeja Papa ...."
Refleks, aku langsung memasukkan kemeja biru muda ke dalam mesin cuci. Duh, pasti mukaku semerah buah semangka.
"Cium langsung orangnya saja," goda Edlyn tertawa.
Gusti, mau ditaruh mana wajah ini?
"Aku mencari kaus kaki warna hitam, Bu Hasna."
"Sebentar." Aku berdiri, berjalan ke arah meja yang ada tumpukan pakaian. "Yang ini?" tanyaku, mengulurkan kaus kaki hitam pendek.
"Hasna!" Lenni muncul dengan nafas ngos-ngosan. "Ada nenek-nenek ngamuk, mencari Amanda. Dia ada di teras depan."
"Memang Amanda ada di sini?" Edlyn menatapku.
"Iya, Lyn. Semalam dia kabur dari rumah Papanya," sahutku, bergegas menuju teras diikuti Edlyn dan Lenni.
Bu Rosie tangah mondar-mandir dengan muka serigala--yang siap menggigit.
"Mana Amanda!? Dia harus pulang bersamaku. Main kabur saja." Suara Bu Rosie membedah keheningan pagi.
"Amanda tidak ingin kembali ke rumahmu, Bu Rosie. Tolong, silakan pulang dan jangan buat keributan," ujarku.
"Dia harus pulang!" teriak Bu Rosie.
"Kalaupun Amanda pulang, dia akan pulang ke rumahku," lontarku, tetap tenang. Sebenarnya aku ingin menjambak rambut Bu Rosie, tetapi ini bukan di rumahku.
"Ada apa ini?" Pak Aksara sudah berdiri di sebelahku. "Oh, ternyata Nyonya Rosie, sepagi ini sudah gaduh ... lihat burung-burung di pohon itu, mereka terbang menjauh karena suaramu."
"Hasna menyembunyikan Amanda di rumahmu," tuduh Bu Rosie.
"Bukan begitu, Pak ...." sahutku. Lalu kujelaskan apa sebenarnya yang terjadi. "Maaf, semalam saya tidak izin terlebih dulu."
"Sebaiknya Anda pulang, Bu Rosie. Ini masih pagi untuk marah-marah." Pak Aksara merangkul bahu Bu Rosie, dengan setengah mendorong, Pak Aksara mengantar perempuan tua itu masuk ke mobil.
"Hiss, Oma Rosie sangat menjengkelkan. Pagi-pagi bikin keonaran," gerutu Edlyn, masuk kembali ke dalam rumah. Sementara Lenni sudah tidak terlihat.
Aku menghela nafas. Sinar mentari pagi membentuk garis panjang--menembus awan hitam.
"Maaf, Pak ... saya telah membuat keributan," ucapku pada Pak Aksara.
"Yang buat keributan mantan mertuamu, kenapa kamu yang minta maaf?"
"Pak Aksara, saya tidak bisa menginap, karena Amanda akan tinggal bersama saya. Kalau diizinkan saya akan datang pagi dan pulang sore hari seperti dulu. Kalaupun tidak diizinkan saya akan mencari pekerjaan lain," kataku.
"Aku mengizinkan."
"Terima kasih, Pak."
"Kalau kamu tidak kerja di rumahku, aku tidak bisa bertemu denganmu ... eh ...." Pak Aksara menggaruk kepalanya.
"Maksudnya apa, Pak?"
"Pikirkan sendiri," sahut Pak Aksara, berjalan masuk ke dalam rumah.
***
Aku menyuapi Amanda dengan bubur nasi. Semoga dia benar-benar ingin tinggal denganku, bukan karena emosi sesaatnya.
"Nanti sore kita pulang ke rumah," ucapku, menyodorkan segelas air putih dengan sedotan.
Amanda menggangguk. "Bubur buatan Mama enak," puji Amanda.
"Obatmu mana?" Aku meraih tas ransel ukuran sedang milik Amanda.
"Aku lupa tidak bawa, karena buru-buru," jawab Amanda.
Aku bangkit dari kursi meja makan. Menaruh mangkuk dan gelas di wastafel dapur. Amanda harus minum pereda nyeri yang diresepkan dokter.
"Mama akan mengambil obatmu. Kamu sama Lenni, dia baik seperti Bude Niken."
"Ya, aku mirip bidadari dari khayangan." Lenni yang sedang menekuri ponsel menyahut. "Sudah sana ambil obatnya, biar Manda bersamaku. Eh, Hasna, kalah perlu bawa sambal buat jaga-jaga."
"Hahahaha, tidak perlu Lenni."
Gegas aku melajukan motor.
Aku harus ke rumah Mandala mengambil obat, tentu saja aku akan menghadapi Bu Rosie yang dua jam lalu marah-marah.
Alis Marni--ART Bu Rosie terangkat ketika melihatku. "Ibu Hasna tidak boleh masuk" ujarnya ketus.
"Aku hanya mengambil obatnya Amanda. Jangan halangi aku."
Marni masih bergeming.
"Atau aku akan mengadukan dirimu pada Pak Mandala," ancamku. "Karena menghalangi mengambil obat milik putrinya. Minggir."
Setelah si Marni memberi jalan, aku melangkah masuk menuju kamar Amanda. Mengambil obat, dan beberapa helai pakaian ke dalam tas. Aku pun langsung keluar kamar lagi--tidak perlu berlama-lama. Saat aku melewati kamar Bu Rosie, kudengar rintihan dan suara ketukan di lantai.
"Bu Rosie ...." Aku mengetuk pelan pada pintu bercat putih.
"Argghhh ...." Suara erangan dari dalam terdengar.
Kuberanikan menguak pintu yang tidak terkunci. Tidak terlihat Bu Rosie.
"Has ... Has ... Na ...."
Perempuan renta itu tergeletak di lantai, dekat pintu kamar mandi. Wajahnya pucat menahan sakit, keningnya terluka dan mengeluarkan darah
"Aku tidak bisa ... berdiri ... sakit sekali," keluh Bu Rosie.
Aku berjongkok. "Tenang, Bu Rosie ... aku akan menelepon ambulans."
Aku menelepon ambulans salah satu rumah sakit kota. Setelah sesi tanya jawab tentang kondisi pasien, petugas mengatakan ambulans datang sekitar 30 menit.
Selanjutnya aku menelepon Mandala. Nada sibuk terus.
[Cepat hubungi aku. Ibumu terjatuh.] Kukirim pesan.
Aku menaruh bantal di bawah kepala Bu Rosie. Aku tidak berani mengangkat tubuhnya atau sekadar menggeser. Bisa jadi salah satu tulang Bu Rosie retak atau patah akibat terjatuh.
"Sakit sekali ...." erang Bu Rosie.
Aku berteriak dari ambang pintu memanggil Marni, "Marni! Marni!"
Suara langkah kaki berderap di tangga, Marni berlari mendekat. "Ada apa, Bu?"
"Bu Rosie terjatuh, tolong jaga sebentar. Aku harus memesan jasa kurir online untuk mengantar obat," jawabku sambil berjalan menuruni anak tangga.
Driver ojek online datang 10 menit kemudian. Aku bergegas kembali ke kemar Bu Rosie. Tangan keriput itu selalu memegangi bagian pinggangnya dan mengeluh sakit.
"Kenapa kalian membiarkan aku tergeletak di lantai!?" bentak Bu Rosie. "Uhh, sakit ...."
"Sebentar lagi ambulans datang," ucapku, jengkel. Terkapar tidak berdaya tapi masih bisa membentak.
***
Mandala baru datang dua jam kemudian, aku yang duduk menemani Bu Rosie di ruang IGD, berdiri. Dia tadi sempat meneleponku, mengatakan terjebak kemacetan setelah keluar dari ruas tol.
"Bagaimana kondisi mamaku?" tanya Mandala dengan nafas yang tersengal. Aku tebak dia pasti berlari dari area parkir.
"Kemungkinan patah atau retak di tulang panggul, hasil CT-SCAN belum keluar. Oh, ya, tolong urus administrasi."
Mandala membalikkan badan, berjalan melewati jajaran ranjang di ruang IGD menuju ruang administrasi.
Aku menegak air mineral dari botol langsung. Aku harus terjebak di sini. Kepalaku pening dengan bau obat. Aku harus menunggui perempuan yang paling kubenci.
Kadang terlintas dipikiran, kenapa tidak aku biarkan saja Bu Rosie terkapar di lantai. Biarkan dia kesakitan dan ....
Maaf, Tuhan ... kadang jiwa terjahatku muncul.
Suara erangan, rintihan kesakitan pasien lain membuatku menarik nafas dalam-dalam. Mandala belum juga kembali.
[Belum selesai?] Pesan dari Lenni.
[Sebentar lagi.]
[Hasna, jangan patah hati, ya ... saat ini di rumah ada calon Nyonya baru. Lebih cantik dari Garneta, tapi sama-sama pongah.]
Aku termangu membaca pesan dari Lenni.
Apa Soraya yang datang? Dia belum resmi bercerai sudah mengibarkan bendera hubungan dengan lelaki lain. Dasar.
"Hasna."
Aku mendongak.
"Terima kasih, kamu sudah mau menolong mamaku," ucap Mandala.
"Kembali kasih." Aku menghela nafas lagi. "Aku harus pulang, Amanda menungguku."
"Amanda di rumah Aksara?"
Aku mengangguk. "Rencana nanti sore kami akan pulang kembali ke rumahku."
"Hati-hati di jalan, Hasna," ujar Mandala.
Terpaksa aku harus memesan ojek online kembali ke rumah Mandala, mengambil motor. Baru pulang ke rumah Pak bos Aksara.
Dugaanku benar, Soraya yang datang. Dia baru saja masuk ke mobilnya dan pergi. Aku melepas helm, berjalan perlahan masuk ke rumah.
Di dapur sepi, mungkin Lenni dan Amanda di kamar. Aku terduduk di kursi meja makan. Penat sekali.
"Hasna, apa kamu melihat kemeja biru?" tanya Pak Aksara.
"Biru muda, biru tua atau biru navy?" Aku balik bertanya.
"Biru muda," jawab Pak Aksara. "Aku cuma punya satu."
"Lain kali beli satu kodi, Pak," sahutku. "Ada di lemari Pak Aksara, dekat kemeja warna putih."
"Tidak ada, tadi aku sudah ubek-ubek lemari."
Aku mengesah. "Kalau saya menemukan kemeja biru muda Pak Aksara di lemari, ada hadiahnya tidak?"
"Ada."
"Apa?"
"Hatiku ...."
Heh?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด