logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Kisah Keenam : Teh Bunga Melati

Aku mencoba bangun pagi, sembari menahan hawa dingin di desa ini. Selepas shalat subuh, keluar kos sebentar dan jalan-jalan disekitar sini saja. Masih sepi, bahkan tak banyak warga desa yang melintas di jalanan. Hanya ada satu bapak yang duduk di pinggiran jembatan kecil.
Rasanya masih parno dengan wujud berjubah hitam yang tak memiliki wajah itu. Duduknya agak menunduk persis seperti bapak ini. Tapi, saat aku lihat ini manusia asli!
"Monggo, Pak." (Mari atau ungkapan permisi dalam bahasa jawa)
"Nggeh, mbak." (Iya, mbak.)
Astaga! Kok aku ingin tahu sekali dengan tangan bapak itu. Kulihat tangannya terbalut perban. Apa beliau pernah kecelakaan atau keseleo sebelumnya? Jalannya juga agak aneh. Bulu kudukku kembali merinding. Ah, lebih baik aku kembali ke kos saja.
"Cepetan woi...! Aku mau mandi nih!"
"Iya, sabar kenapa sih?"
"Ah, Maya mandi apa spa sih didalem? Duuh...!"
"Pake yang sebelah dulu aja, Non."
"Itu kan WC, Dit!"
"Ya tapi kan ada embernya, gede lagi! Ada gayungnya juga."
"Ogah, ah! Kamu aja kalau mau pakai disana. Sabunku udah terlanjur disini. Ayo Mayaaa...! Cepetaaaan!"
Aku sih tidak terlalu masalah mau pakai yang mana. Toh, sama saja buat mandi. Akhirnya kuambil peralatan mandi dan bergegas menuju ke WC sebelah. Sebelum para cowok menyerbu buat mandi disini.
***
Tidak mudah untuk mengadakan pelatihan komputer bagi para perangkat desa. Kalau Pak Kades tidak perlu, karena beliau sendiri sudah mahir bahkan punya laptop pribadi. Berbeda dengan yang lainnya, bahkan menulis biasa saja sudah tak nampak lagi. Kacamata plus yang dipakai ada yang sudah setebal apa.
"Laptopnya bagaimana, Mas Eki?"
"Kita pakai laptop milik teman-teman KKN dulu saja, Pak. Nanti secara sederhana saja untuk latihan mengetik dulu."
"Ya, tidak masalah mas. Semoga setelah pelatihan ini bisa lebih membantu pekerjaan Mas Yono. Saya kasihan sama dia."
Harapan Pak Kades dan kami sangatlah besar untuk desa ini. Kembali lagi bagaimana dengan para perangkat desa? Pelatihan komputer sehebat apa, kalau pesertanya tidak bersemangat ya rasanya tak ada artinya. Sambil membahas ini, kami disuguhi teh panas dengan melati segar mengambang diatasnya.
Aku parno melihat bunga melatinya. Teringat sama aktris senior yang suka makan bunga melati itu. Padahal dengan penambahan bunga ini, rasa tehnya jadi lebih enak. Tentu saja bunga melatinya tidak aku makan. Masih ada suguhan gorengan dan jajanan pasar. Untuk apa makan bunga melati?
"Nah, kita sudah selesai nih. Sesuai rencana tim kita bagi dua ya!"
"Oke, siap Ki!"
"Kemarin siapa yang mau ke kebun kopi? Sisanya masih di kantor desa ya. Tenang, cuma hari ini kok!"
"Tapi kita ngapain disini, Ki?"
"Ya persiapan dong! Tuh meja diatur dulu besok kita tinggal duduk. Kalau perlu bantu bersihin ini aula."
"Siaap Pak Kordes!"
***
"Nyesel juga ikut ke kebun kopi."
"Memang kenapa, Nuk?"
"Nih nih niiiih...! Bentol semua badanku."
"Nyamuknya suka sama Nuki kali."
"Iih... sori ye! Kok bisa sih Nona enggak digigit nyamuk?"
"Ya digigit lah, Nuk! Tapi aku kan pakai lengan panjang. Enggak sebanyak kamu."
"Tahu gitu kan aku enggak pake celana pendek pas kesana."
Wajah Nuki masih bersungut dan Putri menawarkan balsem untuk mengatasi rasa gatalnya. Sebenarnya dia tidak terbiasa tapi daripada malam ini gatal semua badan dia, ya lebih baik dipakai aja. Sebentar lagi rapat di tempat kos cowok. Nona baru saja membuka Gorden rumah kos-an ini. Tapi tiba-tiba dia berteriak, kami semua kaget luar biasa. Tidak biasanya dia seperti ini.
"Kenapa sih, Non?"
Wajahnya nampak pucat luar biasa. Dia hanya memperingatkan kami agar tidak melihat ke arah jendela saat malam. Kami semua tentu saja bingung.
"A-a-ada mata merah menatapku balik!"
"Kamu salah lihat kali, Non. Ini sudah malam lho, jangan bikin takut yang lain."
"Se-serius, Nuki! Mata merah dengan bulu hitam lebat."
"Udahlah, Non. Jangan menakuti kami!"
Aku memang hanya diam, tapi jantungku ikut berdetak kencang. Meski sudah biasa melihat makhluk semacam itu, rasa takut tetap saja masih ada. Aku menyiapkan tasbih kayu cendana yang biasa aku pakai untuk dzikir. Agar kuat, aku lingkarkan ke tangan kanan. Hanya dzikir pengingatku pada Tuhan. Bukan karena aku mempercayakan tasbih ini bisa melindungiku.
"Eh, ada yang bawa gunting besi kecil? Bentar lagi kita berangkat bukan?"
"Iya, bentar lagi. Ah, aku enggak punya Put!"
"Coba tanya Bu Sobari di kamar bawah. Siapa tahu beliau punya."
Baru ini rasanya Putri memakai bahasa indonesia. Biasanya lebih ke bahasa Jawa. Ternyata benar apa kata Nona tadi, Bu Sobari selaku ibu kos disini punya gunting besi kecil.
"Buat apa sih, Put?"
"Lek jare wong tuwo kan nek gek hamil mesti gowo iki. Yo opo wae seng seko wesi. Kanggo ben bayine ora dijupuk karo mbah-mbah." (Kalau kata orang tua kan pas lagi hamil harus bawa ini. Yo apa aja asal besi. Buat bayinya supaya enggak diambil nenek-nenek.)
"Bisa ya gitu diambil?"
"Bisa dong! Kan neneknya bukan manusia. Ah, Nuki baru tahu ya?"
"Ya beneran baru tahu aku, Nona. Bapak sama Ibuku enggak pernah cerita kayak begitu."
"Ting!"
"Hape-mu bunyi, Nuk!"
"Wah, besok ibuku mau kesini katanya."
"Baru tiga hari rasanya kita disini ya."
"Iya? Enggak kerasa deh! Sudah tiga hari kesini. Yuk, kita ke kos-an cowok."
"Dih, parno mau keluar gara-gara yang tadi."
"Udah anggap aja enggak ada! Yuk keluar!"
Mbak Tiska sampai sedikitnya menyeret Nona. Aku, Nuki dan Putri jalan duluan. Mbak Tiska yang menutup pintu dan tak lupa menguncinya. Baru dia berjalan bersama Nona. Ibu kos memang memberikan kuncinya rumah bagian atas pada kami. Supaya tidak perlu mengetuk rumah dan mengganggu tidur beliau. Apalagi kami sering pulang diatas jam dua belas malam.
***
Mood-ku hilang saat melihat menu makan malamnya. Sayur dan tempe juga tahu. Apa tidak ada menu lainnya? Oh, aku lupa! Juga sambal dan nasi. Terkadang ada kerupuk. Tapi lebih banyak tidak adanya. Kalau sudah begini, besok sore harus ke minimarket modern terdekat. Minimalnya ada mi instan sebagai penggugah selera.
"Nah, sambil makan kita bahas lagi program kita. Gimana nih yang udah ke kebun kopi tadi?"
"Seru Pak Kordes!"
"Bukan itu, Yosi! Maksud die tuh kite udah punya gambaran belom dari sana?"
"Ooh... ada sih kalau itu."
"Oke, gimana menurutmu Yos."
Aku masih mencoba memasukkan tempe, nasi dan sambal dalam satu sendok ke dalam mulutku. Tak ada rasanya sama sekali, apa yang masak tidak kasih bumbu ya. Ah, jangan berpikiran begitu Dit! Sampai tak terasa aku berhasil menghabiskan makanan itu.
"Huhuhu...."
Kok ada suara orang menangis ya? Aneh sekali! Apa penghuni rumah sebelah sedang menangis? Ah, kalaupun iya aku enggak boleh cari tahu. Biarkan saja, toh itu urusan dia!
"Huhuhuhu...."
Astaga! Telingaku rasanya... aargh! Sakit! Suara ini semakin kencang. Ini bukan tangisan manusia. Kenapa teman-teman tidak ada yang mendengarnya ya? Apa ini yang didengar sama Nona dulu? Kukeluarkan tangan yang sudah terbelit tasbih. Saat kutarik tasbihnya dan mencoba untuk berdzikir, seketika suara itu menjauh dan hilang.
"Kenapa, Dit? Kamu bawa tasbih?"
"Iya, aku biasa bawa ini."
Nuki agaknya penasaran, tapi aku tetap melanjutkan dzikirnya. Biarlah teman-teman rapat, aku tetap fokus dengan dzikirku. Sampai akhirnya acara rapat selesai dan kami pulang. Melewati jembatan itu lagi, sosok serba hitam yang duduk di jembatan itu masih ada. Tapi saat coba kudekati langsung menghilang. Siapa sebenarnya sosok ini?
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (104)

  • avatar
    Jelian Thurston Urap

    jelian

    15/08

      0
  • avatar
    KuswandiFauzan

    seru

    12/08

      0
  • avatar
    Rehann Rena

    🅑🅐🅖🅤🅢

    01/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด