logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Kisah Kelima : Si Anak Ajaib

Pak Kordes a.k.a Eki mengajak kami semua berkunjung ke rumah ketua kelompok tani perempuan. Desa ini agaknya aneh, lebih menonjol ketua kelompok tani yang perempuan dibandingkan ketua kelompok tani umumnya. Tentu saja anggotanya berisi para petani dari kalangan ibu-ibu.
"Enggak ada yang ketua kelompok tani umum ya, Ki?"
"Ada sih, tapi aku tahunya ibu ini. Enggak apa kan kita ambil dua-duanya aja biar lebih adil?"
"Ya semestinya begitu, Ki. Jangan sampai nanti jadi kecemburuan yang enggak jelas."
Eki hanya mengangguk mendengar perkataan Nona. Kurasa dia cocok jadi penasihat Pak Kordes. Aku seperti biasa hanya diam, sampai akhirnya masuk ke rumah ibu ketua kelompok tani perempuan.
"Mari mas dan mbak. Silahkan masuk dulu. Maaf ya, rumah saya apa adanya begini."
Apa adanya yang menurutku sudah mewah untuk ukuran orang di desa. Ruang tamunya saja melebar dan muat untuk kami orang enam belas. Rupanya ibu ini sudah menyiapkan semuanya, untuk jajanan dan minumannya baru saja mau disajikan. Beliau selalu membanggakan kopi khas dari desa ini.
"Tapi ini masalahnya, kami masih belum bisa bersaing dengan kopi kapitalis."
Apa itu sebuah merek? Oh, bukan! Ibu ini agaknya menyindir kopi buatan pabrik yang mengalahkan kopi asli dari mereka. Ibu yang memiliki nama Erlina ini, sudah berusaha membangkitkan semangat para ibu-ibu petani disini. Mereka punya kebun, tapi masih dipermainkan oleh para tengkulak.
"Jadi, karena banyak ibu-ibu disini yang butuh uang. Sebelum kopi itu masak, sudah dibeli oleh para tengkulak."
"Bahkan yang masih tergantung di pohon kopinya, Bu?"
"Iya, mbak. Ya, saya sudah berusaha bilang sama mereka. Jual sampai kopinya di sangrai. Tapi kalau sudah urusan uang, mau bagaimana lagi? Saya sendiri sama menjual ke tengkulak. Cuma sudah dalam bentuk biji kopi mentah. Jarang yang sudah masak."
Tentu saja tidak semuanya dijual! Ibu itu mengambil sedikit untuk stok kopi di rumahnya. Aroma kopi menyeruak dan seorang perempuan muda datang membawa enam belas gelas belimbing. Kopi yang masih mengeluarkan uap panas itu ada di teko besar.
"Aku dulu nih!"
"Aku dulu laah...! Apa sih kalian ini!"
"Sejak kapan lu suka kopi, Yori?"
"Aku mau coba sajalah. Kayak mana kopi desa ini."
"Kopinya masih banyak, tenang aja mas dan mbak. Nanti biar dibuatkan lagi."
"Ih, aku mau dong!"
"Cewek kok minum kopi!"
"Memang enggak boleh gitu ya, Jo!"
Aku pasrah saja, syukur deh kalau dapat. Enggak dapat minum teh ini aja. Tapi aroma kopinya menggoda. Ah, aku sebenarnya takut untuk minum kopi hitam. Lambungku tidak kuat menerimanya.
Yosi memberikan segelas kopi panas itu padaku. Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Astaga, ini panas sekali! Semoga saja tidak tumpah.
Ku icip sedikit dan ternyata rasanya manis. Eh, aneh sekali! Yosi yang sudah meminumnya duluan langsung menggelengkan kepala. Nona heran melihatnya.
"Kenapa, Yos?"
"Ini sih bukan kopi namanya?"
"Ya kopi lah! Tuh item warnanya."
"Kan ade Non yang warnanya item selain kopi gitu."
"Apa tuh, Jo?"
"Aer got!"
"Plak! Plok!"
"Aduh duh... kenape gue dikeplak sama si Nona sih?"
"Kau tu lah, Sojo! Sudah tahu Nona ini galak masih pula eeh...."
"Apa? Yori mau kena keplak juga!"
Kenapa aku jadi malah menonton mereka yang kena keplak si Nona ya. Ah, sudahlah! Aku mau fokus mendengar obrolan Pak Kordes dengan Ibu Erlina. Ternyata sudah sampai pembahasan kalau ibu ini minta ke kami untuk dibuatkan pelatihan tentang kopi.
"Wah, ini agaknya berat! Tapi...."
"Enggak ada yang dari jurusan pertanian atau kewirausahaan gitu ya mas?"
"Hanya sampai jurusan peternakan, Bu. Saya sendiri saja jurusan tata kota. Tapi, kami akan usahakan untuk kemajuan kopi di desa ini."
***
Rasanya kami masih lama di rumah Ibu Erlina. Berulang kali aku menguap dan Nuki memprotes karena tak sengaja aku membuka mulut lebar. Aku benar-benar bosan, bukan mengantuk sungguhan. Mana obrolannya sudah berganti jadi politik. Duh, ibu itu juga sudah tak ada dan yang ada di hadapan kami malah seorang bapak tua. Beliau bapaknya Bu Erlina sekaligus dianggap sesepuh oleh orang di desa ini.
"Ayo mas dan mbak. Gorengannya sudah matang ini."
"Wah, iya makasih bu. Maaf sudah merepotkan."
"Enggak apa, saya malah seneng kalau di rumah ini rame. Kopinya kurang?"
"Tambah lagi dong, Bu."
"SOJOOO...!"
"Issh... nape sih? Ibu ini kan nawarin mau nambah kopi ape enggak. Ya mau dong!"
Nona sudah pusing melihat tingkah Sojo. Sementara Yori hanya menepuk jidatnya sambil berkata "alamaak...!". Tersangkanya sendiri alias Sojo malah nyengir. Ibu tadi menyuruh anak gadisnya keluar dari dalam ruangan. Lalu meminta untuk dibuatkan kopi lagi.
"Ibuuuu...!"
"Ealah nopo, Nang? Rene karo ibu. Kae lho ono mas-mas karo mbak KKN." (Ealah ada apa, Nang? Kesini sama ibu. Itu lho ada mas-mas sama mbak KKN)
Nang, begitulah orang Jawa kalau memanggil anak laki-lakinya. Anak itu bergelayut manja di badan ibunya. Tangan kirinya memegang erat mainan robot. Tiba-tiba dia berbisik ke telinga ibunya, entah apa yang dia bisikkan.
"Kenapa Bu adeknya?"
"Ooh... biasa ini si Fariz anak saya suka begitu mas Eki."
Anak itu tertawa sendiri usai membisiki sesuatu ke telinga ibunya. Obrolan sudah bergeser bukan lagi ke arah kopi. Ibu Erlina bercerita dengan bangga tentang anaknya yang dianggap linuwih atau memiliki kelebihan.
"Sudah sejak dulu ya, Bu."
"Iya, Mas Eki. Yaah... kata orang di desa ini dia ada yang menjaga. Masih dari jalur leluhur saya."
"Kalau di kota kami kenalnya anak Indigo, Bu. Adeknya bisa lihat makhluk gaib juga kan?"
"Begitulah mbak. Dia suka lihat makhluk yang aneh-aneh. Tapi berani ceritanya sama saya. Sama Mbah Kakung atau Kakeknya apalagi sama Mbaknya aja enggak mau dia. Apa lagi sih, Nang?"
Kembali anak laki-laki itu membisikkan sesuatu di telinga ibunya. Ibu dan anak ini seperti asik di dunianya sendiri. Lalu tertawa lagi anak ini dan bermain dengan robot yang dipegangnya.
"Katanya dia lihat sesuatu lagi, ya saya bilang jangan diperhatikan. Sudah biarin aja!"
Agaknya teman-teman tertawa terpaksa mendengar penuturan ibu itu. Sedangkan aku hanya nyengir saja. Huh! Anak Indigo? Bahkan aku yang "Gifted" saja tak pernah mau untuk diceritakan. Kecuali terpaksa untuk bercerita. Entah, aku bisa menyimpan rapat rahasia ini dengan teman-teman atau pada akhirnya bocor?
"Dita, ayo cepat pergi!"
"Iya, kami tidak tahan!"
Maria dan Mery sudah berteriak dan badanku rasanya tertarik untuk keluar dari rumah ini. Duh, kenapa lagi sih sama duo Noni Belanda ini. Aku jadi enggak enak dong kalau tiba-tiba pergi minimalnya ke teras saja.
"Kalian berdua ya! Cerewet sekali!"
"Kamu tidak tahu apa yang ada pada anak laki-laki itu."
"Hei, aku dalam mode normal nih! Mana bisa lihat?"
"Aku dan Mery akan tempelkan tangan ke pundakmu. Tapi jangan kaget ya! Kami tidak tahan dengan energi yang ada pada anak itu."
"Ya sudah! Cepat ya!"
Terasa tangan mereka saat menyentuh pundakku. Tiba-tiba aku melihat dua sosok seperti jawara bela diri. Ada dua sosok itu, satu yang berbaju serba putih dan satunya yang berbaju serba hitam. Aku sampai menunduk untuk tidak melihat yang berbaju serba hitam. Tatapannya tajam sekali.
"Sudah, cukup! Hentikan Maria! Mery juga!"
Aku tak lagi melihat dua sosok itu. Setidaknya sudah bisa bernapas lega. Kulihat Yosi pergi keluar, kurasa itu bisa jadi alasanku juga untuk sekedar cari udara segar misalnya.
"Jangan dilihat lagi sosok yang itu!"
"Iya, Kakek. Ini sudah diluar kok."
"Eh, ngapain Dit ikutan keluar juga? Aku mau ngerokok nih."
"Mau cari udara segar! Enggak boleh?"
"Udaranya udah terkontaminasi sama asap rokok nih."
"Terserah kamu deh! Disini juga enggak kok."
Udara segini banyak, asap rokok Yosi juga arahnya kemana? Sementara aku menghadap ke kanan. Jelas banget enggak kena.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (104)

  • avatar
    Jelian Thurston Urap

    jelian

    15/08

      0
  • avatar
    KuswandiFauzan

    seru

    12/08

      0
  • avatar
    Rehann Rena

    🅑🅐🅖🅤🅢

    01/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด