logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Kisah Ketiga : Kita Berangkat Lagi

Aduh, kakiku terasa masih aneh! Berulang kali mata ini melihat ke bawah. Badan terasa lemas dan saat berjalan pun agak aku paksakan. Mimpi semalam terasa nyata bagiku! Sebenarnya apa sih hubunganku dengan para siluman itu?
"Jangan kau pikirkan lagi!"
"Iya, Kakek."
"Eh, ngomong lu Dit?"
"Enggak, kumur-kumur nih!"
"Perasaan tadi gue denger lu ngomong sih."
"Ah, cuma perasaanmu aja Jo!"
"Itu apa Dit? Kamu bawa air segitu banyak buat apa?"
"Oh, ini ya! Nanti kalian tahu deh."
Maaf, lagi malas untuk menjelaskan pada mereka. Aku tahu mereka penasaran karena perjalanan akan terasa cepat dengan menaiki sepeda motor dan seharusnya bawa air minum ukuran setengah liter saja sudah cukup. Tapi ini kan air yang sudah kubacakan ayat kursi.
"Nona, hari ini mau naik sepeda motor sendiri?"
"Enggak, Ki. Aku sama Habib aja."
"Uhuhu...padahal aku mau lho sama Habib, dia kan ganteng."
"Ceilee Nukii...! Mau tukeran apa gimana?"
"Enggak jadi! Aku sama Sojo aja."
"Awas, nanti kamu menyesal! Sebelum kite berangkat nih, Nuk."
Orang yang lagi dibicarakan malah diam saja. Bahkan nampak cool gitu deh ya. Baru dia buka suara kalau sebenarnya sudah punya pacar. Sayangnya, pacarnya jauh tempat KKN-nya dari desa tempat kami berada nanti.
"Ah, lupakan pacarmu! Disini banyak cewek lho, Bib!"
"Ih, pemaksaan lu Nuki. Gimane kalau Habib kagak mauuu?"
Haah... Nuki memang gitu orangnya. Hilang tomboynya saat ketemu orang yang sekiranya dia sukai. Tapi aku paham sih, dia hanya melakukan itu untuk bercandaan saja.
***
Ketika melewati satu area, aku merasakan kejanggalan. Bukan masalah hawa dinginnya. Aku sudah berusaha membiasakan diri. Apalagi besok saat kegiatan KKN dimulai pasti lebih terasa lagi. Tempat ini berbeda, seperti aku baru saja menembus dimensi lain.
"Dit, ngomong dong!"
"Lah, Ridhwan bisa ngomong juga rupanya?"
"Huh! Ngejek ya kamu, Dit! Memangnya aku ini patung."
Dibalik sifat alimnya, sebenarnya Ridhwan ini gaul. Meski ya tidak se-bebas teman-teman lainnya. Dia sangat menjaga sikap dengan perempuan. Saat mengobrol di jalan rasanya kurang nyaman, apalagi ketika melewati tempat itu.
"Nanti aja lagi, Wan. Enggak enak ngomong sambil kamu nyetir. Teriak terus suaraku abis nanti."
"Oke, santai Dit."
Bukan masalah teriak-teriaknya. Ridhwan ini rupanya butuh ada yang ngomong di belakang supaya dia konsentrasi. Kata dia, sering saat naik sepeda motor konsentrasinya jadi hilang. Kalau ada yang mengajaknya ngobrol malah justru dia bisa fokus. Aneh ya si Ridhwan ini!
Aku hanya bisa diam saat melewati jalan ini. Sekilas ini hanya desa biasa dengan beberapa rumahnya yang diberi jarak. Jalannya pun juga sudah diberi aspal. Bagi yang sensitif sepertiku, tentu pandangannya berbeda. Sekilas tempat ini ramai bahkan nampak seperti pasar. Hal yang buatku kaget saat ada yang menyebrang dan sepertinya itu anak kecil.
"Ridhwan! Awaaas...!"
"Apa sih Dit? Kamu kenapa?"
"Ngawur kamu! Tadi ada anak kecil nyaris mau ketabrak motor kita."
"Kamu jangan mengada-ada, Dit! Disini yang lewat cuma kita sama anak-anak satu tim."
Hah? Tapi saat kulihat kebelakang sekilas ada anak kecil yang mau menyebrang tadi. Telinganya sudah dijewer oleh perempuan yang mungkin itu ibunya. Tuhaaan... kenapa aku harus bisa melihat ini semua.
***
Sesuatu yang nyata saja sudah buatku pusing. Apalagi sesuatu yang tak kasat mata. Kami akhirnya berhenti di rumah Pak Kades. Istrinya menyambut kami dengan ramah, bahkan minuman yang baru saja matang airnya itu langsung disajikan pada kami.
"Kopi?"
"Oh, kalau mbaknya enggak suka kopi ibu bikinkan teh. Ada di teko itu."
"Terima kasih, Bu."
"Iya, sama-sama. Anggap saja rumah sendiri mbak, mas."
Saat sang tuan rumah sedang masuk ke dalam, kelakuan para laki-laki disini langsung berubah. Yosi harus berebut jajanan pasar dengan Sojo. Katanya dia belum sarapan dari berangkat tadi. Alasan klasik anak kos, belum dapat kiriman duit orang tua. Termasuk Ayung yang kelihatannya pendiam, tapi ternyata....
"Aku meh ngopi sek aaah...!" (Aku mau ngopi dulu aaah...!)
"Aku duluan, Ayung. Aduuh... nanti tumpah ini kopinya!"
Benar kan kopinya tumpah sedikit gara-gara mereka berebut. Nona hanya bisa menepuk jidatnya melihat kelakuan mereka. Sungguh memalukan dan memilukan!
"Haah... enggak bisa bayangin kita tiga puluh lima hari bersama mereka."
"Sabar, Nona. Kamu harus tabah ya!"
"Iya, Nuk. Aku selalu sabar nih sampe bosen."
Sikap mereka kembali normal saat anak Pak Kades yang masih gadis datang membawa gorengan. Ia terkejut melihat bekas kopi tumpah di meja dan lantai rumahnya.
"Saya ambilkan lap dulu ya mas, mbak."
"Eeh... enggak usah dek!"
"Tuh kan, Ayung! Ngapain sih pake acara rebutan kopi sama Eki. Bapak Kordes kok enggak bisa kasih contoh yang baik."
"Goro-goro kowe kan, Pak. Aku diseneni iki!" (Gara-gara kamu kan, Pak. Aku dimarahi nih!")
"Lah kok aku sih, kamu yang mulai duluan."
"SUDAH DEH BERHENTI DOONG!"
Nuki mengeluarkan jurus teriaknya yang membuat semua cowok mematung seketika. Dia tiba-tiba menutup mulutnya dan nampak malu. Gorden pembatas ruangan itu tersibak, Pak Kades pun keluar sambil membawa satu buku besar.
"Mas dan Mbak ada perwakilan atau siapa bisa isi dulu di buku tamu ini. Saya memang mewajibkan termasuk anak yang mau KKN harus isi di buku kedatangan. Fungsinya nanti supaya warga tahu kalau ada yang datang dari luar desa."
"Ekiii...!"
"Iya, enggak perlu teriak kenapa? Saya selaku Koordinator Desa atau ketua kelompoknya, Pak."
"Oh, Monggo mas. Silahkan diisi nama sama tanda tangan ya."
"Pak, mohon maaf sebelumnya. Kami kan tidak semua bisa bahasa jawa jadi mohon maaf kalau pakai bahasa indonesia. Tolong jangan diketawain kalau kami juga tidak tahu dan tanya bahasa indonesianya apa."
"Masnya bukan orang jawa ya?"
"Bukan Pak, saya asli Kota J."
"Iya, tidak apa mas. Saya juga membiasakan diri dengan bahasa indonesia. Hanya dengan perangkat desa saja yang memakai bahasa jawa halus."
Benar juga apa kata Sojo! Memang perlu seperti ini kalau kita tidak bisa bahasa jawa. Apalagi bahasa jawa halus. Pak Kades juga mengatakan kalau nantinya tempat menginap cewek dan cowok dipisah. Supaya tidak terjadi keributan, karena warga disini sangat sensitif sekali.
"Wah, enggak apa Pak! Kita bisa kesana sekarang?"
"Ya, mari saya antar."
Pak Kades sama sekali enggak mau pakai motor. Beliau lebih suka jalan biasa, lebih sehat katanya. Padahal Eki selalu menawarkan untuk dibonceng dengan motornya. Kami melewati jalan yang hanya bisa dilalui oleh satu motor saja. Sedangkan mobil pick up yang mengangkut barang bawaan kami lewat jalan lainnya.
Pak Kades menuju ke satu rumah yang disebutnya saudara jauh. Beliau meminta kunci untuk rumah disebelahnya. Memang ada rumah kosong yang terdiri dari tiga kamar tidur, satu kamar mandi, ruang makan, ruang tamu dan ruang utama.
"Bagaimana mas? Saya rencananya mau menempatkan mas-masnya disini. Kalau yang mbak-mbaknya di rumah Bu Sobari saja ya."
"Ya, ini luas juga. Kita bisa rapat disini saja ya."
"Iya, Ki. Enggak masalah!"
"Mari untuk mbak-mbaknya kita ke rumah Bu Sobari."
Sementara para laki-laki sibuk menurunkan barang mereka, kami yang perempuan menuju ke satu rumah lain. Disana seorang ibu tua berjilbab nampak menyambut kami didepan rumah dengan ramah.
"Bu, kulo nitip mbak-mbak e KKN teng mriki njeh." (Bu, saya nitip mbak-mbaknya KKN disini ya.)
"Njeh, Pak. Mpun, mbak-mbak e tak anggep lare nipun kulo." (Iya, Pak. Sudah, mbak-mbaknya saya anggap seperti anak sendiri)
"Bu, artinya apa tadi?"
"Oh, mbaknya enggak bisa bahasa jawa?"
"Saya bukan orang jawa, Bu. Saya asli Kota J."
"Terus Kota J itu enggak nempel di pulau Jawa gitu, May?"
"Yaaa enggak gitu juga kali, Put. Aelah... masak sama ibunya aku mau bilang lu dan gue."
Si bumil ini ketawa aja. Sepertinya dia sukses mengerjai Maya. Ibu pemilik rumah ikut tertawa juga. Beliau langsung meminta kami masuk. Kebetulan pas mobil Pickup itu berhenti di rumah ibu ini. Kami langsung menurunkan barang-barang milik kami.
"Ibu sudah siapkan kamar ini sama kamar sebelah. Tapi ibu baru tahu kalau kalian ternyata ada banyak. Wah, bagaimana ya?"
"Ruang tamu sering dipakai enggak bu?"
"Jarang mbak, apa mau dipakai buat mbak-mbaknya tidur?"
"Iya, bu. Kita pindahkan kemana ya kursinya?"
"Ke rumah yang bawah saja, mbak."
"Lho jadi rumah yang itu...."
"Iya, itu rumah saya juga. Apa perlu panggil temen mbak-mbaknya yang laki-laki?"
"Panggilin si Asep sama Sonar tuh. Suruh angkat kursi ke bawah."
"Ah, jangan dong! Enggak enak sama Mas Sonar."
"Yaudah Asep sama siapa kek lainnya."
Akhirnya kami jadi merombak total rumah ibu ini. Tuan rumahnya tidak keberatan. Selesai semuanya, sekarang giliranku. Aku membawa botol berisi air yang sudah kubacakan ayat kursi itu. Media ini kugunakan sebagai pagar gaib agar tidak ada makhluk tak kasat mata yang mengganggu. Tapi sepertinya Maya penasaran, dia mengikutiku dengan Nona dibelakangnya.
"Ngapain sih, Dita?"
"Enggak apa. Ini buat perlindungan aja."
"Ooh maksudnya dari makhluk itu ya, Dit."
"Iya, May. Ya, kita tahu sendiri lah."
"Huh! Penting kita berdoa saja kan sudah cukup. Enggak usah aneh-aneh!"
Nada bicara Nona ketus sekali. Maya berusaha membelaku meski tidak berpengaruh juga. Memang dia berasal dari Kota J, tapi untuk urusan mistis masih percaya. Tidak semua orang di kota asalnya berpikir secara logika.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (104)

  • avatar
    Jelian Thurston Urap

    jelian

    15/08

      0
  • avatar
    KuswandiFauzan

    seru

    12/08

      0
  • avatar
    Rehann Rena

    🅑🅐🅖🅤🅢

    01/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด