logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

3. SETANGKUP ROTI COKLAT

"Iori...Iori...iori--IORI...!"
"IORI!!"
Wanita itu terbangun dengan peluh membasahi badan, pakaian tipis yang ia kenakan bahkan ikut basah oleh keringat bermanik-manik yang terlihat terus mengucur dari pori-pori kulitnya yang kasar.
"Hah! Hah! Hah!"
Nafasnya tersengal untuk mimpi yang meninggalkan perasaan sesak juga kerinduan yang hanya bisa ia pendam.
Mata bermanik biru yang terbuka lebar itu, langsung menatapi ruangan kecil yang bahkan tak memiliki pendingin ruangan kecuali kipas angin yang hanya membuat ruangan kecil tanpa jendela semakin panas, pengap, menyesakkan.
Ruangan panas yang harus ia sukuri karena musim dingin sedang berlangsung.
Sampai ia memejamkan mata, mengatur nafasnya yang naik turun seolah baru saja berlari jarak jauh tanpa jeda. Ke masa lalu yang tidak mungkin kembali ia selami.
Aroma ruangan yang penuh dengan kardus dan koper juga kasur keras yang sedang tubuhnya tiduri, membuat wanita itu menyadari, ia tak lagi ada di ruangan nyaman dengan ranjang lebar nan empuk, harum dan penuh udara segar juga wangi lavender yang begitu ia rindukan. Tempat jauh yang rasanya bisa ia sentuh setiap kali memejamkan mata karena hanya itu yang bisa ia lakukan kini.
Mengenang masa di mana ia memiliki kehidupan tanpa harus mengenal apa arti hidup sesungguhnya.
"Kakak-" ucap Cyntia menelan lagi kalimat yang ingin ia ucapkan, menekan kerinduan yang tak pantas ia dambakan. Sekalipun matanya yang lelah bergetar dengan airmata yang tidak boleh ia keluarkan.
Cklek!
Suara pintu yang dibuka membuat wanita mungil dengan rambut yang selalu kusut tak lagi tersentuh tangan-tangan pekerja salon itu menoleh. Bibirnya yang kering menyunggingkan senyum tanpa syarat untuk kepala kecil yang melongok ke dalam. Mengintip dengan pandangan polos manik birunya yang membuat senyum Cyntia semakin lebar, lalu bangun dari kasur keras yang begitu dihafal tubuhnya yang tidak lagi terawat kecuali sabun dan shampo.
Kasur tempatnya mengistirahatkan segala kelelahan yang tubuhnya rasakan ikut bergoyang saat ia duduk.
"Mommy?" Panggil pelan bocah lelaki yang bahkan harus berjinjit setiap kali ia membuka pintu lalu melongokan kepala kecilnya. Mata biru jernihnya melebar, mendapati sang mommy sudah bangun dari tidur yang hanya sesaat.
"Mommy, eng-" ragu, bocah yang bahkan belum berusia 4 tahun itu menggigit bibir merahnya yang basah, lalu memperlihatkan senyum pada wanita yang menyuruhnya masuk dengan gerakan tangan.
"Kemarilah, Rei."
"Ng!" Jawab Rei mengangguk disertai senyum lebar bersama langkah-langkah kaki kecilnya memijaki ubin yang dingin.
Senyum lebar itu, sungguh obat bagi segala kesusahan yang rasanya tak ingin menjauh dari kehidupan Cyntia kini. Senyum lebar dari bocah lelaki yang rambut halusnya berayun ketika kaki kecilnya berlari mendekat pada sang mommy yang badannya begitu tak terawat. Bibir kering, mata lelah, tangan kasar, pakaian seadanya.
Namun, pelukan sang mommy selalu hangat, menenangkan, juga aman bagi bocah lelaki yang akhirnya merasakan dekapan hangat setelah menunggu jarum panjang mendekati 5 titik di depannya.
Hal yang selalu bocah itu lakukan, setiap saat ketika penghuni rumah tak ada. Hanya meninggalkan dirinya dan sang mommy yang selalu kelelahan tapi, tangan dan kaki mommy terus saja bergerak. Entah, itu karena ucapan sang oma, atau sang daddy, ataupun wanita yang datang dan tidur dengan daddynya setiap malam, atau tantenya yang selalu bersikap tak baik pada mommy.
Opa? Hmm ... Opa tak kasar pada mommy tapi, Mommy terlihat tak ingin didekati opa yang sekali waktu membuat tanda biru di tubuh kecilnya dengan alasan yang terkadang tidak ia ketahui.
"Mommy bangun, aku belum datang," ucap Rei dalam pelukan Cyntia yang mengusapi kepala berambut halus yang matanya mendongak, menatapi sang mommy yang senyumnya begitu membuatnya merasa nyaman.
"It's true, Darling," jawab wanita mungil yang bahkan kecupan bibir keringnya membuat pipi Rei kegelian, sampai bunyi perut yang protes ingin diisi terdengar.
"Apa anak mommy sudah lapar?" Ucap Cyntia.
Pertanyaan sederhana itu, membuat Rei diam beberapa lama lalu menggeleng meski perut kecilnya kembali protes dengan suara yang lebih besar. KRUYUUK!
"Ow, to bad than. Karena Mommy juga lapar sekali."
Ucapan sang mommy membuat mata Rei berbinar begitu terang. Meski, saat mata bulat nan jernih itu menatap ke luar, mata birunya kembali menunjukan keraguan sampai sang mommy menyentuh pipi Rei agar menatapnya, "it's ok, Darling. Mommy menyimpan roti untuk kita berdua di dapur."
"Tapi-" ragu bocah lelaki kecil ini berucap.
Rei menelan kembali kalimatnya lalu menggigit bibir merah kecil nan basahnya itu, membuat wanita yang memeluknya erat mengenyahkan rasa menusuk yang begitu ia hafal dalam hati lalu tersenyum meyakinkan sang putra yang seharusnya tidak memikirkan apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
Bahkan pikiran itu tak seharusnya ada, tidak seharusnya ada!
'I am so sorry, Rei. I am so sorry,' batin Cyntia mengusap pipi Rei lalu menunjukkan senyum meski matanya menyimpan kesedihan.
"Let's go, atau roti kita bisa dimakan semut," ajak Cyntia berdiri dengan terus menggendong Rei yang tertawa karena perut kecilnya yang kembali protes, digelitiki tangan kasar Cyntia yang terasa begitu hangat dan menenangkan.
"Makan pelan-pelan, Rei," kata Cyntia, mengingatkan bocah kecil yang duduk di atas lantai dingin yang dihafal bokong kecil Rei.
"Eng!" jawab Rei dengan mulut penuh roti tawar berisi selai coklat yang belepotan di bibir dan pinggiran mulut. Dengan cekatan, Cyntia mengusap coklat itu dengan ibu jari lalu dijilatnya.
"Yummy isn't it?" tanya wanita mungil yang membuat Rei mengangguk, lalu menelan rotinya cepat, "kenapa Mommy tidak makan juga?"
Cyntia tersenyum lalu mengecup pipi putranya begitu gemas, "Mommy, sudah kenyang melihatmu makan, Darling."
Mendengar itu, Rei jadi diam. Ia menatap roti dii tangan kecilnya yang baru dua kali ia gigit, kelopak matanya yang rambutnya panjang-panjang, menunduk.
"Tapi-- tapi, Rei tidak kenyang saat liat daddy, oma, opa, tante Catlyn, dan tante itu makan, Mommy."
Ucapan Rei membuat Cyntia diam beberapa saat, sampai panggilan Rei membuatnya sadar dari bayangan meja makan yang kursinya diduduki orang-orang yang ia anggap keluarga namun tidak merasakan hal yang sama dengan dirinya.
"Mommy?"
Mata bulat nan jernih Rei menatapinya. Rasanya, ia tak mampu menjawab dan hanya bisa mengulurkan tangan untuk mendekap tubuh kecil yang membuatnya bertahan dalam rumah yang begitu ramai saat semua berkumpul. Keramaian yang membuat Cyntia benar-benar merasa sendiri jika tidak ada Rei disampingnya.
Sekuat hati Cyntia menahan rasa sesaknya untuk tak nampak saat wajahnya menatapi wajah Rei dan senyum ia ciptakan meski matanya tergenang.
Tin...Tin! Tin...Tin!
Tak sabar suara klakson itu terdengar, membuat wajah Rei berubah kaku, panik menatap sang mommy juga roti di tangan kecilnya.
"Mommy, daddy ... pulang?" Ucap Rei yang manik biru bulatnya menunjukan ketakutan.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (63)

  • avatar
    WarningsihPuji

    24569

    3d

      0
  • avatar
    EfendiErpan

    novel gratis download

    19/08

      0
  • avatar
    Ayu Setia Ningsih

    SERU

    18/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด