logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 3

“Tuhan akan murka jika kau menolaknya!” kata ibunya sambil menampar kedua pipi Vivian dengan keras.
“Terima saja takdirmu, Tuhan memang mencintaimu lebih dari apapun!” ujar ayahnya yang kemudian mendorongnya dari lantai atas.
Tubuh Vivian terjun bebas. Seperti scene film yang dipercepat, tiba-tiba saja ia terbaring di sebuah ranjang yang tak asing baginya. Tubuhnya diikat dengan sabuk karet yang kuat. Kemudian dari balik kegelapan ia melihat dua orang dengan jubah gelap menghampirinya. Mereka mengeluarkan pisau dan mulai mengukir tubuhnya.
Vivian mencoba untuk berteriak tapi gagal. Dari dalam kepalanya ia bisa mendengar orang- orang yang melantukan do'a.
“Kyaaaa!!!”
.
Vivian terbangun dari tidurnya seketika. Kepalanya pening, jantungnya berdebar
kencang, pandangannya mulai buram, lalu ia bisa merasakan napasnya mulai sesak.
Dengan tubuh lemah tak berdaya ia mencoba untuk turun dari ranjangnya dan mengambil obatnya, tangannya tak berhenti gemetaran sehingga membuat botol
obatnya terjatuh.
Vivian meraup obatnya yang ada di lantai dan meminumnya sekaligus. Kemudian, ia duduk bersandar ranjang mencoba untuk menenangkan dirinya.
***
Pagi itu Vivian berjalan dengan tubuh lemas. Hari ini ia harus menghadiri kelas pagi. Tapi, tiba - tiba saja ia merasakan hal yang aneh, Vivian menghentikan langkahnya.
Vivian melirik ke arah sekitarnya, seluruh mahasiswa di jurusannya menatap ke arahnya. Bahkan saat Vivian berjalan ke arah lokernya untuk mengambil buku, ia bisa mendengar beberapa orang berbisik-bisik mengenai dirinya.
“Dia yang mencelakai Dewi Kathryn? Wah, parah, sih.”
“Sayang banget padahal penampilannya kalem gitu.”
“Kau tahu rumor mengenai dirinya? Dia bisa berbicara dengan hantu.”
“Awas, jangan macam-macam sama dia, nanti disantet bisa mati kau.”
“Dia bermain-main dengan perdukunan, begitu maksudmu? Wah, gila. Zaman teknologi sudah maju, eeh, si Vivian masih mikirin perdukunan.”
“Sstt! Dia datang!”
Kira-kira begitulah seluruh teman-temannya bergosip mengenai dirinya. Vivian kemudian duduk di kursinya dan mencoba untuk menutup telinganya dengan earphone.
“Hei, penyihir!” Dua orang perempuan yang merupakan teman Kathryn datang ke kelasnya. Helen, si berambut pirang itu menendang kursi di sebelah Vivian. Sontak hal itu membuat seisi kelas heboh.
“Setelah kau mencelakai Kathryn, masih berani juga kau masuk kuliah? Tahu arti malu, gak?” ujar Helen.
“Gara-gara kau, kepalanya harus dijahit sebanyak sepuluh jahitan! Kakinya juga patah! Di mana rasa bersalahmu?” ujar Sarah, teman Kathryn yang satunya.
“At least, kasih respect ke Kathryn, kek. Minta maaf gitu!”
Sarah menendang meja Kathryn dan menginjak ponselnya. Ia terlihat sangat marah. “Bisa gak, sih, kalau iri sama orang itu dipendam aja gitu? Memang lucu bikin orang lain masuk rumah sakit? Kalau iri bilang aja, apa susahnya, sih?”
“Hei, kalian semua! Dia ini sangat berbahaya, jangan pernah berteman dengannya! Kathryn yang tidak mengenalnya saja jadi korbannya, apalagi jika kalian mendekatinya nanti.”
“Ya. Kalian harus berhati-hati! Dia bisa saja membunuh kaliah tanpa menyentuh.”
Helen kemudian mendekati Vivian dan mengangkat muka Vivian mencoba untuk
mengintimidasinya. “By the way, kau dapat pesan dari Kathryn, dia bilang dia gak bakalan membuatmu mati dengan cepat, jadi nikmati penyiksaan dari kami, jangan mati dulu, ya.” Bisik Helen di telinga Vivian.
Vivian menghela napasnya. “Sudah selesai?” tanya Vivian tenang.
“Apa?”
“Apa kau sudah menyelesaikan tugasmu?” tanya Vivian. “Memprovokasi teman-teman dan menggiring opini mengenai diriku. Apa kau sudah selesai?”
“Kau itu sudah salah masih saja mengelak.” Desis Sarah sembari memukul kepala Vivian dari belakang.
Vivian menghela napasnya. Dengan tenang ia merapikan rambutnya. “Bagaimana? Apakah aku masih belum terlihat buruk di mata kalian?” tanyanya. “Ataukah aku semakin terlihat baik sampai-sampai kalian melakukan hal ini kepadaku?”
Tidak terima dengan respons ketenangan Vivian, Helen langsung menendang kursi Vivian dan kemudian menjambak rambunya.
“Dasar psikopat!” Ia membawa Vivian ke depan kelas. Ia lalu menampar wajah Vivian berkali-kali. “Kami lebih senang jika kau masuk ke neraka!” hardik Helen.
Namun, pada pukulan Helen yang terakhir, Vivian mampu menahan tangan Helen.
Ditatapnya Helen dengan tajam, ia lalu mendorong Helen hingga terjatuh. Vivian
membanting ponsel yang dipegang oleh Sarah untuk merekam.
“Aku sudah lama hidup di neraka!” Teriak Vivian.
Teriakan Vivian membuat seluruh penonton dan dua orang yang membullynya terkejut. Dari sejarah mereka melihat Vivian, tidak pernah sekalipun mereka melihat Vivian sekesal ini. Beberepa dari mereka terlihat takut melihat ekspresi Vivian.
“Vivian!” panggil Asher dari arah pintu masuk kelas. Ia langsung mengecek tubuh Vivian, memastikan luka yang diterima oleh Vivian. “Apa kau terluka?"
Vivian membuang mukanya, berharap agar luka memerah pada pipinya bisa disembunyikan oleh rambut panjangnya.
Asher memegang dagu Vivian dengan lembut dan mengangkatnya perlahan-lahan. Mata Asher membelalak lebar, pipi Vivian membengkak lalu ujung bibir sebelah kanannya mengeluarkan darah. Asher mengepalkan tangannya, ia juga menggertakan giginya.
“Hei, kalian semua! Jangan ada yang macam-macam dengan Vivian, Vivian itu milik
kami! Sampai Kathryn datang tidak ada yang boleh menyiksanya selain kami!” teriak
Sarah memperingati seluruh orang.
Helen berdiri dari duduknya. “Ingat, ya, Vivian! Begitu Kathryn keluar dari rumah sakit, kau bakalan berurusan dengannya!”
“Akan kami pastikan kau dikeluarkan dari kampus ini!” Ancam Sarah yang kemudian saat ia membalikan badannya ia melihat Asher yang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan amarah. Sarah terkejut.
“Lakukan apa saja yang ingin kalian lakukan.” kata Asher dengan tajam. “Silahkan lakukan. Aku akan melindungi Vivian.”
“Apa?!”
Seluruh orang yang menyaksikan hal itu langsung menahan napasnya. Tidak ada yang mengira jika Asher akan mengatakan hal itu.
Vivian memutar bola matanya. Dih, mengapa juga Asher harus sok jadi pahlawan? pikirnya jengkel.
Ya, ampun, besok pasti akan keluar rumor baru mengenai dirinya dan Asher.
***
“Eits, mau ngapain?” Vivian mundur perlahan-lahan.
“Mengobatimu, apalagi coba?”
Setelah kerjadian itu, Asher menarik Vivian keluar dari ruang kelasnya. Ia memaksa Vivian untuk tidak mengikuti kelas pagi dan membawanya ke apotek terdekat di kampus.
Vivian meringis kesakitan.
“Kau itu kalau dibully, jangan diam aja, dong.” kata Asher. “Kau harus fight gitu buat dirimu sendiri. Masa dipukul diam aja, nerima-nerima aja. Ujung-ujungnya kau terluka begini. Bantah aja ucapan mereka, jangan diam aja. Duh! Kesal sendiri aku
jadinya.”
Vivian melongo. “Kau sedang mengomel?”
“Aku kesal. Ngapain, sih, diam aja? Minta bantuan, kek. Nangis atau mungkin nyerang balik gitu. Pukul balik, jambak balik, sumpahin balik. Orang kayak gitu gak bakalan kapok kalau kau diam saja, Vii.”
“Terus, apa bedanya aku sama mereka?” Gumam Vivian. “Di mata hukum, kalau aku serang balik aku tetap saja salah. Tidak ada yang namanya menyerang balik untuk melindungi diri, aku tetap akan dihukum karena melukai mereka serta membuat orang-orang semakin resah.”
Asher terdiam. Meskipun umur Vivian dua tahun lebih muda darinya, ia tidak menyangka jika Vivian bisa berpikiran logis seperti itu.
Dilihatnya Vivian yang terus-terusan meringis kesakitan. Di sisi lain ia memerhantikan Vivian, ia baru menyadari mata emas Vivian yang selalu terlihat sayu.
“Aku khawatir tau.” Gumam Asher hampir tidak terdengar.
“Hah?”
“Jangan nguping waktu aku lagi gumam, ya, Bun.” Gerutu Asher sembari menekan luka Vivian dengan sebal.
Ada keheningan selama beberapa menit saat Asher mengoles luka Vivian dengan salep. Setelah selesai Vivian masih meringis dan menempeli pipinya dengan kaleng soda yang dingin.
“Oh, iya, Asher. Aku lupa sesuatu.” kata Vivian setelah ia mendapatkan ilham entah dari masa asalnya.
“Hah?” Asher membeku dan mulutnya menganga. “Bisa kau ulang lagi?”
Vivian bingung. “Aku lupa sesuatu?”
“Yang satunya. Sebelum itu.”
“Oh, iya?”
“Setelahnya.”
“Asher?”
Asher memegangi dadanya. “Akhirnya kau memanggil namaku.”
Asher menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca seolah-olah ia terharu dengan kemajuan yang telah dibuat oleh Vivian. Setelah beberapa minggu berteman, baru kali ini Vivian menyebut namanya. Apalagi Vivian menyebutnya dengan nada yang cukup manis.
Dia sudah gila. pikir Vivian.
Vivian menghela napasnya. “Aku tadi mau ngomong, mengenai cewek yang minta id
chat pribadimu--”
Ting!
Belum sempat Vivian selesai berbicara, tiba-tiba saja sebuah pesan masuk ke ponsel Asher. Asher memintanya untuk menghentikan pembicaraan mereka dan membuka ponselnya.
Ada keheningan sejenak sebelum Asher berkata. “Kau sudah baca chat grup?”
“Belum.”
“Coba lihat.” Asher mendekatkan dirinya ke arah Vivian. Ia lalu menunjukan pesan-pesan yang dikirimkan oleh teman-teman seangkatannya. “Mereka mengirimkan link.”
Asher mengklik link yang dikirimkan oleh salah seorang temannya. Link itu kemudian menuju ke timeline kampus yang terdapat di aplikasi kampus.
Mereka bisa melihat seseorang dengan akun anonim mengupload sebuah video. Judul
video itu adalah ‘#vivianautis membuat #dewikathryn turun keperingat ke delapan. Ini
yang dilakukan sang Dewi’
Asher mengklik tombol play.
“Mengapa namamu menjadi trending topik di aplikasi kampus?”
Vivian membelalakan matanya. Ia mengenali suaranya.
“Kalau kau tidak tahu, lalu mengapa kau sampai trending? Apa kau sedang macam-macam denganku?”
“Sesuai dengan arahan dari anak buahmu, aku selalu diam, Kath-hmph!!”
“Jangan sebut namaku dari mulut kotormu itu!”
Vivian merebut ponsel Asher. Ia meneliti video itu dengan saksama. Video amatir itu direkam diam-diam. Di dalam video itu adalah rekaman di saat ia sedang dilabrak oleh Kathryn, Sarah dan Helen.
“Hei, kau itu sudah jelek, masih coba pakai susuk, terus bermain dukun biar si Asher nempel-nempel. Sebenarnya apa, sih, yang kau cari, Vii? Kita itu sudah berbaik hati membiakan kamu kuliah di sini, lho."
“Eh, apa yang kau pakai biar teman-teman bersimpati kepadamu? Kau pakek dukun
lagi, ya?”
Dalam video itu terlihat jelas bahwa Kathryn memukulinya. Dan satu hal yang membuat Asher dan Vivian terkejut adalah saat video itu menunjukan scene di mana Kathryn terjatuh.
“Kathryn!”
Bukan Vivian yang mendorong Kathryn, bahkan Sarah dan Helen tidak mengetahuinya, Kathryn sendirilah yang menjatuhkan dirinya ke lantai satu.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (22)

  • avatar
    HidayatMuhammad

    bgus

    08/05

      0
  • avatar
    M Rifai

    bagus bnget

    05/04

      0
  • avatar
    RahmaEka

    baguss

    06/03

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด