logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Part. 7

Seminggu sebelum aku menceraikan Fiza, aku pergi ke rumah Ibu mertua di kampung. Aku ingin kabar perceraian itu berasal dariku langsung. Ingin kuungkapkan alasan sebenarnya kenapa perceraian ini harus terjadi. Agar beliau tidak salah sangka atas apa yang aku lakukan pada putrinya. Dan juga supaya beliau tidak khawatir atas kehidupan Fiza dan cucunya setelah perceraian. Karena aku akan tetap memberinya tempat tinggal dan nafkah yang cukup untuk kehidupan sehari-hari mereka.
Jangan pernah kau berpikir bahwa aku melakukan ini dengan senang hati, Fiza. Setelah mengucapkan talak sore itu, bahkan hingga membuatmu pingsan, aku pun merasa hancur dan terpuruk.
Sejak hari perceraian itu, aku dan Hanif tinggal di rumah Ibu.
Ternyata yang tersakiti dengan perceraian ini bukan hanya aku dan Fiza. Hanif pun juga. Meski belum mengerti apa yang terjadi dengan hubungan kedua orang tuanya, tapi tinggal terpisah dengan Fiza, ibu kandungnya, sungguh merupakan siksaan tersendiri bagi anak berumur 5 tahun itu.
Tiap hari dia terlihat murung. Hampir sepekan lebih dia mogok makan. Hingga tadi siang Ibu menelepon dengan tiba-tiba.
[Haris, segera pulang! Ini Hanif mengerang kesakitan sambil memegangi perut dan dadanya. Sesak nafas, katanya.]
Tanpa memberi jawaban, segera kuakhiri telepon Ibu. Dengan setengah berlari, aku menuju tempat parkir. Kunyalakan mesin mobil dan melaju ke arah rumah Ibu.
***
Kubuka pintu kamarnya dan kuangkat tubuh mungil itu ke mobil dan meluncur menuju Instalasi Gawat Darurat RSIA Bunda.
Dokter jaga langsung memeriksa Hanif. Setelah itu dia juga menanyakan beberapa hal kepadaku. Kuceritakan dengan rinci segala hal yang terjadi pada Hanif selama di rumah beserta riwayat kesehatannya selama ini.
Kupandangi bocah kecil yang tergolek lemah di depanku itu.
"Andai saja saat ini Fiza masih di sampingku, hal ini pasti tidak akan terjadi. Karena anak laki-lakiku itu akan masih selalu bersama ibunya," batinku.
Rasa sesal itu mulai menghampiriku.
"A--aku ... aku tak bisa menjawab sekarang, Fiza."
Terdengar ketukan dari arah pintu yang sengaja tidak kututup rapat. Mas Haris bangkit dari sofa untuk membukakan pintu. Sementara aku tidak ingin terlihat pipiku basah, segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi dalam yang terletak di samping tempat tidur Hanif.
Samar-samar terdengar Mas Haris berbincang dengan beberapa orang. Kufokuskan pendengaranku dari kamar mandi. Ternyata itu suara Rani--adik Mas Haris dan suaminya serta ibu mertuaku. Ibu Mertua? Sejak kapan Ibu baik pada keluargaku? Hingga berkenan menjenguk Hanif yang sedang sakit? Bukankah selama ini Ibu tidak peduli keberadaan cucu-cucunya, bahkan di saat mereka dilahirkan?
"Astaghfirullahal'adzim ... aku tidak boleh berpikiran seperti itu," gumamku.
Kuambil tisu gulung yang tersedia di gantungan sisi washtafel di depanku. Kuusapkan ke kedua pipi dan pelupuk mata. Lalu kumenatap bayangan wajahku di cermin berbentuk lingkaran.
"Aman!" batinku setelah melihat wajahku terbebas dari lelehan air mata.
Kubuka tas tangan yang ada di tentenganku. Kupoles wajah yang baru kubasuh dengan bedak padat yang selalu ada dalam tasku. Setelah terlihat segar kembali, kulangkahkan kaki keluar kamar mandi. Segera kutemui mereka.
Kuarahkan pandangan ke suami Rani sambil menelangkupkan kedua tangan di depan dada. Dan untuk Ibu dan Rani, kusambut mereka dengan pelukan hangat dan senyuman termanisku. Namun, Ibu, jangankan pelukan, membalas senyumanku saja tak mau. Ia melangkah menjauhi aku. Dan membuang muka dari pandanganku.
"Ayo, masuk," ucap Mas Haris, seolah mengerti apa yang sedang terjadi.
Marekapun masuk dan duduk di sofa berwarna hijau tua di pojok ruangan. Mas Haris memilihkan Hanif kamar VIP, sehingga mendapat fasilitas lebih dari ruangan yang biasa. Satu kamar yang berukuran 5x5 meter hanya berisi seorang pasien. Di dalamnya dilengkapi bed eksklusif, kamar mandi dalam, kulkas kecil, televisi, meja untuk tempat makanan dan lemari baju kecil, serta satu set sofa untuk keluarga yang mengunjungi pasien.
Melihat situasi yang kurang nyaman ini, aku lebih memilih berada duduk di tepi ranjang dekat Hanif. Menemaninya meskipun dia sedang terlelap. Kulirik jam dinding yang tergantung tepat di atas ranjang Hanif, menunjuk angka 17.05.
"Permisi, maaf ... saya mau ke musala dulu. Saya titip Hanif ya, Mas," pamitku sambil menatap laki-laki yang sedang mengobrol dengan keluarganya itu.
Tanpa menunggu jawaban, aku langsung mengayunkan langkah menuju musala di lantai dasar.
"Maafkan sikap ibuku, Fiza." Mas Haris tetiba sudah berada di sampingku, membersamai langkahku.
"Nggak apa-apa, Mas. Bukannya dari dulu juga sudah seperti itu. Aku sudah terbiasa. Nggak usah diambil hati." Jawabku asal sambil melempar senyum ke perawat yang berpapasan denganku.
***
Selesai salat, sengaja aku 'tak langsung kembali ke ruangan. Aku ingin menghabiskan waktu sejenak untuk berselancar di media sosial sambil menikmati segelas jus alpukat kesukaan yang baru saja kupesan.
Kubuka aplikasi berwarna hijau. Mulai menulis pesan untuk Mbak Sani. Menanyakan kondisi Alya sekalian memberitahukan jam kepulanganku nanti. Kutunggu beberapa saat. Masih centang satu.
Kututup aplikasi hijau. Kini beralih ke aplikasi berwarna biru yang sudah sejak beberapa hari lalu 'tak sempat membukanya. Membaca beragam status di aplikasi ini, tetap saja belum mampu menyegarkan pikiranku. Akhirnya kututup ponsel genggamku dan kumasukkan ke dalam tas kembali.
Segera kuhabiskan jus alpukat yang legit ini hingga tandas. Lalu setelah menyerahkan selembar uang warna ungu kepada bapak penjual, aku langsung melangkahkan kaki ke ruangan Hanif lagi. Meskipun sebenarnya aku sangat malas melakukannya.
Kubuka pelan pintu kamar. Ternyata Hanif sudah bangun. Memanggil-manggil namaku, meskipun sudah dikelilingi oma, om dan tantenya.
"Iya, Nak. Ibu di sini, nemenin Hanif. Tadi baru saja salat, jadi ditinggal sebentar deh. Maafin Ibu, ya," ucapku sambil tersenyum ke arahnya.
"Apa yang Hanif rasakan. Mana yang sakit, Nak?" Kutatap lembut sambil kuelus tangannya.
"Ini, Bu ...." Hanif memegangi perutnya.
Kini kuarahkan tanganku untuk mengelus perutnya dengan lembut.

"Ehm, tadi 'kan sudah minum obat, insya Allah segera sembuh kata dokter," ucapku sambil menatap matanya yang kelihatan sendu. Aku berusaha menghibur seperti biasanya, kala dia sedang sakit di rumah.
Tangannya tetiba memegangi tanganku," Aku ingin di rumah, sama Ibu. Boleh ya, Bu ..." ucapnya memelas sambil memandangi aku.
Aku melayangkan pandangan ke arah ayahnya Hanif yang sedang berbincang dengan Ibu, Rani dan suaminya di sofa. Menyadari itu, Mas Haris segera mendekati aku. Lalu aku menggerakkan ekor mataku ke arah Hanif.
"Ada apa, Sayang?" tanya laki-laki yang telah menalakku itu sambil mengelus kepala Hanif.
"Aku pingin di rumah sama Ibu. Boleh, Yah?" Bocah kecil itu tampak mengiba pada ayahnya.
Sejenak ada raut ragu di wajahnya. Namun, akhirnya anggukan tanda mengiyakan keinginan Hanif pun diberikan.
***
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (117)

  • avatar
    NoepRoslin

    Tahniah penulis👍👍

    10/01

      0
  • avatar
    AiraAira

    Aku suka sekali dengan cerita ini🥰

    05/07/2023

      0
  • avatar
    wongWong edan

    saya baca dulu ya

    05/07/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด