logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Part. 5

Acara yang diisi dengan seminar kecil dengan tema 'Menjadi Ibu Luar Biasa untuk Anak Istimewa' dan berbagai perlombaan bagi para pasien klinik tumbuh kembang itu, akhirnya hanya kuikuti dengan sesekali melihat saja. Namun meskipun begitu, acara ini mampu membuat diri ini semakin merasa kuat meskipun kini menyandang status orang tua tunggal untuk si istimewa Alya.
"Hemm, yang ketemu teman lama, asik ya." Dari arah belakangku, tetiba ada suara yang ikut nimbrung dalam obrolan.
"Iya, dong." Nonny berdiri menyambut seorang laki-laki yang datang tiba-tiba. Lalu menggamit lengannya dengan manja.
Sekilas sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Tapi dimana ya? Otakku berputar mencari jawabnya.
Oh, iya. Dia pernah menolongku ketika Alya tantrum di pelataran RSIA. Waktu itu Mas Faris dan Hanif sedang mengambil mobil di parkiran belakang. Melihat aku kuwalahan menangani Alya yang menangis dan meronta, orang di hadapanku ini membantuku menggendongnya.
Didekapnya dengan kuat, hingga Alya tak mampu memberontak lagi. Dan sesaat setelah itu, datanglah Mas Haris bersama Hanif dalam mobilnya.
Ternyata menurut Mas Haris, orang yang menolongku itu adalah kolega bisnisnya, Dani namanya. Dan kini lebih 'tak percaya lagi, Mas Dani kolega Mas Haris itu adalah kakak teman karibku sejak SD di kampung dulu.
"Dunia serasa selebar daun kelor ya, Lie," sahutnya sambil tertawa.
***
Setengah hari ini rasanya berlalu dengan cepat. Meskipun terisi dengan tawa canda bersama Nonny, tapi sisi terdalam hatiku penuh luka dan kesedihan. Dan kini aku harus memikirkan, apakah badai dalam rumah tanggaku ini akan terus kusimpan atau kubagi dengan ibuku. Namun, rasanya tak tega. Pasti hal itu akan membuat Ibu sangat sedih.
Masih segar dalam ingatan, bagiamana Mas Haris begitu gembira menyampaikan kabar bahwa ibunya telah merestui hubungan kami berdua pada kedua orang tuaku waktu itu. Hingga Ibu 'tak mampu membendung tetesan air mata bahagianya.
Hubunganku dengan Mas Haris awalnya ditentang ibunya. Alasannya klasik, karena 'bebet, bibit, bobot' yang tidak setara. Dia memang berasal dari keluarga pengusaha yang kaya.
Sedangkan aku hanya berasal dari keluarga petani sederhana. Buruh tani tepatnya. Tinggal di kampung yang jauh dari kota. Namun demikian, Mas Haris tak henti memperjuangkannya. Hingga akhirnya hati ibunya luluh juga untuk memberi restu.
***
Ibu terlihat menunggu di teras depan sambil merapikan bunga di taman. Masih seperti yang dulu, tidak bisa diam menganggur. Selalu ada saja kesibukan yang dikerjakannya.
"Bu. Maaf, lama menunggu, ya." Kuucap salam, lalu menyapanya sambil menurunkan tas bekal Alya. Sedangkan Mbak Sani setelah menutup pintu gerbang, lansung pamit pulang.
"Waalaikumussalam, Nak. Sudah pulang, ya." Sumringah senyumnya melihat kedatanganku. Meletakkan gunting tanaman, lalu menyambutku dengan riang.
Kuayun kaki menuju kamar Alya. Pelan dan hati-hati kubuka tali gendongan. Lalu menidurkannya di atas kasur. Ah, akhirnya terbangun juga Alya.
Tetiba telepon genggam di tasku berdering. Kulihat nama yang terpampang di layar. "Mas Haris. Ada apa?" gumamku heran.
Tetiba ponsel di dalam tasku berdering. Kulihat nama yang terpampang di layar. Antara bahagia dan heran.
"Mas Haris, ada apa?" gumamku pelan.
Segera kugeser tombol hijau di ponsel putih yang kupegang. Aku diam, menunggu berita yang akan dikabarkan.
[Halo, Fiza. Tolong segera ke RSIA Bunda, Hanif sakit.]
[Oh, eh iya, Mas. Saya segera ke sana.]
Hanif sakit? Rasa khawatir dan cemas langsung menyergapku.
***
Ojek khusus untuk muslimah yang kupesan sudah menunggu di depan rumah. Gegas berangkat sendiri. Ibu lebih memilih di rumah bersama Mbak Sani menemani Alya.
Sampai di rumah sakit langsung menuju bagian informasi. Menanyakan ruang rawat pasien atas nama Syauqy Hanif Ramadhan kepada petugas di sana. Sambil menunggu, kubuka layar ponselku. Ada beberapa pesan masuk yang belum terbaca.
[Hanif dirawat di ruang Pangeran Diponegara IIA lantai 3.] Sebuah pesan masuk dari Mas Hanif kubaca.
***
Antrian lift terlihat cukup padat, karena berbarengan dengan jam besuk sore. Kuarahkan langkahku untuk melalui jalur tangga. Lumayan juga, berjalan menaiki anak tangga hingga lantai ke 3 membuat napas tersengal dan kaki terasa pegal.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Kulihat Mas Haris yang sedang duduk di kursi tunggu melambaikan tangan. Kulanjutkan langkah kaki ke arahnya.
"Bagaimana keadaan Hanif? Sakit apa? Sejak kapan dia sakit?"
Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Napasku masih terengah. Butiran keringat terasa membasahi dahi.
Mas Haris diam. Menatapku dengan pandangan sedih.
"Duduklah dulu," ucapnya sambil mengarahkan pandangan ke kursi di sampingnya. Lalu bangkit, pergi maninggalkanku begitu saja.
"Mas!"
"Hanif masih ditangani perawat. Tunggulah sebentar."
Aku duduk di kursi. Kuambil dua lembar tisu di tas untuk menghapus keringat di wajah. Badanku terasa lelah. Lalu kusandarkan tubuh ke kursi untuk mencari sedikit rasa nyaman. Sambil tak henti melangitkan doa untuk kesembuhan si sulung Hanif.
Kerongkonganku terasa kering. Kabar tentang sakitnya Hanif membuatku panik, sehingga tidak terpikir untuk menyiapkan bekal air putih seperti biasanya ketika bepergian.
Kurasakan ada sesuatu yang dingin menyentuh tanganku. Kubuka mataku. Tanpa kata, Mas Hanif menyodoriku dua botol minuman. Sebotol air mineral dan jus jeruk kesukaanku di botol lainnya.
"Terima kasih," ucapku sambil memberinya senyum yang sedikit terpaksa. Tanpa basi basi, aku segera meneguknya. Bagai tetesan embun di padang tandus, aliran air mineral itu begitu terasa menyegarkan di kerongkongan.
Saat ini, kau hanya akan bisa memberiku ini saja, Mas. Tidak bisa lebih. Tidak akan ada lagi genggangan erat di tangan untuk saling menguatkan. Tidak juga sentuhan lembut di pundak untuk memberiku rasa aman karena khawatir, seperti saat kita menunggu hasil pemeriksaan dokter mata Alya waktu itu, batinku. Aku menghela napas panjang sambil menundukkan pandangan ke lantai.
Mata ini mulai terasa hangat. Khawatir keluar buli-bulir bening dari kedua mataku, aku segera bangkit mengayunkan kaki untuk ke kamar mandi.
Baru beberapa langkah, ternyata perawat keluar dari ruangan Hanif dirawat. Kuurungkan niat ke kamar mandi.
"Sus, bagaimana kondisi Hanif?" tanyaku penuh ingin tahu.
"Saya ibunya, Sus," jelasku pada perawat yang melihatku dengan pandangan agak ragu.
"Kondisi pasien tidak terlalu parah, Bu. Kami sudah memberi obat dan tindakan sesuai yang disarankan dokter Raihan. Ibu dan Bapak tidak perlu terlalu khawatir," jelas perawat berkaca mata itu sambil tersenyum ramah. Lalu segera berlalu diikuti dua perawat lainnya.
Dokter Raihan Aditya adalah salah satu dokter spesialis anak di rumah sakit ini. Jika Hanif dan Alya sakit, aku dan Mas Haris selalu berobat ke dia. Kadang di poli anak rumah sakit ini, tapi kadang ke tempat praktiknya, di Jalan Nusa Dua nomor 5, sekitar satu kilometer dari tempat tinggalku.
***
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (117)

  • avatar
    NoepRoslin

    Tahniah penulis👍👍

    10/01

      0
  • avatar
    AiraAira

    Aku suka sekali dengan cerita ini🥰

    05/07/2023

      0
  • avatar
    wongWong edan

    saya baca dulu ya

    05/07/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด