logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Memanggil Arwah

"Tidak, Manis! Kau tidak boleh berpikiran seperti itu! Jangan bilang kau mulai jatuh cinta pada suamimu! Dengarkan aku, Manis, cinta itu sampah! Cinta hanya akan melemahkan hatimu. Kau lihat aku, bagaimana dulu aku begitu mengagungkan cinta pada seorang lelaki hingga aku memberikan segalanya, tapi dia malah mencampakkanku dan pergi dengan wanita lain. Itulah yang saat ini sedang direncanakan Wira terhadapmu. Dia akan menguras habis hartamu, lalu setelah dapat, dia akan pergi bersama istri barunya dan mencampakkanmu. Tidak, Manis! Jangan pernah percaya cinta, buanglah rasa cemburu itu."
Bilqis berteriak tepat di depan wajahku, dia mengguncang bahuku dengan keras. Angin malam masuk ke dalam ruangan, menyibak ujung rambutku hingga menyentuh bibir.
"Neng geulis, geura hudang, bageur ...." Tiba-tiba kudengar suara leluhur berbisik di telingaku, mereka mencoba menyelamatkanku dari perasaan yang menjerumuskan masa depanku, hingga aku terbangun dari khayalan tentang rasa cemburu.
Benar, aku tak boleh goyah. Tujuan awalku adalah menyingkirkan Mas Wira. Aku tahu niat busuknya bersama Harum, mereka ingin menguasai hartaku lalu menyingkirkanku. Pasti begitulah skenario yang telah disusun Mas Wira bersama wanita itu.
Aku menarik air mataku yang hampir menetes lagi dan menganggap sikap lemahku barusan sebagai kesalahan.
"Ini, terimalah arsenik ini," ucap Bilqis seraya menaruhnya di telapak tanganku. "Teteskan pada minuman dan antarkan ke kamar pengantin suamimu di malam pertama mereka nanti. Pastikan mereka meminumnya."
Aku tersenyum, lalu mengembalikan bungkusan racun itu pada Bilqis. "Sudah kubilang, aku tak membutuhkan yang berbahan kimiawi."
Bilqis hanya mengernyit keheranan. "Ini yang paling kuat, Manis! Kau butuh yang bagaimana lagi?"
"Aku akan menggunakan ilmu hitam untuk menyingkirkan Mas Wira," bisikku. "Aku akan meminta bantuan leluhurku."
"Ma—maksudmu ... Nyimas dan Mbah?" tanya Bilqis terbata. Dia sudah sedikit mengetahui tentang leluhurku, dan sangat takut setiap kali aku membahasnya.
"Ya. Setelah sekian lama, mereka muncul lagi dalam hidupku tadi malam dan juga barusan."
"Ta—tapi mereka berbahaya, kan?"
"Tidak." Aku menggeleng. "Mereka berkata akan melindungiku. Itu artinya, aku sedang dalam bahaya dan aku harus meminta bantuan mereka."
Keringat dingin mengucur dari kening Bilqis. Dia ketakutan, pasti karena teringat kejadian dua puluh tahun yang lalu saat kami berusia sepuluh tahun. "Tapi, Manis. Kau ingat kan saat kita pulang sekolah dulu, kau berkata leluhurmu mengikutimu lalu ketika Syifa—teman kita—membully-mu leluhurmu itu langsung menjelma jadi harimau putih dan memangsa tubuh Syifa hingga terkoyak. Aku bahkan masih mengingat wujud mereka dan darah dari tubuh Syifa! Tidak, Manis. Kuharap kau pikirkan lagi tentang minta bantuan leluhurmu itu. Gunakanlah arsenik ini, aman dan tak akan meninggalkan jejak, tak akan ada darah. Sekali tenggak, Wira akan 'habis'."
Aku tetap pada pendirianku. "Leluhurku minta ambil bagian dalam rencana ini, Bilqis. Dan ... tunggu! Aku tak akan menargetkan Mas Wira," jawabku.
"Omong kosong apa, itu?" Bilqis tak terima. "Kau ingin membiarkan lelaki yang berniat menguasai seluruh hartamu itu tetap hidup?"
"Aku bisa mengatasinya, Bilqis. Aku masih membutuhkan Mas Wira untuk menjalankan semua roda perusahaanku. Dia milikku." Aku menegaskan. "Harum. Harumlah yang akan kujadikan korban, aku akan menyingkirkannya pelan-pelan. Kau tahu kenapa aku tertarik pada wanita itu, Bilqis?" lanjutku bertanya.
"Apa yang ada di pikiranmu?"
"Dia telah meminta sesuatu yang jadi milikku—yaitu Mas Wira. Dan aku tidak suka berbagi. Apa yang jadi milikku, adalah milikku! Selain itu, wanita itu juga berhati lembut. Aku tak suka dengan tipe wanita seperti itu!" jawabku.
Bilqis mendekat dan memperhatikan wajahku lekat-lekat. Dia tertawa renyah. "Apa tak salah yang kudengar barusan? Tidak ada wanita baik dan berhati lembut yang mau menikah dengan suami orang! Harum bukanlah orang seperti yang ada di pikiranmu!" katanya. "Tapi kalau kau berniat menyingkirkannya, aku setuju saja denganmu."
"Mata batinku mengatakan Harum bukanlah orang jahat. Semua sikap congkak dan kurangajarnya hanyalah pengaruh dari Mas Wira. Dia mengajari wanita itu bagaimana harus berhadapan denganku agar aku tak mudah mengintimidasinya. Harum hanyalah wanita kampung, Bilqis. Aku dapat melihatnya dengan jelas meskipun dia bersembunyi di balik pakaian mewah dan make up tebal," balasku.
Aku menyalakan lagi damar yang tadi sempat padam. Kemudian mengambil tongkat dan berpindah ke kursi rodaku, menuju meja 'pemanggilan' yang terletak di ruang belakang.
"Bawa kedua damar itu ke ruang belakang setelah aku sampai di sana, Bilqis. Hati-hati, jangan sampai cahayanya padam. Aku akan ke sana lebih dulu karena untuk menuju gerbang dunia hitam, aku harus menembus kegelapan. Kau harus menungguku di depan pintu sambil memegangi damar-damar itu dan menjaga cahayanya. Tunggu sampai aku selesai."
Bilqis mengangguk, dengan tangan gemetar dan kening bercucuran keringat dia menuruti perintahku. Sementara aku mulai memutar rodaku menyusuri lorong demi lorong di rumah kayu ini yang gelap gulita, suara lantai kayu yang mulai reyot terdengar seperti suara makhluk halus yang menjerit kesakitan, semilir angin begitu dingin menusuk kulit dan meninggalkan rasa panas setelahnya. Aku tidak takut, aku sudah berteman dengan makhluk halus sejak aku kecil, bahkan arwah-arwah para leluhurku bergantian mengasuhku. Mereka semua sudah meninggal, tapi arwahnya tak pernah sampai ke akhirat karena tergadai di alam ghaib sebagai tumbal kekayaan keluargaku di dunia ini. Nyimas dan Mbah adalah arwah leluhur yang bertahan menjagaku hingga saat ini, dan aku akan memanggilnya sekarang.
Pintu ruang 'pemanggilan arwah' terbuka lebar dengan sendirinya. Sesosok nenek tua mendorong kursi rodaku ke depan meja pemanggilan, lalu pintu tertutup lagi. Aku memejamkan mata dan mulai mengucap mantra.
"Nyimas, Mbah ... datanglah. Aku punya keinginan yang harus kau kabulkan," ucapku menutup mantra yang selesai kubaca.
Suara dua harimau mengaum beriringan dengan terangnya 'ruang pemanggilan' oleh dua pasang mata yang menyala dari binatang buas itu. Selama hidup, Nyimas dan Mbah-ku memuja siluman harimau untuk meminta kekayaan dan hingga kini arwah mereka masih tergadai dalam wujud harimau putih. Hanya melalui ritual pemanggilan aku dapat bertemu mereka dalam wujud asli sebagai manusia.
Cahaya putih menyelimuti tubuh kedua harimau itu, kemudian merubah wujudnya menjadi sosok pria dan wanita renta. Mereka adalah Nyimas dan Mbah dalam wujud manusia. Wajah mereka tidak seram sama sekali—sama seperti manusia biasa, tidak seperti penampakan setan pada umumnya.
"Cucuku ... malangnya nasibmu terancam kejahatan suami dan madu yang ingin menguras harta keturunan keluarga kita. Nyimas punya ramuan sihir yang akan melumpuhkan mereka," kata Nyimas.
"Iya, Nyimas. Tapi yang ingin kulenyapkan adalah maduku itu!" jawabku.
"Teteskanlah air susu ini pada setiap makanan dan minuman madumu, niscaya dia akan lenyap perlahan-lahan. Dia tidak akan mati sebelum kau puas melihatnya menderita," ucap Simbah sambil memberiku setetes air susu dalam botol bening seukuran ibu jari.
"Apakah itu racun, Mbah? Aku ingin racun!" tegasku.

Book Comment (34)

  • avatar
    FfGogle

    5000

    14/06

      0
  • avatar
    Masturina Mohd

    cerita yang bagus banyak plot twist best best sangat , minat nak baca sebab tajuk ajeee hehehehe tpi jalan cerita pun best

    16/05

      0
  • avatar
    Syza Meera

    👍👍👍👍👍

    14/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters