logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Iming-Iming

"Apa tujuanku, bukanlah urusanmu. Kehidupan pernikahanku dengan Mas Wira nanti adalah privasi kami berdua, kau tak berhak tahu," jawab wanita bernama Harum itu, sambil membuang muka dariku. Belagu sekali dia.
Bagus sekali. Aku suka orang seperti dirinya. Semakin banyak dia bertingkah dan bersikap sombong, semakin bertambah kasih sayangku untuknya. Kasih sayang yang akan mengantarkannya pada jurang kematian.
Kita lihat nanti, Harum. Siapa yang akan bertahan di rumah ini.
"Harum, jangan lupa bahwa nanti kau akan tinggal di rumahku. Aku adalah tuan rumah, kau harus tunduk padaku!" Kukatakan itu dengan penekanan yang tajam. Namun rupanya, ketegasanku itu tak membuatnya gentar sama sekali.
"Aku pun sebenarnya tak mau tinggal di sini. Kami bahkan berencana tinggal di rumah baru Mas Wira, karena rencana awalanya kan dia akan menceraikanmu. Tapi karena kau tak mau diceraikan, dan Mas Wira masih membutuhkan hartamu, maka terpaksa aku harus ikut di manapun Mas Wira tinggal. Jadi, sebenarnya aku tak mengikutimu, Kak Manis!" balasnya sinis, tak mau kalah.
Kelancangan Harum itu memantik emosiku. Seumur hidup, sepertinya hanya dia lah satu-satunya orang yang berani menentangku. Sepertinya, dia memang belum tahu siapa aku sebenarnya. Jika dia tahu, tak mungkin akan bersikap tidak sopan seperti itu.
Kupandangi wanita yang memakai dress merah maroon dan lipstik warna senada itu. Dia duduk bersilang kaki di hadapanku sambil tangannya dilipat di dada. Kini tatapannya sangat menantang, sesekali dia menggerakkan bola matanya naik-turun menelusuri tubuhku, sangat terlihat jelas delikan yang menyiratkan ejekan dan hinaan atas cacat yang kuderita. Apalagi sudut bibirnya, terlihat menegang akibat sekuat tenaga menahan hasrat ingin menertawakan kelumpuhanku. Gestur calon maduku itu seolah berkata: "Mana mungkin orang cacat punya kekuatan untuk berkuasa di rumah ini!"
Aku beralih pada Mas Wira—suami sekaligus calon pengantin bagi maduku. Aku berbisik padanya, "kau telah membawa wanita keras kepala ke dalam rumah ini, Mas. Harus dengan cara apa supaya dia mau menurut padaku? Katakan padanya untuk patuh padaku!"
"Sudah kubilang, jangan persulit dia," jawab Mas Wira.
Aku benci dengan penentangan. Andai aku tak sedang bernegosiasi, pasti sudah kuhukum suamiku itu seperti biasanya. Seperti saat dia tak bisa bekerja karena sakit setahun yang lalu, aku menyuruhnya berangkat ke pabrik saat itu juga. Sebenarnya, itu adalah hukuman karena dia berani menolak permintaan tolongku.
"Badanku meriang, Manis. Aku tak bisa belikan kamu kembang tujuh rupa, apalagi ini sudah malam. Jangankan untuk berangkat, untuk duduk saja badanku ngilu," rengek Mas Wira pada malam harinya—setahun lalu.
"Tapi malam ini juga aku harus mendapatkannya, Mas. Leluhurku bisa marah jika aku terlambat menyuguhkan sesajen untuknya pada malam ini. Bangunlah, paksa dirimu untuk pergi mencari kembang tujuh rupa! Masih ada waktu tiga jam lagi sebelum waktu persembahan tiba," paksaku.
Mas Wira bergeming, dia tetap tak mau berangkat dengan alasan sakit. Membuatku muak, karena dia sangat tak tahu diri! Dia lupa siapa yang mengulurkan tangan padanya sepuluh tahun lalu. Aku, Akulah yang telah menariknya dari lembah kemiskinan! Mas Wira dulunya adalah seorang pengemis yang menengadahkan tangannya di pinggir jalan, dan aku memungutnya untuk kujadikan suami! Tapi dia sama sekali tak ingat hal itu, hingga permintaanku untuk mencari kembang tujuh rupa pun ditolaknya mentah-mentah. Akhirnya, malam itu aku terpaksa mencarinya sendiri.
Dan hari ini, lelaki yang kujadikan suami itu meminta keringanan dariku. Dia ingin istri barunya tinggal nyaman di rumahku.
"Kau ingin hartaku, kan, Mas? Kalau kau tak mau, aku tak akan memaksa. Silakan ceraikan aku dan pergi dari rumah ini." Aku menegaskan.
"Manis, aku tak akan menceraikanmu." Mas Wira mengatakannya dengan lantang, membuat Harum berubah raut mukanya menjadi kesal dan tak terima.
"Kalau begitu, buatlah wanita itu menurut. Jelaskan padanya siapa diriku ini, dan ingatkan pula siapa dirinya. Derajatnya berbeda denganku," balasku.
Sudah kuduga, jika kuiming-imingi dengan harta, Mas Wira tidak akan menolak. Dia trauma akan kemiskinan, sehingga menjadikan harta sebagai cinta sejatinya. Namun aku masih belum mengerti, mengapa Mas Wira menambatkan hatinya pada Harum. Suamiku itu tidak akan pernah jatuh hati pada wanita cantik, kecuali jika wanita itu memiliki harta. Apa yang dimiliki Harum sehingga membuat Mas Wira jatuh hati padanya? Aku tak yakin mereka benar-benar saling jatuh cinta.
Mas Wira kemudian beralih pada Harum, ia tampak membisikkan sesuatu yang membuat wanita itu luluh.
"Baiklah, aku akan terima syaratmu," jawab Harum pada akhirnya.
"Bagus," balasku penuh kemenangan. "Pernikahan kalian akan diadakan lusa. Katakan padaku, apa yang kauinginkan sebagai mahar, Harum? Aku akan membelikannya untukmu."
"Aku tidak akan meminta mahar. Aku juga akan menuruti semua perintahmu, tapi aku hanya minta satu hal, yaitu jatah waktu kebersamaan dengan Mas Wira ... aku harus mendapat porsi lebih banyak darimu, Kak."
Harum menjawab dengan penuh keyakinan. Sepertinya ada sesuatu yang direncanakan wanita ini, sungguh sesuatu yang janggal jika dia lebih memilih kebersamaan daripada harta benda. Bukankah, dimana-mana seorang wanita rela menjadi istri ke dua demi harta benda? Tapi, Harum sungguh berbeda. Dia sudah melihat isi rumahku dan juga perhiasan yang kukenakan, bahkan roda pada kursi rodaku pun berlapis emas! Tidakkah dia tergiur untuk meminta mahar sebongkah berlian, sebuah rumah, atau sebuah perusahaan sekalipun? Padahal, aku bersedia memberikannya andai dia meminta. Kenyataannya, wanita ini tidak meminta harta, dia hanya minta jatah kebersamaan yang lebih banyak dengan Mas Wira. Menarik sekali wanita di hadapanku ini.
"Berapa hari yang kau mau untuk menghabiskan waktu bersama Mas Wira?" tanyaku.
"Enam hari dalam seminggu. Dari mulai hari Senin-Sabtu. Hari Minggu, baru giliranmu. Karena pada hari Minggu aku harus pulang ke kampungku untuk suatu urusan," jawabnya.
Serakah!
"Kau sama sekali hanya memberiku hari sisa? Tak inginkah kau membagiku lebih banyak hari?" tanyaku.
"Ayolah, Kak ... untuk apa kau punya jatah hari yang banyak? Kau hanya bisa duduk di kursi roda, Mas Wira lama-lama akan merasa bosan denganmu. Kasihan dia, kan? Sementara denganku ... aku bisa menemaninya pergi ke mall, makan di restauran, menginap di hotel, dan banyak hal yang bisa kami lakukan bersama. Mas Wira akan senang, dan dia tidak akan banyak mengeluh. Coba bayangkan jika dia harus menghabiskan banyak waktu denganmu, tidakkah kau kasihan padanya?" balas Harum dengan memberi pertanyaan mengejek.
Aku tersenyum pada Harum. "Bukankah, karena aku lumpuh lah maka aku lebih banyak membutuhkan waktu bersama suamiku, sehingga dia bisa merawatku?" kataku sedikit merendah.
Harum semakin congkak dan sedikit mendongakkan kepala. "Yang benar saja kau ingin suamiku nanti merawatmu? Tidak! Aku tidak akan izinkan! Kau pikir fungsi seorang suami hanya untuk merawat istri yang lumpuh, hah? Kau punya banyak uang, Kak Manis. Kau bisa menyewa pembantu, suster, atau bahkan dokter profesional untuk merawatmu! Kenapa tidak kau lakukan itu?" bantah Harum.
"Yang dikatakan Harum itu benar, Manis," timpal Mas Wira. "Aku tak bisa sepanjang waktu menemanimu. Lebih baik, kau tak mempersulit lagi masalah ini. Cepat kabulkan saja keinginan Harum!"
Aku menahan bibir yang hampir saja mengeluarkan umpatan. Kedua tangan ini mencengkeram kuat pegangan kursi roda saking kesalnya, hingga dapat kurasakan dinginnya emas yang melapisi pegangan ini menusuk kulit. Sepasang kekasih itu telah merendahkanku. Ingin sekali kukeluarkan mereka dari rumah ini, tapi aku harus bersabar karena aku pun punya rencana tersendiri. Aku harus membuat mereka tinggal di rumah ini hingga waktu yang kunantikan tiba.
"Baik. Aku akan mengabulkan keinginanmu," jawabku pada Harum. "Persiapkanlah diri kalian untuk resepsi pernikahan lusa. Pernikahan kalian akan diadakan di aula depan sana. Karena aku telah memutuskan untuk mengizinkan suamiku menikah lagi, maka aku akan menanggung semua biayanya. Kalian hanya tinggal menjadi pengantin saja. Pesta pernikahan nanti, akan diadakan dengan megah. Tapi aku tak bisa datang, aku ada keperluan lain yang tak bisa ditinggalkan. Besok aku akan mulai berangkat menuju tempat tujuanku bersama seorang teman."
Senyum kebahagiaan terpancar di sudut bibir wanita yang sebentar lagi akan jadi maduku itu. Dia menatapku dengan penuh kemenangan. Mas Wira merangkul Harum dengan begitu mesra, suamiku itu menatapku seperti sampah yang sudah tidak berguna.
"Hari sudah mulai malam, kalian harus beristirahat," kataku. "Pergilah ke kamarmu di bawah tangga sana, Harum. Saat ini hanya kamar itu yang kosong. Kamar lainnya penuh dengan harta yang kusimpan di sana. Selama ada di rumah ini, jangan pernah berani mendekat ke kamar-kamar itu," jelasku pada Harum.
Mas Wira segera membantu Harum berdiri dari duduknya, kemudian menuntun Harum ke kamar yang sudah kutunjukkan. Namun, aku menahan langkah Mas Wira.
"Mas, kau mau ke mana? Kamar kita ada di atas," kataku.
Mas Wira menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke arahku. "Aku akan tidur bersama Harum," katanya.
Seakan ada yang menonjok dadaku. Berani sekali dia mengucapkan hal itu!
"Hey! Kalian belum sah menjadi suami-istri, apa pantas tidur sekamar?!" geramku.
"Tapi aku malas tidur sekamar denganmu, Manis," balas Mas Wira dingin.

Book Comment (34)

  • avatar
    FfGogle

    5000

    14/06

      0
  • avatar
    Masturina Mohd

    cerita yang bagus banyak plot twist best best sangat , minat nak baca sebab tajuk ajeee hehehehe tpi jalan cerita pun best

    16/05

      0
  • avatar
    Syza Meera

    👍👍👍👍👍

    14/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters