logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Poison (Racun untuk Maduku)

Poison (Racun untuk Maduku)

Widanish


Chapter 1 Kedatangan Madu

“Aku izinkan kamu menikah lagi. Asalkan istri mudamu nanti bersedia menuruti semua perintahku. Dia tak boleh menolak.”
Kuberikan jawaban pada suamiku yang tengah meminta izin untuk menikah lagi. 
“Baiklah. Tapi tolong, jangan beratkan urusannya. Jangan kau buat dia berada dalam kesulitan,” pinta suamiku. 
Bibirku terkatup rapat sebagai jawaban. 
“Hari ini, aku akan membawa calon madumu ke rumah kita. Dia sangat baik dan aku sangat mencintainya,” lanjut suamiku sebelum akhirnya dia berangkat kerja. 
*
Setengah jam lagi waktu yang kunantikan akan tiba. Mas Wira akan membawa calon istri barunya ke rumah ini. Dia hendak memperkenalkanku dengan wanita bernama Harum itu. 
Duduk di atas kursi istimewa, aku menghadap ke jendela kamar yang terbuka lebar. Kini terlihat hamparan tanah luas di hadapanku. Tiga hari lalu, kucabuti semua tanaman yang tumbuh di atasnya. Sengaja kukosongkan dan kupersiapkan lahan di pinggir kamarku ini untuk tempat tinggal Harum—calon maduku. 
“Manis, sepuluh tahun menjadi suamimu, aku telah dapat banyak harta. Sekarang aku sudah bisa berdiri di atas kaki sendiri. Aku tak membutuhkanmu lagi,” ucap suamiku pelan, saat aku menyambutnya pulang lembur di pagi hari—tiga hari yang lalu. 
“Lalu apa rencanamu?” Aku merespon dengan bertanya. Kugunakan bakat aktingku untuk menyembunyikan rasa terkejut dan sakit hati atas pernyataannya. 
Mas Wira menatapku malas, padahal kedua tanganku sudah terbentang  menantikan pelukannya. 
“Aku akan menikah lagi dengan pacarku. Harum namanya. Dia sangat cantik, dan lebih baik darimu dalam segala hal,” jawabnya. 
“Lalu bagaimana dengan aku?”
“Aku akan segera menceraikanmu.”
Hatiku telah mati saat itu juga. Lelaki yang sepuluh tahun lalu kupungut dari jalanan itu, berani berkata kasar dan bersikap kurang ajar. 
“Selain itu, apa alasanmu menceraikanku?” tanyaku tenang. 
“Kau lihat kondisimu. Kedua kakimu lumpuh, dan kau hanya bisa duduk di kursi roda. Apa yang bisa kuandalkan darimu? Bukannya melayaniku, kau malah akan merepotkanku nantinya.”
Aku tersenyum. Dia mengernyit keheranan, mungkin awalnya dia mengira aku akan menangis. 
“Tolong, jangan ceraikan aku,” kataku dalam senyuman. 
“Tapi aku sangat mencintainya. Dan aku tak membutuhkanmu lagi,” tolak suamiku. 
“Aku masih punya kekayaan yang belum kuberikan padamu. Kekayaan yang akan membuatmu tak perlu bekerja keras lagi seumur hidup,” tawarku. 
Senyum Mas Wira seketika merekah. Dia melempar tas-nya ke sembarang arah, lalu memelukku. “Aku tahu kau sangat-sangat kaya raya, sayang. Maafkan aku telah salah menilai, ternyata kau masih berguna untukku,” ucapnya. 
Mas Wira mencium keningku, aku membalasnya dengan senyuman.
“Sekarang, apa kau masih ingin menikahi Harum?” tanyaku. 
“Oh, ya. Kalau soal itu … aku sangat mencintainya. Tak mungkin aku meninggalkannya,” jawab suamiku. 
“Jadi, kau lebih memilih Harum daripada hartaku?” 
Tampak Mas Wira kebingungan memilih. “Manis, keduanya sangat berharga untukku,” jawabnya. “Bagaimana jika aku menikahinya, tanpa menceraikanmu? Dengan kata lain, kau jadi istri pertama, dan Harum jadi istri ke dua.”
Aku menunduk. Menunjukkan keberatanku padanya. 
“Ayolah, izinkan aku menikah lagi,” pinta Mas Wira. 
“Biarkan aku berpikir dulu. Tiga hari lagi aku akan memberikan jawaban,” ucapku lalu memutar kursi roda menuju kamarku. Tak lupa kupersembahkan senyumanku pada Mas Wira, sebelum aku berlalu dari hadapannya pada hari itu. 
Hari ini pun aku masih tersenyum, apalagi setelah tadi pagi aku memberikan jawaban. Tak sabar aku menunggu kedatangan calon maduku. 
“Manis, aku pulang.” Kudengar suara Mas Wira dari arah pintu depan. Segera kulajukan kursi rodaku ke sana, menuruni tangga yang dibuat khusus agar kursi rodaku bisa melaju di atasnya. Tangga ini seperti eskalator. 
“Akhirnya kau pulang, Mas. Di mana calon istrimu?” tanyaku setelah membuka pintu. 
Sesosok perempuan berparas ayu muncul dari belakang Mas Wira, rupanya wanita itu sembunyi di balik punggung suamiku. 
Wanita jalang itu, tersenyum kepadaku. 
“Selamat sore, Kak. Akulah calon istri suamimu,” ucapnya. 
“Jadi kamu orangnya?” responku. “Tak salah suamiku menginginkanmu, kamu memang cantik.”
Wanita bernama Harum itu melempar senyum serupa seringai. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga saat kupuji.
“Selera Mas Wira memang tinggi,” katanya. “Tadinya, aku ingin memiliki suamimu sendirian. Tapi sayang sekali kami harus rela bersabar, karena katanya kau tak mau diceraikan.”
Harum terlihat sangat manis. Tentu saja, karena yang namanya madu di mana-mana memang manis.
“Masuklah. Kita bicara di dalam,” ajakku.
Mas Wira menggandeng tangan Harum masuk ke dalam rumah. Sementara aku mengekor dari belakang.
Tiba di ruang tengah, Mas Wira menuntun Harum duduk di sofa.
“Mas, tolong aku juga ingin pindah duduk di sofa. Kursi roda ini membuatku kepanasan,” pintaku.
“Kau berusaha sendiri saja, Manis. Biasanya juga begitu. Pindah ke sofa atau ke kasur, kau selalu melakukannya sendiri,” jawab Mas Wira.
“Baiklah.”
Susah payah aku berpindah ke sofa. Namun rasanya sangat sulit, akhirnya aku hanya bisa duduk di kursi roda. Harum sedikit menertawakanku saat aku memegangi tongkat dan kesusahan mengangkat tubuhku.
“Jadi, kapan kalian akan menikah?” tanyaku.
“Aku ingin secepatnya,” jawab Harum. Dia sangat semangat menjawab, padahal aku bertanya pada Mas Wira. “Aku sangat kasihan pada Mas Wira. Dia pasti kesepian dan merindukan belaian seorang istri yang normal. Kau mengerti maksudku kan, Kak?”
Harum. Wanita itu mulai menanam benih kebencian dalam dadaku. Bahkan sejak pertama Mas Wira menyebut namanya.
“Ah ya. Kau lihat sendiri, aku bukan lagi wanita normal, aku lumpuh. Itu kan maksudmu, Harum?”
“Jangan tersinggung, Kak. Aku bicara yang sebenarnya. Memang Kakak lumpuh, kan?”
Kuberikan senyumku untuk Harum, lalu beralih pada suamiku. “Mas, apa kau sudah beritahu dia siapa aku sebenarnya? Juga tentang persyaratan yang kuberikan?”
Mas Wira menggeleng.
“Baiklah. Biar aku sendiri yang memberitahunya,” ucapku. Lalu berpindah ke Harum lagi. “Kau akan menjadi maduku, Harum. Jagalah sikapmu. Meski cacat, aku bukanlah orang sembarangan. Kekayaanku tak akan pernah habis. Kau kira rumah megah ini milik Mas Wira? Jangan salah mengira! Rumah ini adalah milikku. Bahkan aku punya yang lebih besar lagi dari ini. Beberapa perkebunan teh dan kelapa sawit kumiliki atas namaku sendiri, beserta pabrik pengolahnya. Dan masih banyak lagi kekayaanku, beberapa masih kurahasiakan.”
Penjelasanku barusan membuat Harum bungkam. Meski dia sangat cantik dan tubuhnya dibalut pakaian mahal, tetap saja itu tak bisa menutupi sifat udiknya. Begitu pun dengan perkataannya yang terdengar tak sopan dan kasar menghinaku, itu tidak seperti sifat aslinya. Mata batinku menangkap Harum bukanlah wanita jahat. Mas Wira pasti telah mendandani dan mengajari Harum sedemikian rupa agar dia terlihat ‘kuat’ dan berani, agar aku dapat sedikit segan padanya. Tetapi mataku tak bisa dikelabui. Aku telah banyak makan garam kehidupan, bertemu dengan berbagai macam karakter manusia. Aku dapat dengan mudah menilai setiap orang yang kutemui. Dan Harum, adalah wanita istimewa.
Harum bertumpang kaki, dia menatap seakan tak tepengaruh dengan cerita tentang kekayaanku. Padahal terlihat sekali dia sedang berakting.
“Dan syarat untuk menjadi maduku adalah kau harus mau menuruti semua perintahku, tak boleh menolak. Bagaimana?” lanjutku bertanya.
Harum mulai tak nyaman. Tentu saja dia keberatan dengan adanya persyaratan yang kuajukan. “Kurasa, sebagai seorang istri, kita sama-sama berhak hidup bebas di rumah ini tanpa harus terikat syarat tertentu. Yang kunikahi adalah suamimu, aku tak peduli tentang kau. Sebenarnya, Mas Wira pun ingin menceraikanmu!” jawab Harum sinis.
“Jadi, kau keberatan jika ada persyaratan di sini?” tanyaku tetap tenang.
“Aku hanya merasa muak! Untuk apa aku harus menuruti syarat-syaratmu? Kau pikir karena kau kaya jadi bisa seenaknya mengaturku? Aku tak akan hidup dari hartamu, Kak. Mas Wira berjanji akan menghidupiku dari hasil usahanya sendiri, dia kan juga punya perusahaan!” jawab Harum, lalu dia beralih ke Mas Wira. “Mas, tolong jangan bilang kau setuju dengan adanya syarat itu!” katanya.
“Kalau kau tak bersedia. Maka tak akan ada pernikahan,” tegasku. “Jika kau memang mencintai suamiku, kau pasti tidak akan keberatan dengan syarat yang kuberikan, bukan? Sebenarnya, apa tujuanmu menikah dengan suamiku?”

Book Comment (34)

  • avatar
    FfGogle

    5000

    14/06

      0
  • avatar
    Masturina Mohd

    cerita yang bagus banyak plot twist best best sangat , minat nak baca sebab tajuk ajeee hehehehe tpi jalan cerita pun best

    16/05

      0
  • avatar
    Syza Meera

    👍👍👍👍👍

    14/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters