logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Uji Coba Sentuhan Mesra

Sesuai dengan saran dua temanku, aku melakukan program penggemukan badan. Selain itu aku juga berusaha untuk sering memakai baju yang seksi-seksi. Pokoknya baju yang bisa menampakkan sisi kewanitaanku. Aku mulai membeli baju-baju ketat, rok atau celana pendek, daster dan dress pendek di atas lutut.
Aku juga mulai rajin luluran biar kulitku sedikit cerah. Malahan nyaris melakukan suntik vitamin C biar cepat putih. Sayangnya aku takut jarum suntik sehingga mengurungkan niat tersebut. Mau bleaching, katanya sakitnya juga tidak ketulungan. Akhirnya aku pakai cara tradisional dengan lulur yang hasilnya mungkin bisa tahunan atau bahkan tidak memberikan efek putih sama sekali. Setidaknya aku berusaha tampil cantik dan bersinar saat di rumah.
Bukannya pujian atau sanjungan saat istrinya berusaha tampil menawan. Justru sekali lagi aku mendapat tamparan kata yang menyakitkan. Biarlah, aku rasa aku sudah mulai kebal dengan kata-kata ketusnya.
Tinggal mencari kesempatan untuk mempraktekkan ilmu Cecil dan Nita. Yaitu memberikan sentuhan menggoda, misal dengan menawarkan pijitan. Sayangnya, aku tidak juga menemukan timing yang tepat. Mungkin juga karena aku sama sekali tidak berani untuk melakukan.
Penilaian akhir semester pertama telah datang. Aku semakin kehilangan kesempatan untuk bermesraan, karena setelah ulangan dia bakal sibuk koreksi soal. Demikian pun aku. Lanjut mengerjakan nilai siswa untuk rapot. Input data rapot ke komputer, mencetak lalu membagikan hasil belajar siswa selama enam bulan. Rapotan, bahasa ngetrennya.
Hhh... desahku menatap diri di cermin. Malam ini aku mengenakan terusan sepaha warna hitam tanpa lengan. Rambut aku ikat agak tinggi. Sedikit polesan lipstik, memakai bedak dan lamat-lamat aku bubuhkan blush on pada pipi. Ini kebiasaan baru yang rutin aku lakukan setiap malam selain baju-baju seksi yang harus kupakai. Kadang merasa lelah juga melakukan itu. Apalagi dia sama sekali tidak mau menatapku lama.
Aku keluar dari kamar. TV menayangkan acara berita. Kepala Mas Ros tampak terkulai di sandaran sofa. Sementara tangan kanan memijit-mijit kening. Tangan kirinya masih memegang kertas ulangan siswa.
"Ada yang bisa dibantu?" tanyaku menawarkan jasa.
Pekerjaan koreksiku sudah selesai. Selagi menunggui anak-anak PAS, aku mengoreksi hasil ulangan mereka. Daripada ngobrol tidak jelas dengan pengawas lain yang mungkin akan mengganggu konsentrasi siswa, mending ikutan khusyuk dengan kertas sendiri.
Sementara untuk nilai praktikum sudah aku cicil dua minggu sebelum PAS. Terus terang, waktuku jadi tersita banyak saat melakukan penilaian praktek itu. Jadi aku tidak mau menyalahkan seratus persen Mas Ros yang mungkin terlalu pengertian. Tahu aku pasti lelah setelah seharian berada di sekolah.
“Memangnya pekerjaanmu sudah selesai?” tanyanya tanpa berpaling padaku.
“Aku cuma mengajar dua belas kelas. Tidak ada kelebihan jam. Sangat pas dengan peraturan dan cukup meringankan. Tentu saja, urusan perkoreksian sudah tuntas. Paling tinggal memasukkan nilai siswa untuk dirata-rata pakai komputer.” terangku panjang lebar. Semoga dia tidak jadi bosan dan tertidur.
Mas Ros menegakkan posisi duduk menatap lagi berlembar-lembar kertas yang ada di tangannya. Melihat ke arahku sekilas dengan pandangan sangsi.
"Mungkin aku bisa bantu mengoreksi soal option?" ucapku lagi.
Mas Ros tersenyum tipis. "Baiklah, kamu yang meminta ya." ucapnya membuatku lega.
Aku segera mengambil posisi duduk di lantai berkarpet di ujung meja. Dari tempatku duduk aku bisa melihat pemandangan indah wajah tampan suami tercinta.
Suasana lengang, karena kami sibuk dengan koreksian masing-masing. Lagian, kenapa tidak pakai lembar jawab sih. Kalau koreksi macam ini, langsung di kertas soal, pantesan jadi lama.
“Mas Ros, kenapa tidak pakai lembar jawab, biar gampang koreksinya. Tinggal lubangi jawaban yang benar, bisa langsung ketahuan mana siswa yang tidak menyilang dengan tepat.” ocehku lagi. “Tinggal menghitung saja yang tidak ada silangnya, kan.”
“Tapi itu nanti bisa jadi boros kertas.” dalihnya.
“Iya, sih. Tapi koreksinya jadi lama, harus buka per halaman.”
“Kamu ikhlas membantu enggak?”
“Ikhlas dengan senang hati.”
“Kalau gitu, jangan banyak protes.” tegurnya membuatku langsung diam.
Hening tercipta. Yang terdengar suara kertas yang terbuka bolak-balik bersaing dengan suara pembawa berita di TV.
"Akhir-akhir ini aku selalu pusing kalau membaca terlalu lama." katanya tiba-tiba sambil menyerahkan lembaran kertas yang harus aku koreksi lagi. Tentu saja dengan kunci jawaban.
Mendengar celotehannya tersebut, cukup membuatku senang. Kenapa? Karena dia memberitahukan keadaannya padaku. Bisa berarti dia mulai membuka diri. Sebagai istri bukankah harus saling paham situasi dan kondisi pasangan.
"Sebaiknya Mas Ros periksa ke dokter mata. Siapa tahu memang sudah harus pakai kaca mata." tanggapku sambil nyengir menatap sekilas ke arahnya, lalu konsentrasi pada lembar kertas PAS.
"Memang aku sudah setua itu harus pakai kaca mata?"
Sejenak terhenyak dengan komentar Mas Ros. Kok nyambungnya ke sana. Kenapa mengarah negatif.
"Kaca mata minus atau silinder bukan hanya untuk orang tua lho," aku mencoba meluruskan.
“Oh itu?” Mas Ros memandangku. "Baiklah, besok aku coba ke sana."
"Perlu teman?"
"Tidak usah,"
Cukup kecewa mendengar penolakannya. Tapi sudahlah. Mulutku mendadak seperti sedang di off.
Selanjutnya kami tenggelam dalam lembaran kertas ulangan siswa Mas Ros. Aku mulai hafal urutan jawaban A-B-C–nya. Mataku tidak perlu bolak-balik melihat ke kunci jawaban dan pekerjaan siswa. Mas Ros juga memintaku untuk menghitung jumlah benarnya. Sementara Mas Ros mengoreksi jawaban soal esai sekaligus memberi nilai.
“Mengajar sampai lima belas kelas capek juga ya.” gumamku.
“Sebagai honorer cukup menguntungkan karena gaji kami berdasarkan jumlah mengajar.”
“Oh gitu?”
“Kamu tidak pernah jadi guru honorer ya?”
Malu-malu sambil senyum aku menggeleng. “Aku pernah cerita kan, aku cukup beruntung lulus kuliah langsung bisa lolos tes CPNS.”
“Nasibmu sungguh bagus.”
“Kebetulan waktu itu yang mendaftar untuk guru seni musik tak banyak. Tidak seperti mapel lain yang satu kursi direbut ribuan orang. Waktu itu, aku cuma menyingkirkan lima puluh orang.”
Mas Ros memperhatikanku seolah sedang mendengar dongeng kura-kura yang menang lomba lari dari kelinci. Sungguh sebuah keajaiban. Seperti halnya aku bisa menikahi kamu, Mas. Tatapku penuh arti.
“Ada apa?” tanyanya sedikit ngeri dengan ekspresi mukaku yang mungkin nampak mupeng.
“Segera selesaikan itu!” tunjuknya pada tumpukan kertas yang masih cukup menggunung.
“Yes, Sir!” balasku penuh semangat tinggi.
Hening terjadi lagi. Tanpa bicara aku bisa dengan segera menyelesaikan bagianku. Dalam hal ini nasihat orang-orang tua jaman dulu ada benarnya. Bekerja itu pakai tangan, jangan pakai mulut.
Padahal kalau guru mengajar di kelas kan pakai mulut, gimana tuh?
"Selesai!" dengungku begitu tahu yang akan kukoreksi adalah kertas terakhir.
"Bisa kamu bantu aku memberi nilai."
"Siap, Pak Guru!" kataku sedikit mengajaknya bercanda. Tak ada reaksi candaan balik, dia hanya menjelaskan cara memberi nilai.
Senang sekali bisa membantu Mas Ros menyelesaikan tugasnya. Aku bisa sedikit mengurangi bebannya dan berharap banyak setelahnya. Berharap dia mau memandangku sebagai istri, memandang aku dengan penuh cinta dan tentu saja mengajak bercinta sebagaimana layaknya suami-istri.
Bagianku selesai lagi. Aku memandang Mas Ros yang juga hampir menyelesaikan bagiannya. Dia tampak serius sekali, kadang tangannya memijit pundak dengan tangan yang memegang bolpoin.
Aku langsung beranjak begitu melihat peluang. Berjalan mengitari sofa dan berdiri di belakang sofa siap beraksi. Ragu-ragu sejenak.
"Aku pijit ya?" kataku langsung memegang pundaknya.
"Eh apaan sih, tidak usah!" larangnya berusaha mengelak.
Terkejut aku melihat reaksinya seperti tersentuh barang najis. Tapi aku tidak boleh menyerah.
"Aku ingin menjadi istri yang berbakti kepada suami. Memangnya tidak boleh? Selama ini aku tidak pernah memijit Mas Ros, kan?"
Tidak ada jawaban. Dia hanya kembali pada posisi semula, posisi yang terjangkau tanganku untuk memijit. Patah hati lagi. Tanganku mencengkeram sisi atas sofa.
"Katanya mau memijit, kenapa diam? Lumayan ada tukang pijit gratisan." katanya membuatku seketika berbunga.
Aku mulai menghayati peranku sebagai tukang pijat. Mencoba memberikan pelayanan terbaik demi menghilangkan letih yang bersarang.
Namun, ada sesuatu yang menggelitiki jiwa perempuanku yang haus kasih sayang. Menyentuhnya secara intens begini membuatku ingin memeluk dan menciumi lehernya. Aku nyaris terlena dan sudah semakin mendekatkan kepalaku pada sisi telinganya.
"Sebenarnya ini tidak gratis lho?" bisikku kemudian.
Tubuh Mas Ros mendadak menegang. Aku juga sudah merasa panas dingin tidak karuan.
"Mau minta bayaran berapa?" katanya sedikit memajukan tubuh. “Aku tidak punya banyak uang, lho. Ngutang dulu boleh?”
Tombol on-off pada jari-jariku menekan otomatis sisi off. Berhenti untuk memijit, tanganku telah terangkat berpindah pada sandaran sofa kembali. Aku yang sedang sensitif mendadak kehilangan rasa humor. Kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatku hilang hasrat. Aku mendengus sebal mendengar tanggapannya yang mungkin cuma gurauan. Tapi bagiku yang sudah terbakar, itu serupa pelecehan.
Sejak awal menikah, segala hal selalu dia perhitungkan dengan uang. Dia pikir aku ini barang? Keterlaluan! Aku benar-benar geregetan sampai tidak sadar tanganku telah turun dan mencengkeram pundak Mas Ros dengan keras. Kalau tidak sayang, sih, sudah pasti aku langsung mencekik lehernya.
"Auw! Kamu mau menghancurkan pundakku, La?" erangnya marah.
"Aduh maaf, terlalu keras ya?" tanggapku sok manis. Padahal aku ingin mencakar-cakar leher dan menggigit telinganya seperti Mike Tyson yang melukai telinga lawan bertinjunya, Holyfield. Ada yang tahu kisah ini enggak? Aku juga tahu dari Mbah Google. Apa sebab aku nemu berita tersebut, lupa!
"Sudah, sudah, jangan pijat lagi!" Mas Ros segera berdiri membereskan lembaran kertas ulangan. “Serem banget dekat sama kamu.”
“Jadi aku menyeramkan bagi Mas Ros?” ucapku berhasil menghentikan langkahnya sebelum tenggelam ke balik pintu kamar.
Mata Mas Ros lalu menelaah penampakan fisikku. “Harusnya kamu sadar diri.”
“Apa?” belum sempat mempertanyakan maksud perkataannya, Mas Ros telah menutup pintu dengan keras. Hingga menghempaskan diriku ke kutub utara. Dingin. Dan aku tidak berani memburunya untuk meminta pertolongan.
"Gagal, temans!" desisku lalu duduk di sofa dan mengganti channel acara kesukaanku. Ajang pencarian bakat menyanyi.

Book Comment (14)

  • avatar
    Joanna San Patricia

    keren.

    18/02/2023

      0
  • avatar
    TrianVahri

    good

    29/12/2022

      0
  • avatar
    123Kaubohong

    bguss

    17/07/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters