logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Ada Apa Dengan Suamiku?

Aku mengurungkan niatku untuk bertanya mengapa dia tidak pernah menyentuhku. Atau jangan-jangan suamiku... ah, tidak mungkin. Selama kami menikah dia tidak pernah membawa teman ke rumah. Tidak ada satu pria pun yang aku curigai sebagai teman dekat Mas Ros. Lagi pula bukankah sebelum menikahiku, dia berpacaran dengan teman kuliahnya. Itu menurut informan Genta. Tidak mungkin dong suamiku itu gay, yah, kelepasan juga mengatakan itu. Mengingat latar belakang pacar-pacarnya semua asli cewek. Ternyata cuma aku yang beruntung bisa menikahinya.
Dan kemungkinan kedua adalah suamiku itu impoten. Sebenarnya tidak tega mengatakan ini. Tapi mengingat usia perkawinan kami yang menginjak hitungan bulan dan aku belum mendapat serangan. Sangat tidak wajar bukan?
Bahkan dua sobatku memiliki dua pemikiran itu saat aku curhat belum pernah disentuh oleh suamiku. Sungguh aku tidak bermaksud membuka aib rumah tangga sendiri. Tapi aku sudah frustasi tanpa kejelasan siapa yang tidak beres.
"Baiklah, sebenarnya ini cukup aneh." kata Cecil sok jadi detektif. "Tapi sebaiknya kita mengevaluasi kamu lagi."
"Aku?" tunjuk jariku pada hidung sendiri.
"Maaf nih, ya. Tapi terus terang tubuhmu itu kurang menarik." kata Cecil yang mendapat pelototan dari Nita.
Oh ya, mengenai dua temanku ini. Mereka dulu teman SMA-ku. Tepatnya teman band semasa SMA. Praktis kami tidak satu kelas sih. Kami bisa akrab karena kesamaan hobi di musik.
Grup band kami yang bernama ‘Cute Girls’ beranggotakan lima orang. Cecil pegang bas, Nita bagian gitar, Lintang yang merantau ke Kalimantan ikut suami kebagian keyboard. Sasi sebagai vokalis, pindah ke ibu kota sewaktu mulai kuliah. Sementara aku mendapat tugas menggebuk drum. Grup band kami waktu itu hanya bertahan hingga kelas dua SMA. Setelah naik kelas tiga kami disibukkan dengan berbagai persiapan ujian, sehingga otomatis Cute Girls bubar.
Kalau ada yang tahu VOB_Voice Of Baceprot. Grup band cewek yang mengusung musik metal dan terkenal hingga ke luar negeri. Terkadang jadi terpikir, seandainya kami dulu mendapat guru yang mengerti bahwa bakat siswa itu berbeda. Tidak melulu berfokus pada akademik, mungkin kami masih punya kenangan hebat lain tentang Cute Girls, selain berbagai festival yang berhasil kami menangi pialanya.
"Tenang Nit, aku tidak apa-apa." ucapku seraya memegang tangan Nita. "Lanjutkan!"
"Ada baiknya kamu sedikit membuat montok tubuhmu agar tidak kutilang macam itu."
Aku langsung memperhatikan tubuhku khususnya bagian dada. Terus terang sekali Cecil ini.
"Pria itu sebenarnya menyukai tubuh yang padat berisi. Kamu harus melakukan program penggemukan badan." lanjut Cecil.
“Bukankah justru laki-laki itu menyukai wanita yang langsing?” sanggahku.
“Langsing bukan berarti kurus kering loh ya?”
“Jadi aku kurus kering?” ucapku lebih pada diri sendiri.
Nita malah tertawa kecil. Entah bagian mana yang lucu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Menurutku sih, bodi orang itu sudah terbentuk dari sananya. Kita tidak bisa maksa membuatnya jadi sempurna. Misal kalau memang payudara kita kecil, ya syukuri aja. Karena ada kasus yang punya payudara oversize malah berimbas pada masalah punggung. Semua sudah sesuai proporsinya.”
“Lah, memangnya aku menyuruh Ila operasi payudara atau pantat, gitu?” sergah Cecil.
“Bukan gitu juga. Ila tidak bisa gemuk bisa jadi memang sudah tersetel demikian. Tapi memang ada sih, cara menambah berat badan.”
"Nah, kan. Kalian juga tahu makanku banyak. Tapi entah pada kemana hasil makanku itu. Susah banget gemuknya. Aku juga minum obat cacing lho!" tambahku ketika dua temanku menatap seakan men-judge aku ini cacingan.
"Menyenangkan sekali punya tubuh sepertimu, La." ucap Cecil. "Kamu lihat, tubuhku sudah penuh dengan lemak sejak melahirkan."
"Jadi apa resepnya agar aku bisa gemuk berdasarkan pengalaman Ibu Cecil?" tanyaku sambil bercanda.
"Aku punya cara agar tubuhmu jadi lebih berisi secara sehat, tidak membabi buta asal makan. Besok aku tuliskan resepnya." kata Nita yang memang seorang ahli gizi.
"Ok, akan aku praktekkan segera."
"Ngomong-ngomong, jurus lingerie sudah beneran kamu terapkan?" tanya Cecil membuatku teringat tragedi lingerie.
Mendadak aku asma, "Apa tidak ada cara lain?" pintaku.
"Jadi tidak berhasil? Apa reaksinya saat tahu kamu berpakaian seksi macam itu?" interogasi Cecil.
"Dia cuma bertanya apa aku tidak kedinginan mengenakan baju itu?" jawabku polos.
Cecil dan Nita saling berpandangan melongo. Selanjutnya tawa mereka yang keras menyembur keluar membuat seisi café memandang ke arah kami.
Saat ini kami memang sedang kongkow di Café Cofee tempat biasa kami berbincang tentang segala hal. Kami bertiga penggemar kopi, dengan selera kopi yang berbeda. Cecil sangat menyukai Cappucino, Nita selalu pesan Coffee Macchiato yang lebih banyak susunya. Kalau aku, aku selalu berganti-ganti tergantung suasana hati. Kali ini aku memesan Espresso pekat.
"Dia sama sekali tidak bergairah melihatmu dalam pakaian minim seperti itu?" Cecil menyelidik mataku setelah berhasil menguasai tawa mereka.
"Sepertinya tidak." jawabku sambil menghirup kopi semi pahit pesananku.
"Ini sangat membingungkan. Padahal suamiku selalu bergairah jika aku mengenakan lingerie." cetus Cecil.
"Tanpa memakai itu, suamiku bisa langsung terangsang saat aku menyentuh pundaknya." kata Nita.
"Nah, itu dia." tunjuk Cecil ke Nita. "Kita pakai cara Nita untuk membuat suamimu jatuh ke pelukanmu. Apa kamu pernah mencoba untuk agresif melakukan serangan dulu?" tanya Cecil padaku.
"Belum pernah. Aku tidak berani, Cil."
"Kalau begitu kamu yang harus berinisiatif melakukan sentuhan-sentuhan seperti yang Nita lakukan pada suaminya."
"Sentuhan bagaimana?" aku tahu saat mengatakan itu pasti mukaku tampak bloon. "Dan perlu kalian ketahui, sampai sekarang kami bahkan belum pernah berpegangan tangan secara intens."
"Aku sungguh menyesal dulu mendukungmu menikah dengan Rosid." kata Cecil memandang kasihan padaku. "Dia benar-benar kelainan!"
"Hei, Cil jangan ngomong sembarangan tentang suamiku!" runtukku tiba-tiba merasa panas mendengar Cecil mengatakan hal yang tidak baik tentang Mas Ros.
"Maaf, La." Cecil tampak terkejut dengan reaksiku. "Aku hanya...."
"Sudahlah, yang penting sekarang kita harus tahu apa sebabnya. Kita mulai dengan cara memberi dia sedikit sentuhan." Nita menatap aku. "Pijatan kecil di pundak lalu sedikit kecupan di tengkuk dan leher."
Aku membatu, aku merasa tidak akan sanggup melakukan hal seperti yang Nita sarankan tadi. "Apa ada cara lain, cara yang lebih halus lagi sebelum ke cara yang barusan kamu katakan, Nit?" protesku.
"Lakukan saja pijatan kecil dipundak tanpa tambahan yang lain." kata Cecil menegaskan.
"Oh, baiklah." aku mengangguk-angguk seperti orang dungu.
Dan aku harus bisa mencari waktu yang tepat untuk melakukan itu, karena Mas Ros tidak pernah duduk lama di ruang TV jika bersamaku. Atau saat dia sedang mengoreksi pekerjaan siswa di meja makan kemudian mulai beraksi memijat pundaknya.
Aku meneguk kopi hingga tak menyisakan air setetes pun. Sementara dua temanku memperhatikan aku melalui cangkir masing-masing. Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang aku.

Book Comment (14)

  • avatar
    Joanna San Patricia

    keren.

    18/02/2023

      0
  • avatar
    TrianVahri

    good

    29/12/2022

      0
  • avatar
    123Kaubohong

    bguss

    17/07/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters