logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Malam Pengantin Yang Terlewatkan

Aku menggeliat membuang selimut dengan menggunakan kaki seperti kebiasaanku jika pagi telah tiba. Tanpa sengaja kakiku menendang seseorang. Aku jelas terkejut dan segera bangun terduduk.
"Apa sih, nendang-nendang!" gerutu orang yang kena sasaran kaki liarku.
"Aduh maaf," sahutku spontan masih bingung, sebelum akhirnya aku sadar tadi malam aku tidak tidur sendirian. "Apa sakit?" aku mengelus kaki yang tertendang.
"Apa sih?" elaknya. "Cuma membuatku kaget saja."
"Syukurlah,"
"Kamu mimpi main bola?" tanyanya.
"Tidak," aku menggeleng sambil meringis ketika Mas Ros dengan mata menyipit melihat ke arahku. "Sedikit kebiasaan buruk."
"Bahaya sekali ya, tidur denganmu?" Mas Ros mengangkat kepalanya. "Besok pagi berarti aku harus siap mendapat tendangan lagi nih."
"Aku jamin tidak." sahutku mantap. "Akan aku ingat kalau ada seseorang yang menemaniku tidur."
"Baiklah," erangnya sambil mengubah posisinya menjadi duduk dan mengamati aku.
"Kemarin hari yang melelahkan ya?" ucapku lagi. "Semalam tidurmu pulas sekali."
"Sangat melelahkan dan membosankan." sahutnya seraya mengusap wajahnya.
"Melelahkan tapi menyenangkan." ralatku.
"Itu bagimu. Wanita itu selalu suka pada hal yang rumit dan tidak praktis."
"Sebenarnya aku suka yang simpel-simpel. Tahu kan, orangtuaku ingin yang terbaik untuk anak perempuan satu-satunya." aku memamerkan lagi gigiku yang putih namun pagi ini belum tersentuh pasta gigi. "Kemarin akan menjadi hari yang tidak akan terlupakan seumur hidup. Hari yang menakjubkan." aku berkata dengan antusias.
"Simpel apanya? Bukankah kamu yang memilih gaun pengantin yang super ribet dan harus melibatkan banyak orang saat jalan?"
"Hehe..." aku tersipu meringis tragis. "Ini kan cuma sekali untuk seumur hidup. Aku ingin tampil cantik dengan gaun indah di hari yang istimewa."
"Terserahlah, tapi bagiku kemarin adalah hari yang sangat menyiksa." gumamnya.
"Apa?" aku memastikan perkataan terakhirnya yang tidak begitu jelas terdengar saat aku sedang menguap.
"Bukan apa-apa. Sebaiknya kita cepat keluar dari kamar. Kamu duluan gih ke kamar mandi." usirnya.
"Oh, baiklah Pangeranku." ucapku menggodanya lalu turun dari tempat tidur.
"La," panggilnya membuatku berbalik padanya. Berdiri tepat lurus depan matanya.
"Apa semalam kamu kedinginan?"
Aku kaget dengan pertanyaannya."Kok tahu?" jawabku balik bertanya.
"Pantas kamu memakai selimut rapat sekali tadi malam."
"Oh itu. Tentu saja aku kedinginan karena kamu tidak memelukku. Jangankan memeluk menyentuh pun tidak."
Ups! Apa yang baru saja kukatakan.
"Bagaimana tidak kedinginan kalau kamu tidur pakai baju seperti itu?" balasnya ketus membuatku sadar akan sesuatu.
Spontan aku langsung menarik selimut untuk membungkus badan. Aku segera berlari ke kamar mandi. Tapi begitu masuk, aku keluar lagi. Aku lupa tidak membawa baju ganti. Aksi selanjutnya aku melempar keluar selimut lewat celah pintu kamar mandi yang kubuka sedikit.
Ah, konyol sekali. Aku sempat melihat raut muka Mas Ros keheranan melihat tingkah polahku. Aku menutup muka. Malu sekali rasanya. Apalagi tadi aku berdiri tepat di depannya dengan menantang.
Astaga, akhirnya Mas Ros melihat tubuhku yang semi telanjang. Tadi malam sebelum berangkat tidur aku memang melepas bra. Tentu saja areola_bagian kehitaman di tengah dan papilla_puting payudara tampak jelas pada kain transparan yang aku pakai. Pahaku juga terekspos kemana-mana karena panjang lingerie hanya sebatas menutupi pantat.
Sekali lagi aku terkurung dalam ruang tertutup. Enggan keluar, enggan menatap mata Mas Ros yang sudah menelanjangi tubuhku. Tenang, La! Bisik hatiku. Bukankah kalian sudah menikah. Bukankah, tubuhmu sudah menjadi haknya. Lagi pula kau tidak telanjang bulat saat berdiri di depannya. Bukan masalah besar. Sekarang keluar dan hadapi dia!
Begitu aku keluar dari kamar mandi Mas Ros sudah tidak ada di kamar. Aku menghembuskan nafas lega. Setelah membereskan tempat tidur aku segera menyusul keluar.
"Selamat pagi!" sapa Rini saudara sepupuku sambil senyum-senyum. "Ehem, ehem..."
"Apa, Rin?" balasku.
"Duh, yang habis begadang sampai bangun kesiangan." godanya.
"Enggak juga sih, gara-gara kecapekan kemarin. Tadi malam benar-benar ajang balas dendam tidur."
"Tidur atau ditiduri?" Rini masih saja menggoda aku. Sialan nih anak, aku kan jadi malu sama orang yang mendengar.
"Asli tidur." jawabku sambil menjitak kepalanya.
"Adaww!" teriak Rini lebay."Sakit Mbak!"
"Sini aku bantuin." kataku tak pedulikan protes Rini yang sedang membereskan piring-piring rumah yang kemarin ikut terpakai.
"Mbak nanti ceritain ya, pengalaman MP-nya." bisik Rini.
"Ya ampun, Rin. Hush, rahasia tahu!" ucapku mulai tidak tahan dengan celotehannya.
"Buat persiapan Mbak, berbagi pengalaman. Jadi besok aku sudah siap harus bagaimana."
"Halah, sudah-sudah. Jadi males nih, bantuin kamu." kataku beranjak sambil melempar lap.
"Iya deh, enggak Mbak. Bantuin dong ya, please!" pintanya dengan muka ala anak kucing yang manis minta dielus.
"Tadi malam kami belum tayang." kataku ketika di ruangan itu tinggal kami berdua.
"Apa? Belum tayang?"
"Sstt... jangan keras-keras kenapa?"
"Hebat sekali Mas Rosid ya, bisa menahan diri. Katanya nih, katanya pada malam pertama cowok paling tidak bisa menahan diri, mereka langsung main terjang. Wuih, baik banget! Pengertian banget, bisa lihat sikon. Tahu banget ya, kalau istrinya capek."
Aku tersenyum bangga atas pujian yang ditujukan untuk suamiku. "Suami siapa dulu dong?"
"Cie cie... pembelaan sang istri."
"Wajib hukumnya membela suami." balasku.
"Tapi bukan karena Mbak Ila yang menolak, kan?" Rini masih penasaran.
"Ya, enggak lah. Kami saling memahami kok." jawabku meski aku sangsi dengan perkataanku sendiri.
Selama ini kami selalu beda pendapat dalam segala hal. Padahal awalnya aku pikir kami punya pemikiran yang sama tentang berbagai hal. Kesan pertemuan pertama dan obrolan selanjutnya merujuk kami punya kesamaan sifat, serta visi misi.
Ketika memasuki ranah kebersamaan. Ternyata sampai detik ini masing-masing dari kami masih belum bisa meluruh ego sebagaimana gambaran cincin yang kami pakai.
Semua butuh proses. Pikir bijakku. Bahkan untuk menjadi seorang pesulap juga butuh waktu lama demi menghilangkan barang dalam sekejap. Kami masih harus belajar bagaimana hidup bersama dalam perbedaan.
"Ouh, to tweet..." komentar Rini.
"Jadi kapan kamu akan segera meresmikan?" tanyaku balik.
"Entahlah, terserah Mas Deri saja."
"Jangan lama menunda, nanti menyesal seperti aku."
"Menyesal bagaimana? Bukannya sudah dapat suami yang baik dan tampan? Apanya yang disesali?"
"Menyesal karena tidak dari dulu aku menikah. Meski baru dapat jodoh kemarin sih. Lha kamu, sudah ada kenapa tidak segera saja coba?"
"Aku bukan tipe pemaksa Mbak. Mas Deri nampaknya belum siap. Kasihan kalau dipaksakan, nanti malah tertekan, kehidupan kami jadi tidak nyaman."
Aku manggut-manggut. Jadi terlintas apa aku terlalu memaksakan pernikahan ini? Terus terang aku memang sedang kejar tayang umur yang sudah terus bertambah. Aku tidak mau saat menikah sudah semakin layu. Mumpung ada yang mau menikahi, langsung sikat saja.
Harap diketahui, bahwa perjuanganku untuk mendapatkan suami tidaklah gampang. Aku harus menemui beberapa penolakan hingga suatu saat ada yang menyatakan siap untuk menikahi perawan tua macam aku. Berondong pula. Sempat cemas apa dia serius dengan ucapannya. Jangan-jangan dia sedang mabuk waktu mengatakan, "Ayo, kita menikah!"
"Aku iri sekali lho, sama Mbak Ila." kata Rini kemudian sambil mengelap piring terakhir. "Punya suami dari keluarga kaya, pewaris perusahaan papanya pula."
"Kamu ngomong apa sih?" tanggapku. "Semua punya kelebihan dan kekurangan. Deri juga baik, yang kutahu dia seorang pekerja keras. Selalu menurut juga apa katamu, kan?"
"Haha... iya, karena begitu penurut aku kadang malah jadi geregetan. Mbok sesekali menolak permintaanku lho, biar ada tantangan."
"Rumput tetangga selalu tampak hijau." sindirku.
"Haha... iya ya..." Rini senyum-senyum malu.
"Selanjutnya apa lagi Rin?" tanyaku ketika pekerjaan mengelap piring dan menyusun piring sudah selesai.
"Paling cuma ini Mbak, yang lain kan sudah diberesin sama katering."
"La, mana suamimu. Ayo, pada sarapan!" tiba-tiba ibu muncul dari dapur. "Rin, bantu Bu Dhe menyiapkan hidangan ya."
"Oke, siap Bos!" dengan lincah Rini berdiri meski tubuhnya super montok. Dalam urusan makanan, dia itu ahlinya. Ahli memasak, ahli menata meja dan yang terpenting ahlinya makan juga.
"Kalau begitu aku ke depan dulu." pamitku beranjak keluar mencari suami tercinta.
"Panggil yang lain juga!" seru ibuku.
"Beres," balasku.
Mudah sekali aku menemukan Mas Ros. Dia tampak sedang membantu membereskan area halaman depan yang seperti kena angin topan. Tidak menyangka bisa juga dia bekerja macam itu. Bukankah di rumah dia itu tuan muda yang tidak pernah melakukan pekerjaan rumah.
Melihatnya berpeluh membuatku berangan yang bukan-bukan. Jangan pada parno dulu. Maksudku berangan kelak dia akan siap sedia membantu istrinya yang kerepotan mengurus rumah. Mau berbagi tugas rumah tangga sebagaimana tipikal orang Jawa yang tidak gengsi menyapu, menyuci baju atau bahkan memasak. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi bagi-bagi pekerjaan rumah boleh dong, sebagai wujud sayang pada istri.
Pasti sangat indah. Apalagi saat aku sudah punya anak. Ehm, sepertinya lebih baik mencari asisten rumah tangga saja ya, kalau sudah punya momongan. Kerepotan yang akan hadir menjadi dua kali lipat. Untuk sekarang, masa-masa bulan madu nikmati saja segalanya berdua. Termasuk mengerjakan tetek bengek urusan rumah.
Aku segera memanggil Mas Ros untuk mengajak sarapan. Tentu saja sekalian memanggil orang-orang yang ikut membantu beres-beres.
Pagi ini hari pertama aku melayaninya makan. Memahamkan porsi makan Mas Ros. Memperhatikan cara dia menyuap sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Tak banyak yang kami bincangkan, karena Mas Ros makan bersama dengan para pekerja lain.
Selesai makan, Mas Ros kembali membantu membereskan kekacauan di depan rumah hingga menjelang siang. Demikian dengan aku yang sibuk merapikan urusan dalam rumah. Tak ada kesempatan waktu untuk berduaan.
Yah, pokoknya agenda pasca pernikahan pertama kami adalah bersih-bersih rumah. Wah, lagi-lagi kami dibuat lelah. Apa malam ini akan kami lewatkan dengan tidur lagi yah? Sesekali aku menyempatkan melongok Mas Ros yang tampak giat membantu. Sepertinya dia sadar kalau sedang diperhatikan. Sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya ketika mata kami bertemu pandang.
Ah, indah sekali hari ini. Tak kalah indah dari hari kemarin.

Book Comment (14)

  • avatar
    Joanna San Patricia

    keren.

    18/02/2023

      0
  • avatar
    TrianVahri

    good

    29/12/2022

      0
  • avatar
    123Kaubohong

    bguss

    17/07/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters