logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

House, Love, Song

House, Love, Song

Xie Nur


Chapter 1 Raja-Ratu Sehari

Sejak awal dia sudah tidak setuju perayaan pernikahan kami diselenggarakan besar-besaran. Tapi apa daya, orangtua kami memaksa secara halus dengan tiba-tiba menyewa wedding organizer terbaik dan menyebar undangan hingga seribu lembar, itu belum termasuk undangan untuk teman-temanku dan Mas Ros. Kami tidak bisa langsung menolak karena semua sudah dibayar tidak bisa dibatalkan.
Orangtuaku tidak terlalu kaya tapi mereka selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Bagi mereka ini merupakan pemberian terakhir sebelum melepasku menjadi tanggungjawab suami.
Jam enam pagi perias pengantin sudah mulai menyiksa rambutku dengan menyasaknya demi membuat jambul terowongan kereta api. Sekitar hampir satu jam terowongan yang melengkung sukses bertengger di kepala. Kemudian si ibu tukang rias menggambari keningku membentuk segitiga sama sisi saling bergandengan melingkari pinggiran kening.
Selanjutnya dia beralih melukis kembali wajah setelah membubuhkan alas bedak tebal. Memberi efek pada hidung agar terlihat mancung, memasang maskara, meronakan pipi dan terakhir menyapukan kuas pada bibir agar terlihat merah segar.
Ibu perias menyodorkan kaca agar aku mengoreksi apakah masih ada yang kurang dengan hasil permak wajah pakai make-up.
“Gimana Mbak?” tanyanya.
“Bagus Bu,” balasku sambil mengangguk-angguk sambil mengagumi diri sendiri. “Seperti bukan Ila.” tawa kecilku menggema.
“Pengantin memang harus tampil berbeda. Biar yang melihat pada terpana.” ujarnya. “Manglingi, Bahasa Jawanya.”
Ibu perias kemudian menyelesaikan kembali urusan rambut dengan memasang sanggul besar di belakang kepala. Menambatkan untaian melati yang memanjang hingga dada.
Aku tidak tahu kabar pengantin pria yang sedang dirias di ruang lain. Aku penasaran apakah Mas Ros nanti akan terpana melihatku kini bersinar laksana bidadari, dengan selendang putih tergerai menutupi kedua lengan. Kebaya putih model buntut kasuari yang menjuntai-juntai di pantat membuatku tampak seperti putri.
Aku sangat puas dengan penampilan ini. Akulah pengantin tercantik sepanjang masa. Kate Midletton lewat. Apalagi Meghan Markle.
Berdasarkan pengamatanku tidak semua pengantin tampak cantik di hari bahagianya. Terkadang malah, si pengantin wanita lebih cantik saat tidak dirias. Semua tergantung keterampilan dan keahlian penata rias dalam membaca wajah. Mana yang perlu ditonjolkan, mana yang harus ditutupi menjadi sebuah seni tersendiri. Aku sangat berterima kasih pada ibu yang telah menyiapkan perias T-O-P B-G-T.
Selain calon suami yang kuharap mengagumi betapa cantik mempelainya hari ini. Aku ingin para tamu undangan berdecak kagum menyaksikan keserasian antara pangeran tampan dan putri ayu.
Baiklah, saatnya show time! Sesuai jadwal ijab kabul dilaksanakan pukul sembilan. Jantungku mendadak dag dig dug tidak karuan. Semoga segalanya lancar.
Sosok yang begitu aku rindukan berdiri bagai patung di ambang pintu kamar. Aku tidak paham arti dari tatapan itu. Yang pasti aku tersipu dan dadaku semakin bertalu-talu. Dia begitu tampan dengan setelan jas warna putih, menyesuaikan dengan warna kebayaku. Dia jadi mengingatkanku pada pria bertuxedo putih yang selalu menolong Sailor Moon saat terdesak oleh musuh. Mawar merah tak lupa terselip di bibirnya sebagai hadiah bagi wanita yang telah ditolongnya. Ah, begitu romantis.
Sayang, Mas Ros datang tidak dengan membawa bunga mawar, bahkan mengulurkan tangannya padaku pun tidak. Tak masalah sih, karena bagiku dia itu mawarku. Jadi tanpa membawa setangkai mawar, dia sudah tampak seperti bunga mawar yang mempesona sebagaimana namanya Rosid Mawardi.
Dia itu mawar dalam wujud manusia tampan. Semua unsur namanya mengandung makna bunga mawar baik dalam Bahasa Indonesia maupun Inggris. Mulai dari Rosid yang mengambil dari kata Rose diberi akhiran 'id' yang mana huruf 'e' melebur jadi 'i' sehingga menjadi nama laki-laki. Demikian juga Mawardi, yang jelas dari kata mawar diberi akhiran 'di' untuk mengubah gender nama menjadi berkelamin pria.
Nama yang indah bukan? Orangtua Mas Ros mempunyai cita rasa tinggi tentang keindahan. Orang tua Mas Ros menganggap anak semata wayangnya itu adalah bunga kebahagiaan bagi rumah tangga mereka. Seorang anak yang diharapkan kelak bisa mengharumkan nama keluarga. Seorang anak yang indah tampan parasnya. Tak salah bukan jika aku ikut mengabadikan keindahan itu dengan memanggilnya Mas Ros.
"Kamu sangat menor sekali!" komentarnya membuatku tercengang.
"Hah?"
Kata sangat dan sekali menunjukkan bahwa penampilanku super buruk. Masa sih? Padahal ibu perias bilang aku sangat cantik. Sesuai dengan penglihatanku tadi. Mata siapa coba yang tidak beres?
Hatiku yang tadinya penuh bunga mendadak gersang. Aku tetap tersenyum menganggapnya sebagai candaan.
"Tapi cantik, kan?"
"Yeah," sahutnya tanpa melihatku lagi. "Ayo, Pak Penghulu sudah datang!"
Aku berjalan mengikuti langkahnya menuju kehidupan baru yang akan dia hadiahkan untukku. Mulutku tak kuasa untuk tidak menguntai senyum bahagia.
Aku sangka senyum bahagia akan terus mengembang hingga akhir. Kenyataannya di tengah-tengah pembacaan ijab kabul yang menggema di seluruh ruang, air mataku meleleh tak terkendali. Cukup khawatir tetesan air mata akan merusak lukisan cantik di wajah. Ibu penata rias memberi tisu agar aku menyeka leleran air tanpa mengusap.
Akhirnya sebuah cincin kawin melingkar di jari manisku. Cincin berbahan campuran antara palladium dan emas kuning. Aku membelinya secara online. Desain yang aku pilih menyerupai bentuk pagar besi jembatan yang dibuat melingkar. Setidaknya ada tiga lingkaran kecil yang menghubungkan tiga pasak putih palladium seperti paku yang ditancapkan pada sisi-sisinya.
Bagiku cincin ini mengandung arti bahwa cinta kami harus saling menguatkan. Paku-paku yang menjadi pasak merupakan tiang kepercayaan, tiang kesetiaan dan tiang kasih sayang. Tiga buah lingkaran melambangkan kami berdua. Dua lingkaran luar ibarat aku dan Mas Ros secara individu. Satu lingkaran putih yang di tengah merupakan peleburan ego kami. Jadi pernikahan itu bukan untuk merubah diri kami menjadi apa yang diinginkan masing-masing. Pernikahan harus memiliki jalan tengah dengan mengalah, mengenyampingkan ego demi kelanggengan perkawinan.
Gelar baru sebagai Nyonya Rosid tersandang sudah. Aku sungguh berharap ini bukanlah mimpi yang akan menghilang ketika aku bangun tidur esok hari. Aku bisa merasakan nyata tangan-tangan yang terulur dari para saksi saat mengucapkan selamat atas pernikahan kami. Banyak doa terucap, semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Keluarga yang penuh kedamaian, yang sanggup memberi ketenangan batin pada masing-masing pihak, baik suami maupun istri. Keluarga yang penuh dengan cinta kasih. Keluarga yang bahagia dan menjunjung tinggi kesetiaan.
Setiap orang pasti menginginkan pernikahan yang seperti itu. Sebuah pernikahan yang bukan hanya untuk melampiaskan nafsu alamiah semata. Lebih dari itu pernikahan merupakan sebuah diskusi panjang tentang hidup. Pernikahan merupakan tangga untuk berjalan mencapai masa depan. Dan pernikahan menjadi sarana untuk mendapatkan bibit-bibit unggul generasi penerus umat manusia.
Kami berganti baju dengan kostum resepsi yang telah dipersiapkan. Setidaknya setelah busana ijab kabul kami harus berganti casing hingga tiga kali lagi. Pertama kami mengenakan kebaya dan beskap hitam klasik untuk melaksanakan upacara adat Jawa yang dipersingkat karena protes kami berdua. Dalam hal ini kami kompak menolak prosesi adat yang kami pikir tidak praktis, ribet dan terlalu banyak aturan.
Jadi kami hanya mengambil bagian penting dari prosesi adat seperti temu pengantin dan injak telur yang melambangkan pengabdian seorang istri dengan mencuci kaki suami. Prosesi kacar-kucur yang berarti kewajiban suami adalah memberi nafkah pada istri. Terakhir sungkeman minta doa restu pada kedua orang tua agar pernikahan kami membawa berkah bagi semua.
Dari raut muka Mas Ros tampak terlihat tidak menikmati setiap prosesi adat jawa itu. Padahal jika mau meresapi setiap laku ritual mengandung banyak makna. Awalnya aku berpikir tidak penting. Tapi begitu menjalani baru mengerti bahwa ini adalah gambaran yang seharusnya aku lakukan nanti jika telah menikah dan menyandang gelar istri.
Setelah berfoto dengan memakai busana pengantin hitam kami berdua masuk berganti pakaian warna hijau dengan aksen gold dan coklat. Kesan mewah tampak pada kostum kali ini. Aku memakai kebaya kehijauan dengan ornamen emas yang menjuntai panjang hingga mata kaki. Untuk bawahannya berupa rok batik yang menggembung seperti payung. Lengan kebaya melebar pada bagian bawah, dan kerah berdiri membuatku tampak seperti ratu dalam dongeng princess barat. Apalagi bunga melati dilengserkan berganti dengan mahkota mungil.
Aku merasa menjadi seorang ratu yang akan mendampingi sang raja di singgasana kerajaan cinta. Rakyat dalam hal ini tamu undangan, mengelu-elukan kami. Rakyat akan mendoakan kami. Dan rakyat akan melaksanakan segala titah maha raja. Itulah yang aku rasa sekarang. Segala sesuatu telah tersedia, aku tinggal bilang saja pasti akan ada yang datang melayani.
"Ini sungguh melelahkan!" gerutu Mas Ros untuk kesekian kali.
"Sabar," bisikku sambil tersenyum menatap para tamu.
Di antara para tamu akhirnya aku menemukan dua sahabat terbaikku. Mereka melambai-lambaikan tangan dalam antrian untuk mengucapkan selamat pada kami mempelai yang berbahagia. Teman Mas Ros, Pak Genta juga tampak hadir dengan istri dan dua putri kecilnya yang lucu. Tanpa Pak Genta mustahil aku bisa bersanding dengan Mas Ros seperti sekarang ini. Tepatnya dia itu comblang kami.
Terus terang mulutku sampai pegal menguntai senyum lebar. Anehnya, Mas Ros bisa hemat senyum. Dia bisa menahan senyum seminimal mungkin pada para tamu.
"Ila, selamat ya?" teman-teman langsung menghambur ke pelukanku. "Perjuanganmu tidak sia-sia ya?" bisik Cecil sambil melirik Mas Ros. Aku langsung menoleh suami yang sudah sibuk menyalami antrian tamu lain.
"Hei, kalian berdua sudah menimbulkan kemacetan!" tegurku kemudian."Sudah sana! Selamat menikmati hidangan dan makasih sudah datang."
"Sip!" Nita mengacungkan ibu jarinya sambil menuruni panggung pelaminan.
Mereka berdua tahu sejarah jadinya aku dengan Mas Ros. Tentu saja mereka salut, karena aku berhasil menggaet pria setampan Mas Ros. "Kalian pasti iri kan," bisikku pada mereka barusan sebelum aku mengusir mereka.
"Wah, ini dia pasangan paling serasi sedunia." puji Pak Genta saat menyalami kami. "Sid, kamu harus memperlakukan dia dengan baik, jangan kecewakan aku." kata Pak Genta pada Mas Ros. "Promosiku tentang kamu sangat bagus waktu itu, kamu harus berterima kasih sama aku." lanjutnya tertawa keras.
"Tenang saja," jawab suamiku datar.
"Ila, titip Rosid ya. Jangan bikin dia patah hati lagi. Haha...." tawanya membahana lagi di antara suara musik organ.
"Pasti Pak, kan kami sudah menikah. Saya jamin tidak akan ada lagi hati yang patah. Saya akan merawatnya agar utuh selalu." ucapku mantap.
Tamu terus berdatangan. Dan kami harus ganti kostum lagi untuk yang terakhir kalinya. Cukup melegakan, setidaknya kami bisa mencuri waktu sekedar mengisi perut yang mulai demonstrasi.

Book Comment (14)

  • avatar
    Joanna San Patricia

    keren.

    18/02/2023

      0
  • avatar
    TrianVahri

    good

    29/12/2022

      0
  • avatar
    123Kaubohong

    bguss

    17/07/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters