logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Mayat!

"Juragan Selamet kemarin--"
"Ndak! Ndak! Ayah ngapain sih bahas Juragan Selamet terus," potong Dewi kesal.
"Lah, wong ayah mau bilang. Juragan pesan ikannya kalau kita mancing, Wik. Kamu mikirnya apa toh, kok langsung mureng gitu."
"Ya kirain bapak mau jodohin Dewi sama juragan Selamet. Kok ya ogah banget."
Pak Peno terkekeh.
"Makanya, biar gak dijodoh-jodohin, carilah jodoh sendiri."
"Mau cari dimana pak? Di sungai?" tukasnya ketus.
"Ya ndak papa kalau dapat. Siapa tahu dapat putra duyung," ledek ayahnya. Dewi makin kesal.
Langkah mereka semakin dekat dengan area sungai. Tak banyak semak belukar, karena memang biasanya orang-orang ke sungai. Selain itu sungai ini juga dimanfaatkan untuk mengairi persawahan mereka kalau kebetulan musim kemarau. Ya, meskipun dengan diesel cukup mahal. Alias hanya orang-orang kaya desa yang sanggup. Ya semacam juragan Selamet lah.
"Ayah sebelah sini. Kamu cari lokasi lain, Wik."
Dewi mendengkus. Padahal lokasi yang dimaksud ayahnya itu biasanya lokasinya mencari ikan. Huh! Ayahnya bermain licik rupanya. Baiklah, Dewi mencari tempat lain.
Menyisiri pinggiran sungai yang nyaman untuk duduk-duduk.
"Ah, akhirnya dapat juga kan," tukasnya. Menurunkan barang bawaan. Apalagi kalau bukan cemilan dan air minum. Sembari mancing, ditemani singkong dan gembili rebus, mantap bukan.
Terkekeh saat melihat botol aqua isi cacing ada padanya.
"Haha. Ayah mau mancing pake apa coba," tukasnya. Lalu memasang sepotong cacing ke ujung kailnya. Memencet-mencet tubuh cacing gembul itu.
"Selamat menjadi mangsa ikan, cacing imut yang menyebalkan," tukasnya dan melempar kail ke air sungai.
Dengung nyamuk bernyanyi merdu di telinganya. Dan meski dia memakai celana dan kaos panjang, tetap saja nyamuk menghampirinya. Tapi dia mah bodo amat. Tadi di rumah sudah pakai lotion anti nyamuk. Haha.
"Wik, cacingnya weh."
Dewi tergelak. Ayah datang bersungut. Mungkin karena tak kunjung menemukan keberadaannya.
"Makanya, Yah. Ngerebut tempat Dewi sih."
Ayahnya memasang cacing di mata kailnya.
"Ayah disini aja lah," tukasnya duduk sekitar lima puluh meter dari tempat Dewi. Gadis itu mencibir.
"Yee. Akhirnya ngikut juga kan."
"Ya gak papa. Daripada bolak balik ngambil cacing."
"Pakai daunlah, Yah."
"Gak. Yang ada kalau gak kabur ya digerumuti semut."
Terserah ayah deh. Bilang aja kangen sama anak gadis. Gak bisa jauh-jauh, gumam Dewi dalam hati.
Sesaat mereka terdiam. Fokus dengan pancing masing-masing.
"Eh! Eh! Gerak. Yes!"
Ayah melirik iri. Apalagi setelah diangkat ikan Lele dumbo asli sungai yang renyah nan nikmat itu menggelepar di ujung kail sana. Segera Dewi melepas ikan itu, meletakkan di ember.
Rupanya hanya dua kali. Karena setelah itu ayah yang berteriak girang. Dewi mendesah kesal. Hari ini, kesialan untuknya. Lihatlah wajah meledek ayahnya. Aish! Semoga saja permintaan ayah bukan menikah dengan Juragan Selamet. Ayah sedari tadi bahasannya juragan Selamet mulu lagi. Dewi mulai gamang. Pancingnya diabaikan ikan. Nasib... nasib.
Dewi membuang napas kesal saat ayah menjulurkan lidah ke arahnya, meledek. Siap-siap aja, Wik. Kalau sampai ayah memaksanya menikah dengan juragan Selamet, mending dia minggat. Ogah banget nikah dengan tua bangka itu. Meski kaya dan dapat warisan banyak, tapi... ih! Mana sudi.
"Siap-siap, Wik," tukas Ayah meledeknya. Dewi mendengkus. Kesal, mengganti cacing dengan yang baru. Dan melempar yang lawas ke arah asal. Hatinya panas karena baru kali ini dia dikalahkan ayahnya.
Tak lama kailnya bergerak-gerak. Dalam hati Dewi bersorak. Harapannya timbul kembali. Menarik semangat pancingnya.
"Yeay! Dapat--!"
Ucapannya terhenti saat ternyata yang nyantol adalah sebuah baju. Ayah terbahak. Kesal Dewi membuang baju itu. Lalu mengambil beberapa cacing meletakkannya dalam daun.
"Mau kemana, Wik?"
"Nyari tempat. Ayah curang. Ikannya dijampi semua."
Ayah tergelak. Membiarkan putrinya mencari tempat lain. Atau malah kembali ke tempat favoritnya.
Senyam senyum mendapat ikan yang tak biasa. Dalam bayang ayah, kali ini benar-benar keberuntungannya. Memikirkan hal apa yang akan beliau minta dari putrinya. Hingga, suara jeritan Dewi mengagetkan lamunannya.
"Aaaaa!"
Gegas Ayah melempar pancingnya dan menuju arah teriakan putrinya.
"Dewi ada apa?"
Dewi menatapnya dengan raut pucat. Menunjuk pinggiran sungai. Netranya ikut membulat terkejut.
"A-ada mayat, Yah."
Seorang pria tanpa memakai baju tersangkut ke akar pohon yang besar. Kulit putih pucatnya semakin kelihatan pucat. Hati-hati pak Peno menuruni sungai untuk memeriksanya.
"Ha-hati-hati, Yah. Siapa tahu dia hidup lagi," celetuknya.
Pak Peno menarik tubuh itu hingga berbalik telentang.
Degh! Kenapa tampan. Dewi spontan cengo. Terpaku dengan wajah di depan sana. Sayang sekali, pucatnya itu yang membuatnya keder.
"Ma-mati, Yah?" tanyanya meski dalam hati berharap tidak. Sayang sekali ganteng-ganteng mati mengenaskan begitu. Pak Peno memeriksa denyut nadinya, menggeleng.
"Dia, masih hidup, Wik."
Degh!
Jantungnya berdetak keras lagi.
"Ka-kalau begitu, bantu dia naik, Yah. Cepat."
Berdua mereka bahu membahu membawa pria itu ke atas. Dingin sekali badannya.
"Yah, bagaimana ini?"
Meski tampan, tapi kalau sepucat ini, siapa yang gak takut sih. Apalagi di dekat sana ada kuburan. Takutnya ini cuma jebakan penghuni sana.
Pak Peno memeriksa sekujur badan pria itu. Menemukan luka di bagian belakang kepala.
"Sepertinya dia memang sengaja hendak dibunuh, Wik."
Seketika bulu kuduk Dewi merinding. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesekali melirik belakangnya. Siapa tahu pembunuh ini masih ada disekitar sini.

Book Comment (109)

  • avatar
    Yaya Yayaa

    5 STARS

    13d

      0
  • avatar
    AviantinoAudy

    bagus

    26/05/2023

      0
  • avatar
    Tasya Caroline

    good

    03/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters