logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Bertemu Orang Asing

Kembali lagi pada pemuda tampan nan dingin itu.
Pukul setengah tujuh malam, dia baru menginjakkan kakinya ke rumah. Kantor adalah rumahnya yang utama, karena itu wajar saja di lebih betah menghabiskan waktunya di kantor daripada di rumahnya sendiri.
Namun, baru saja kakinya menginjak ruang tengah, atau ruang keluarga, langkahnya dihentikan oleh suara papanya.
"Kohar kamu pecat, Al?"
Pria itu menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah keberadaan papa dan saudara laki-lakinya, Alex.
"Sini, duduk dulu."
Terpaksa Alfard memutar tubuhnya. Duduk di sofa dengan kaki bersila, angkuh.
"Kamu tahu sendiri kan, sudah berapa lama Kohar bekerja pada keluarga kita?"
"Hm." Alfard hanya mendehem.
Sekali lagi, tak ada yang terkejut dengan sikap dingin dan kurang ajar pria ini.
"Lalu, kenapa kamu langsung memecatnya? Papa dengar dia terpaksa melakukan itu karena istrinya tengah operasi?"
Senyum asimetris tersungging di bibir pria itu. Mengalih pandang pada kakaknya yang sedari tadi diam saja. Dia sudah menerka siapa yang mengadu disini.
"Huh!" desisnya dengan senyum remeh.
"Apa pantas benalu dipertahankan?" ujarnya lirih tapi tegas.
Pak Brata hanya bisa menghela napas. Resiko yang harus ditanggung saat menunjuk Alfard ya seperti ini. Selain keputusan mutlak miliknya, dia juga lumayan sulit di kendalikan. Ketegasannya sangat sempurna. Sempurna untuk sulit di takhlukkan. Sekali salah, tak ada kata maaf baginya. Untung saja perusahaan naik pesat di tangannya.
"Memang tidak. Tapi, setidaknya berilah dia kesempatan kedua untuk merubahnya. Anggap saja balas budi keluarga kita atas dedikasi dia selama ini."
"Dedikasi?" Kini decihan kembali terdengar.
"Bodoh!"
Bahkan papanya saja dia bodoh-bodohkan. Ayolah, salah siapa mencetak anak sesadis ini?
"Memberi kesempatan pada singa sama saja dengan memberi kesempatan membunuh diri. Masih untung aku tidak menuntutnya dengan penjara bukan? Hanya--" dia menghentikan ucapannya.
"Menyita rumah yang dia beli dengan uang itu," lanjutnya dengan penuh penekanan.
Papa dan Alex tak mampu berkata-kata lagi. Rumah? Apa maksud Alfard?
Pemuda berusia dua puluh sembilan jelang tiga puluh itu meraih tasnya kembali. Berdiri dengan segenap kekakuannya.
"Kalian terlalu polos untuk dibodohi dia. Siapa istri yang dia bilang operasi? Ah, mungkin simpanannya. Karena nyatanya, dia baru saja membeli rumah. Kalian masih tidak percaya? Baiklah. Kalian berdua memang bodoh!"
Pak Brata menahan kesalnya. Entah sudah berapa kali dia dikatai bodoh. Beda dengan Alex yang sedari tadi memasang wajah datarnya.
Alfard melangkah pergi, meniti satu persatu anak tangga tanpa menoleh, apalagi meminta maaf atas ucapan kasarnya. Pria yang tak punya hati.
"Argh! Punya salah apa papa dimasa lalu. Punya anak keras kepala sekali," ucap pak Brata, memijit pelipisnya.
"Bukannya dia mewarisi papa?" sergah Alex.
"Setidaknya papa tidak sekurang ajar dia. Haish! Andai wasiat kakekmu itu tidak--- ah, sudahlah."
Alex faham yang dimaksud papanya. Alfard adalah adik sau-satunya. Mama mereka telah pergi sejak usia Alfard sepuluh tahun. Meninggalkannya, dan juga Alfard yang mendadak menjadi pria yang menyebalkan.
******
Pria itu melangkah memasuki kamarnya yang monokrom. Hanya ada warna hitam putih dan semi abu-abu di dalamnya. Entah itu dari dindingnya, sprei, bantal, meja, dan furniture lain. Sejauh mata memandang kamar luas ini hanya warna itu yang tersaji. Benar-benar merasai dalam dunia kartun yang sepi warna. Bahkan, kalau kalian mencoba membuka lemarinya, maka yang kalian dapati hanyalah pakaian dengan warna gelap. Satu-satunya yang cerah hanyalah warna putih. Sesuram itu hidupnya.
Dan satu lagi yang memberi nuansa sedikit cerah dari kamar pria dingin itu, yaitu lemari berisi action figure favoritnya. Kebanyakan dibelikan oleh mamanya. Karena itulah dia simpan rapi dan memberinya tempat khusus.
Pria itu meletakkan tas di atas meja kerjanya, dan menggantung jas di tempatnya. Melepas dasi yang mengikat kerahnya. Dan membuka satu persatu kancing kemejanya. Melemparnya ke keranjang baju kotor. Mematut badan atletisnya di cermin depan sana. Tubuh atletis yang apabila dia tunjukkan, akan membuat ciwi-ciwi menjerit histeris. Sebelah tangannya meraba bekas luka di perut atas bagian kiri. Itu adalah luka akibat kecelakaan bersama mamanya sembilan belas tahun yang lalu. Ingatan kasar akan kecelakaan itu yang membuatnya berubah menjadi Alfard yang pendiam. Dan lama kelamaan berubah dingin. Dia tahu, ada yang belum tersingkap dari kejadian belasan tahun lalu itu.
Dering ponsel sejenak menghentikan lamunannya. Melangkah malas mengambil ponselnya. Lagi-lagi nomor tak dikenal.
"Aku menunggumu di gedung reruntuhan bekas PT. Sugar Free."
Alfard tersenyum sinis.
"Pengecut!" desisnya lirih. Mengambil kaos hitam pendeknya dan memakai cepat. Lalu mengambil kunci mobilnya lagi. Tanpa perlu merapikan penampilannya.
Sudah beberapa kali nomor tak dikenalnya meneror dirinya. Dari chat yang gak penting, sampai yang berbau ancaman. Tapi kali ini, chat dari orang tak dikenal ini mengatakan bahwa dia adalah dalang dari kecelakaan yang menimpa dirinya dan mamanya beberapa tahun yang lalu.
Kenapa Alfard mengatainya pengecut? Ya! Saat melakukan aksinya saja dia berani, tapi untuk menunjukkan diri, dia terlalu pengecut. Tapi karena rasa penasaraanya, Alfard nekat mendatanginya. Melihat dengan mata kepala sendiri orang yang telah merusak kebahagiaannya itu.
"Fad, mau kemana?"
Dia adalah Suzy, istri Alex.
"Bukan urusanmu!" Menepis kasar tangan Suzy yang sempat tersampir di lengannya.
"Tapi, ini sudah malam, Fad. Dan kamu bahkan baru datang, belum makan, kan?"
Alfard menatap tajam pada wanita itu. Tapi, Suzy ini terlanjur jatuh dalam pesona Alfard. Dia bahkan tidak peduli dengan tatapan mengerikan dari adik iparnya ini.
"Urus saja suami bodohmu itu. Jangan mengangguku," ucapnya tegas dan tajam.
"Tapi, Fad. Aku--"
"Sayang... masih lamakah?"
Mendengar panggilan Alex, Suzy menghentikan aksinya. Tadinya dia mau ke dapur mengambilkan minum untuk suaminya. Tapi karena melihat adik iparnya keluar dengan langkah terburu, membuatnya  alih tujuan.
"Ah! Iya! Sebentar lagi," jawabnya.
"Sial! Gara-gara pria bodoh itu. Aku kehilangan kesempatan bicara dengan Alfard," dengkusnya.
Karena nyatanya Alfard langsung melengos pergi.

Book Comment (109)

  • avatar
    Yaya Yayaa

    5 STARS

    13d

      0
  • avatar
    AviantinoAudy

    bagus

    26/05/2023

      0
  • avatar
    Tasya Caroline

    good

    03/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters