logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

My Annoying Husband

My Annoying Husband

FitriElmu


Chapter 1 CEO Sadis

Sebuah pusat kota, tepatnya perusahaan Dynamite Corp. Seorang pria muda dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter keluar dari mobil Lamborghini hitamnya. Gurat wajah yang tegas dan sorot mata yang penuh intimidasi. Setiap langkahnya adalah ketegasan. Karyawan yang dilewatinya langsung menundukkan kepala, berbaris rapi. Atau kau akan berakhir kena semprot. Syukur-syukur kalau hanya dimarahi, bahkan tak jarang langsung kena pecat.
Ya, dia adalah Alfardo Geovino Bratayudha,
putra kedua pemilik Dynamite Corp. Terkenal berwajah tampan tapi bengis dan bertangan baja. Mata elangnya sanggup menemukan kesalahan sekecil apapun,  dan meski itu tersembunyi sekalipun. Mulutnya jarang berkata, tapi sekali bicara, pedang dari zaman empu gandring pun keluar. Alias menebas habis mereka yang bekerja diluar peraturan perusahaan. Jangankan mimpi untuk leha-leha sejenak, ketahuan mengantuk saja pedang emasnya keluar. Dia pemimpin yang kelewat tegas. Wajar saja ayahnya memilih dia daripada kakaknya yang sementara ini malah hanya menjabat sebagai wakilnya.
Jika melihat karakter kejamnya, maka wajar sekali sampai umurnya yang hampir menginjak tiga puluh, dia sama sekali belum mempunyai calon pemdamping. Tapi jangan dikira tak ada yang suka padanya. Banyak. Hanya saja senyum sinisnya meruntuhkan mimpi para gadis. Memang siapa yang sanggup hidup bersama pria arogan sepertinya. Gila! Siapa yang siap mengorbankam hidup indahnya bersama pria dingin? Tak ada. Kecuali satu, Suzy, putri rekan papanya. Tapi dia juga wanita yang sama-sama keras. Dan karena suatu hal, Alfard tidak pernah bersikap keras pada wanita itu. Tapi dingin, itu tetap berlaku. Dia tetap tak mau melirik gadis itu.
Pagi ini, dia baru saja memecat kepala bagian keuangan, pak Kohar. Terbukti pria itu menggelapkan uang perusahaan sebanyak dua puluh Milyar.
"Pak, tolong ampuni saya. Saya berjanji tidak akan--"
"Seret dia keluar!" Satpam mengangguk. Menyeret pak Kohar yang meski sudah berkali-kali minta pengampunan.
"Pak, tolong maafkan saya. Istri saya sakit, butuh pengobatan dan biaya yang besar. Pak! Pak!"
Alfard memalingkan wajahnya. Pantang baginya mencampurkan masalah pribadi dan perusahaan. Dua puluh milyar, hmm... apakah dikira urusan uang perusahaan adalah mainan baginya? huh! Meski sebenarnya tak seberapa baginya, tapi penting untuk menjaga agar tak ada lagi pegawai yang selancang itu.
"Al, apa itu tidak terlalu kejam? Tolong beri kesempatan bagi pak Kohar. Dia selama ini banyak membantu perusahaan," ucap Alex,  kakak Alfard.
"Membantu katamu?" Pria muda itu terkekeh sinis.
"Membantu atau merugikan, hm? Benalu sepertinya jika tidak cepat dipotong, yang ada akan merusak dahan yang lain."
"Tapi, Al--"
"Diamlah! Kau itu terlalu lemah! Pantas saja, perusahaan  bisa hancur ditanganmu."
Alex terdiam. Meski bukan sekali dua kali dia mendapat kata kasar dari Alfard, tapi dia tak pernah menyelai. Menghela napas memandangi punggung adik satu-satunya itu.
"Kau mengundang musuh untukmu sendiri, Alfard," ucapnya pelan.
******
Berbeda dengan Alfard, Alex mempunyai kepribadian yang lebih lembut. Hal itu juga lah yang membuat ayahnya memilih Alfard sebagai penerusnya. Meski Alfard bersikap dingin, tapi karenanya juga perusahaan mengalami peningkatan yang pesat.
Alex sudah beristri tapi masih tinggal bersama orang tuanya, dan tentunya bersama adiknya Alfard juga. Makanya sikap dingin dan kurang ajar Alfard baginya adalah hal biasa. Apa yang perlu dia herankan dari pria dingin itu jika sekali marah saja kata mutiaranya  dia dengar?
Alfard lebih muda lima tahun darinya, tapi Alfard seolah punya segalanya.
******
Sementara beratus kilometer, disebuah pedesaan, terlihat seorang gadis yang tengah mengejar-ngejar ayam karena merusak tanamannya.
"Dasar ayam kurang ajar. Pengen makan kerja, gak cuma bisanya nyuri tanaman tetangga!" makinya, karena itu bukan ayamnya sendiri, melainkan ayam tetangga.
"Wik! Udah! Biarin aja!" Pak Peno, atau nama lengkapnya Supeno Aji Darma, ayah dari gadis itu.
"Enak aja makan tanaman orang. Emang gak ngotak yang punya. Makanya ayam tuh disekolahin, biar pinter," omelnya.
"Awwwh!" Justru jitakan ayahnya yang mampir di kepalanya. Dewi meringis.
"Yah, kok aku yang dijitak sih?" protesnya.
"La kamu itu gendeng, Wik. Namanya ayam mbok kamu omelin juga, gak bakal paham. Paling gak ada lima menit ya balik lagi. Makanya kamu yang jadi manusia cerdas dikit. Belikan wareng sana!"
"Gak ada duit, pak," sungutnya.
Pak Peno menghirup rokoknya dalam dalam. Punya anak satu saja bikin kepalanya pusing. Sayang sekali, anak tunggal satu-satunya peninggalan istrinya. Kalau saja ada anak yang lain, mungkin Dewi sudah pak Peno gadaikan dengan sawah.
Usia Dewi sudah dua puluh lima tahun. Bagi orang kampung, usia Dewi ini sudah dianggap perawan tua. Bukan karena dia tak laku. Tidak. Banyak pemuda yang mengincarnya. Apalagi yang baru pertama kali bertemu, mereka akan langsung jatuh cinta. Tertarik dengan wajah manis Dewi. Bulu mata lentik memanjang yang seimbang dengan alis memanjang rapi. Hidung bangir manis, juga lesung pipit dan gingsul yang mengintip saat dia tertawa. Kulitnya juga kuning langsat.
Bagi ukuran orang kampung, bolehlah dia dianggap kembang desa. Apalagi kalau dia hidup di kota dengan stok skincare dan salon yang memadai, bisalah disulap menjadi bidadari. Cuma satu yang bikin mundur, sikap bar-barnya itu yang bikin para pemuda kabur duluan. Mana betah mereka menjalani rumah tangga dengan wanita yang cantik tapi galak. Apalagi para calon ibu mertua, keder duluan. Dewi adalah calon menantu yang patut dihindari demi harga diri seorang mertua.
Tapi, itu bukan masalah bagi Dewi. Dia mah santai saja. Nikah bukan prioritasnya. Entah apa yang gadis itu pikirkan, tak ada raut pengen nikah. Seperti teman-teman atau malah yang dibawah umurnya yang sering lebay berbaper-baper pada hal yang gak penting.
Pun kalau ada tetangga yang menanyakan kapan nikah, alih-alih bersedih atau marah, Dewi mah santai saja. Memang kalau dia nikah tetangga mau bikinin dia resepsi besar-besaran? Gak kan? Mau memberi nafkah kalau semisal suaminya miskin? Idih! Mana mungkin.
Dahlah, jenis seperti Dewi patutnya dimuseumkan saja. Bahaya.
Desa Asri Mulya adalah desa yang pelosok. Letaknya jauh dari perkotaan. Penduduknya mayoritas adalah bertani. Tak jauh dari desa, ada sungai besar yang menjadi pembatas antara desa Asri Mulya dengan desa sebelah. Sungai itu terletak di dekat area persawahan dan dekat dengan lokasi pemakaman. Menambah kesan angker tersendiri. Apalagi kalau malam-malam nekat jalan sendirian. Hiiy! Eh! Tapi ini bukan kisah mistis ya.
"Weh, nyore pakde," sapa seorang pemuda berbadan lumayan tambun. Menghentikan laju motornya demi menyapa pria paruh baya dan anak gadisnya yang tengah nongkrong sore di teras rumahnya. Rohim namanya, pemuda berusia setahun diatas Dewi, anaknya pak kadus.
"Iyo, Him. Mampir."
"Inggih, pakde," jawabnya melirik Dewi yang sedang asyik membenarkan kail pancingnya.
"Mau kemana, Him?" tanya pak Peno lagi melihat karung di boncengan motor pemuda itu.
"Nganter singkong tempatnya lek Piyan."
Pak Peno manggut-manggut.
"Monggo, pakde."
"O iya."
Rohim melajukan motornya. Sengaja di tadi berhenti untuk menyapa sekaligus melihat wajah pujaannya. Ya, Rohim diam-diam mengagumi Dewi. Tapi sayang, belum apa-apa keluarganya sudah mewanti-wanti untuk menghindari wanita jadi-jadian jenis Dewi.
"Pak, besok jadi mancing kan?"
"Oh iya jadi. Besok taruhannya apa?"
Biasa. Mereka kalau mancing, bakal taruhan. Siapa yang mendapat ikan paling banyak plus besar-besar berhak memberi permintaan pada yang kalah. Memang ayah sama anak sama-sama aneh.
"Emmm, apa ya? Oh itu. Belikan waring buat nangkal ayam tetangga yang super reseh."
"Lah, bapak kan--"
"Duit rokok dong. Dipangkas."
Pak Peno manggut-manggut. Gampanglah, nanti kalau kalah pura-pura saja main ke tempat tetangga. Biasanya kan disuguhi rokok. Lumayan.
"Baik."
"Kalau bapak minta apa?"
"Besok, kalau ayah yang menang, ayah baru bilang. Ini rahasia," ucapnya setengah berbisik. Dewi terbahak.
"Halah. Bilang aja ayah udah yakin kalah kan?" ledeknya. Memang, biasanya pak Peno ini kalah saing dengan Dewi. Entah ilmu memancing apa yang dia pakai. Padahal dia ini wanita, tapi kalau urusan memancing, dia juaranya. Makanya kalau sampek pak Peno menang, sepertinya anugerah terbesar. Ah, bayangan uang rokok melayang. Tapi ya sudahlah, pak Peno juga suka dengan tantangan.
"Oke deh. Deal. Pancing kesayangan, besok kamu harus menang lagi," ucapnya menepuk-nepuk dan  menciumi pancingnya.
Pak Peno bergidik. Nyidam apa dulu istrinya punya anak gadis seaneh ini.
*wareng: jaring kecil untuk menutupi tanaman. Pengganti pagar.

Book Comment (109)

  • avatar
    Yaya Yayaa

    5 STARS

    13d

      0
  • avatar
    AviantinoAudy

    bagus

    26/05/2023

      0
  • avatar
    Tasya Caroline

    good

    03/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters