logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Aku Tidak Tertarik Untuk Main Sama Kamu

Cahaya menatap jemu. Sesekali memutar bola mata. Lalu tatapannya kembali pada Varel yang sedang mengaduk-aduk isi tas.
"Aku rasa tertinggal di rumah, Ay," ucap Varel sambil menumpahkan semua isi tasnya ke meja kantin. Gadis itu berdecak sebal sambil menyingkirkan dua mangkuk mie ayam yang telah kosong.
"Padahal sudah aku ingatkan semalam," cetus Cahaya sebal.
"Buang-buang pulsa saja kalau begini." Cahaya mengerucutkan bibir sambil membuang wajah ke arah lain.
"Kamu mengirim pesan, Ay?"
"Aku menelepon kamu." Ujung suara Cahaya terdengar tidak yakin.

“Hmm ... Sepertinya." Cahaya mencoba untuk mengingat, sebenarnya semalam dirinya sempat menelepon Varel atau tidak?
"Lalu bagaimana?"
"Ya sudah. Kita ambil ke rumahku saja." Mata Cahaya membulat mendengar ucapan Varel.
"Kita?" Cahaya menunjuk dirinya dan lelaki tersebut dengan tidak yakin. Tapi Varel mengangguk mantap.
"Ini semua kan kesalahan kamu!" Cahaya bersungut-sungut.
"Kamu butuh datanya tidak? Kalau tidak mau juga tidak apa-apa." Gadis itu mendengus. Membuat Varel menjulurkan lidah, merasa menang.
"Oke, aku ambil ke rumah kamu nanti."
Setelah semua mata kuliah selesai, Cahaya duduk di atas motornya. Begitu melihat Varel datang, gadis yang sudah memakai helm itu menyalakan motor. Tapi Varel hanya terdiam memerhatikan. Melipat tangan di depan dada dan menatap tidak suka.
"Ayolah." Cahaya berkata jemu.
"Aku tidak akan mempercayakan diri lagi untuk berada di belakang, dibonceng oleh kamu," semburnya sok kuasa.
"Aku tidak suka dibonceng seorang perempuan." Varel kembali menegaskan.
Memang selama Cahaya menjadi 'ojek pribadi’ Varel, Varel sendiri yang selalu membonceng Cahaya hingga sampai di apartemen Ardian yang ditempatinya. Begitu sampai, Varel akan turun lalu menyerahkan motor pada Cahaya kembali. Lalu gadis itu melanjutkan perjalanannya ke rumah.
"Dan aku tidak mau jatuh dari motor yang sama, dengan orang yang sama untuk kedua kalinya," tambah Cahaya semakin ketus membuat Varel menghela napas panjang.
"Baiklah, kamu ikuti saja taksiku. Nanti kita bertemu di rumah. Tapi jangan lama-lama. Hari ini jadwalku padat sekali. Kamu kan tahu, motor tidak bisa lewat jalan tol." Varel menjawab tak kalah ketus.
Cahaya cemberut. Dengan sangat tidak rela bergeser ke belakang. Membuat lelaki itu tersenyum puas. Duduk di depan dengan jumawa.
"Awas kalau jatuh lagi," ancamnya ketika Varel menyalakan motor lalu meninggalkan pelataran kampus.
Cahaya tidak berbicara lagi. Hatinya ikut merasakan semilir angin yang membelai wajah.
"Varel!" Cahaya memekik kecil ketika motornya oleng dan dengan refleks memeluk lelaki itu.
"Tuh, kan. Pokoknya kalau sampai jatuh lagi, kali ini aku menuntut ganti rugi!"
Varel hanya tersenyum. Diliriknya sepasang tangan yang melingkari perut. Senyum itu berubah jadi seringai. Semakin lebar.
Motor itu berhenti di depan sebuah rumah mewah. Cahaya segera turun dari boncengan, lalu membuka helm. Menatap takjub pada motornya yang tidak mogok sepanjang perjalanan. Mungkin motornya ini pun berjenis kelamin wanita juga. Selalu tertarik dan mencoba memberi yang terbaik pada cowok ganteng.
Varel membunyikan klakson motor. Tidak lama, seorang anak remaja tanggung keluar sambil membawa serenceng kunci. Sedikit gugup ketika membuka gerendel gerbang. Ia mempersilakan mereka masuk sambil membungkuk hormat.
"Hai."
Cahaya tersenyum lebar ketika anak lelaki itu mencuri pandang ke arahnya.
Varel memarkir motor di sebelah mobil Ardian. Ada banyak mobil yang parkir di garasi rumah yang luas itu. Cahaya mendongak memandang rumah besar tersebut. Selama ini ia hanya melihatnya dari balik pagar--ketika sesekali mengantar Varel pulang.
Tiang-tiang besar dan tinggi terpancang di depan rumah bergaya mediterania itu. Dengan balkon yang melengkung di sisi kiri dan kanannya.
Jendela-jendelanya terpasang tinggi. Terlihat begitu mewah dan elegan. Cahaya menelan ludah ketika mengamati rumah mewah bernuansa putih dan terakota tersebut. Ia merasa rendah diri di ajak masuk ke dalam bangunan yang lebih pantas disebut istana itu.
Cahaya lupa, selama ia hanya menganggap Varel sebagai lelaki gondrong dan pemalas yang hobi mengusilinya. Ia melupakan perbedaan strata sosial di antara mereka.
"Sepertinya Mama ada acara arisan." Varel bergumam memandang deretan mobil-mobil mahal itu. Tidak menyadari ekspresi gadis yang diajaknya. Cahaya mengikuti Varel memasuki rumahnya. Ia tidak boleh kehilangan lelaki itu kalau tidak ingin disangka sebagai penyusup.
Sepasang kakinya hati-hati menyentuh lantai marmer. Ia semakin takjub saat melihat ruang tamu rumah Varel. Sebuah ruangan yang luas dengan langit-langit yang begitu tinggi. Sebuah lampu kristal berat dan mewah dan elegan dan mahal tampak menghiasinya. Foto keluarga Setya Amru terpasang di salah satu sisi tembok.
Mungkin foto itu diambil ketika Varel remaja, dan ayahnya masih hidup. Ia pernah bercerita kalau ayahnya meninggal ketika ia masih sekolah tingkat pertama.
Varel berjalan menaiki tangga melingkar yang berada di ruangan itu. Ia menoleh dan mendengus sebal.
"Cepatlah. Aku tidak mau kamu tersesat di rumahku." Cahaya mengejar Varel yang sudah menaiki tangga. Kali ini ia tidak membantah. Menaiki anak tangga masih dengan perasaan terkagum-kagum.
Cahaya mengikuti Varel yang masuk ke dalam sebuah ruangan. Ternyata sebuah kamar tidur. Ranjang ukuran besar memenuhi ruangan tersebut.

"Kamarku," seru Varel dengan penuh kebanggaan. Refleks gadis itu merapatkan tangan ke depan dada. Varel mengernyitkan alis, kemudian paham dengan sendirinya. Ia menoyor kepala Cahaya.
"Aku tidak tertarik untuk main sama kamu. Hanya akan mengotori kamarku saja."
Apa? Pelecehan! Cahaya mengembuskan napas dengan kesal. Menyabarkan diri. Varel berada di kandangnya sendiri. Kali ini ia berkuasa penuh. Awas saja kalau sudah di luar nanti.
Varel tertawa geli. Tanpa sadar mengacak-acak rambut Cahaya. Membuat sebagian poninya menutupi mata. Lelaki itu sedikit terkejut dengan sikapnya sendiri. Tapi mencoba bersikap biasa. Ia terlalu senang melihat sikap Cahaya yang semakin jinak.
"Duduklah. Aku ambilkan datanya dulu." Varel menghilang di balik pintu.
Pandangan Cahaya menyapu kamar tidur itu lekat-lekat, menatap tak percaya. Kamar ini terlalu apik untuk ukuran seorang Varel. Ia sudah membayangkan sebuah ruangan berantakan, dengan sprei yang tidak terpasang pada tempatnya lagi, juga buku-buku yang tersebar di seluruh penjuru. Cahaya mengeluh kecewa. Kamar ini menghancurkan imajinasinya tentang kamar seorang Varel.
Cahaya meraba sofa marun yang ia duduki. Terasa begitu lembut. Mengingatkannya pada Nawan. Entah kapan ia bisa membelikan ibunya sebuah rumah seperti ini.
Gadis itu bangkit dari sofa. Berjalan ke arah jendela besar di kamar tersebut. Menempelkan tangannya ke sana. Oh, ternyata bisa dibuka, dan ini bukan sebuah jendela.
Cahaya menggeser pintu kaca itu lalu melangkah ke balkon. Ia memerhatikan sekumpulan ibu-ibu yang sedang berkerumun di sebuah taman. Cahaya tersenyum-senyum melihatnya. Mencoba mencari seorang perempuan yang mirip di dalam foto tadi. Tapi sebuah suara menyentaknya.

Book Comment (42)

  • avatar
    BotakGopal

    trimakaih

    6d

      0
  • avatar
    YaomiYaomi

    good

    8d

      0
  • avatar
    GUNAWANHENDRA

    bgus

    22d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters