logo
logo-text

Download this book within the app

Bang Uwod

"Yes. Merdeka!" Varel mengepalkan tangan, lalu mengacungkan jari tengah dan telunjuk di depan wajahnya saat mata kuliah terakhir selesai. Ia membuka seluruh kancing kemejanya. Menampakkan kaos putih di balik kemeja tersebut. Cahaya hanya mengangkat sebelah alis melihat tingkahnya. Ia mencatat sesuatu lalu memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Heran, tadi mengantuk sekali, tapi kok sekarang mataku malah segar.“ Varel menggoda seorang gadis yang melewati mejanya. Gadis itu tersenyum malu-malu. Melangkah pergi sambil sesekali melirik Varel dari balik bahunya. Cahaya mencibir melihat tingkah mereka.
“Apa lihat-lihat? Ada yang aneh?" tanya Varel tengil, macam preman terminal. Cahaya menaruh telunjuknya di dahi. Menariknya hingga melewati telinga sambil bergaya seperti orang tercekik. Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia harus baik-baik dengan lelaki satu ini.
“Reeel …“ Gadis dengan kemeja panjang yang tergulung hingga siku itu mulai melancarkan rayuan. Tapi Varel memandangnya aneh.
“Apa sih? Kok seperti suara kambing.“ Cahaya melotot sebal. Memang sebaiknya jangan bermanis-manis terhadap makhluk satu ini.
“Pinjamkan aku data pengunjung PF dong. Untuk skripsiku.“
“What?"
“Dulu kamu pernah menawarkan.“ Cahaya mengerjapkan mata beberapa kali. Membuat Varel bergidik. Gadis itu memang payah dalam hal melancarkan rayuan.
“Memang aku pernah bilang begitu? Mungkin waktu itu aku sedang di bawah pengaruh hipnotis.“ Varel menggaruk kepala, pura-pura mengingat.
Sabaarr ... Sabaarr ...
“Pasti lupa,“ Varel menyeringai melihat senyum semanis madu. Seandainya gadis ini selalu bersikap begini setiap hari.
“Ya sudah. Nanti aku mintakan Kak Ardian.“
“Jangan lupa. Aku sangat amat begitu membutuhkannya," tambah Cahaya semakin manja.
Varel mengangguk mantap.
“Ya sudah, aku duluan ya. Hari ini tidak bisa antar kamu,“ tukas Cahaya melupakan nada manjanya tadi.
Senyum Varel menghilang. Ia sudah mau protes.
“Aku mau kerja dulu,“ tukas Cahaya. Sepasang alis tebal milik Varel terangkat naik.
“Kamu serius waktu bilang menerima pekerjaan menjadi penjual minuman, Ay?" Varel menatap tidak suka. Cahaya mengangguk sambil tersenyum, menyelempangkan tasnya. Memperbaiki posisi tas itu supaya nyaman dikenakan. Juga memperbaiki posisi bandul kalungnya.
“Hati-hati, Ay. Kota besar ini rawan kejahatan. Apalagi kalau malam hari. Apalagi kamu perempuan ..." Varel membelokkan omongannya. Tidak ingin terlihat sedang mengkhawatirkan gadis tersebut.
“Eh, tapi sepertinya orang pun harus melihat dengan kaca pembesar untuk meyakinkan kalau kamu itu perempuan." Cahaya hanya mendengus mendengar tawa keras itu. Malas membalas karena ia sudah hampir terlambat.
***
Cahaya tidak jadi memasukkan kunci motornya ketika seseorang memanggil. Gadis yang tadi digoda Varel berjalan mendekat bersama seorang temannya.
"Hai, Cahaya," sapanya sok akrab. Gadis itu tersenyum sambil membalas. Mencoba mengingat-ingat nama mereka.
"Kamu akrab ya dengan Varel?" Gadis yang tadi digoda Varel menyikut temannya.
"Reen ...," bisiknya lirih. Okee, jadi nama temannya ini 'Reen'.
"Jangan to the point gitu dong." Wajah gadis itu memerah. Cahaya memandang mereka bingung.
"Ah, kamu malu-maluin deh. Sudahlah, biar aku yang tanyakan." Reen terlihat tidak sabar.
"Kamu temannya Varel kan?" Cahaya mengangguk. Mencoba menebak maksud mereka.
"Apa Varel sudah punya pacar?" Cahaya melihat wajah gadis di sebelah Reen yang semakin merona.
"Setahuku sih belum. Tidak tahu juga kalau di luar sana." Ups, sepertinya ia salah bicara. Begini deh kalau kebanyakan bergaul dengan Varel. Bicara tanpa dipikir-pikir lagi. Ia melihat kekecewaan yang jelas di mata gadis itu.
"Sepertinya sih belum. Dia kan jomblo sejati." Cahaya nyengir sambil meralat jawabannya. Kedua gadis itu memekik pelan.
"Kalau begitu salam ya buat Varel, dari Daisy." Reen berkata lagi.
"Oke, nanti aku sampaikan. Ada lagi?" Kedua gadis itu saling lirik. Mata Cahaya ikut berputar menatap kedua gadis. Duh, dia jarang bergaul dengan sesama perempuan. Jadi agak susah memahami sifat mereka.
"Aku mau bekerja." Cahaya tersenyum aneh. Merasa tidak enak ditatap seperti itu oleh kedua gadis. Kesannya seperti enggan berbicara dengan mereka.
"Kalau terlambat satu menit kena potongan sepuluh ribu." Ia menyeringai lucu. Membuat kedua gadis tertawa maklum dan membiarkannya pergi.
"Sebentar, Cahaya!" Gadis itu hampir terlonjak dari motornya mendengar teriakan cempreng tersebut.
"Apa Varel sedang mendekati kamu?" Cahaya hampir tersedak menahan tawa mendengar pertanyaan Daisy.
Dirinya? Dan Varel? Pedekate? Ha-ha-ha.
Tiba-tiba ia membayangkan Varel dengan kemeja, berdasi, juga jas dan celana serba putih, di antara hamparan kebun mawar berwarna putih, sedang melepaskan seekor burung dara. Ia menoleh dan tersenyum melihat kedatangan Cahaya. Baiklah, kali ini senyum itu membuat ketampanan Varel menjadi berlipat ganda. Rambutnya yang tersisir rapi ke belakang juga membuatnya terlihat berbeda. Ia berlutut, mengulurkan tangan pada Cahaya, yang segera disambut gadis tersebut. Ia mengecup punggung tangan gadis itu sambil tak lepas memandang.
Varel meraih sebuket mawar putih di atas meja, lalu menyerahkannya pada Cahaya. Gadis itu menerimanya dengan semringah. Mendekatkan hidungnya untuk mencium keharuman mawar tersebut.
Tapi seekor binatang terbang keluar dari buket bunga itu. Berputar-putar di kepala Cahaya, lalu hinggap di dahinya. Mata Cahaya sampai jereng merasakan makhluk yang hinggap di dahinya tersebut.
"Diam, Ay. Jangan bergerak!" Varel berdiri di hadapannya sambil membawa tepukan lalat.
"Akhirnya ketemu juga. Ini dia yang menyengat tanganku waktu aku memetik mawar tadi." Cahaya sudah ingin bicara, tapi Varel melarangnya.
"Jangan bergerak. Aku akan tangkap dia untuk kamu." Varel bersiap ambil ancang-ancang. Dasinya yang masih terpasang rapi disampirkannya ke atas pundak. Ujung lidahnya menyentuh bibir atas tanda konsentrasi. Sejumput rambut klimisnya bahkan jatuh menutupi dahi.
"Satu ... Dua ..." Tangan Varel terayun seiring aba-aba.
Dan suasana romantis itu diakhiri dengan adegan Cahaya yang mengejar Varel sambil melemparkan buket bunga juga sepatunya. Setelah itu mereka makan daging burung dara yang berhasil ditangkap Varel kembali.
Reen dan Daisy saling pandang melihat gadis di depan mereka yang bergidik ngeri tanpa sebab.
***
Cahaya pikir semua sudah selesai. Tapi esok harinya Reen dan Daisy menghampirinya yang sedang bersama dengan Varel di kantin kampus. Mereka menyapa sekilas lalu ikut nimbrung bersama.
Varel masih dengan gaya sok asyiknya, menebar pesona pada kedua gadis, membuat Cahaya geli dengan tingkah mereka.
"Lapar ya? sedotannya sampai dikunyah begitu," goda Varel setelah kedua gadis pergi.
Cahaya baru menyadari ujung sedotannya yang sudah tidak berbentuk. Padahal teh botolnya sudah tandas sejak tadi. Karena merasa jadi orang kontrakan--karena dunia serasa milik Varel dan kedua gadis tadi, Cahaya mengunyah-ngunyah sedotannya sambil mendengarkan pembicaraan menjemukan mereka. Melirik bosan ke arah Varel yang terlihat seperti juragan minyak yang dikelilingi para harem.
"Ampun yaa, gadis zaman sekarang agresif sekali." Varel memasukkan kacang ke dalam mulut.
"Mereka mengajakku nonton hari minggu nanti." Ia menyeringai lucu untuk mengoda.
"Memangnya siapa yang mulai duluan?" Cahaya bergumam sendiri.
"Siapa?" Varel berlagak pilon. Membuat gadis itu mendecih sebal.
"Jangan cemburu seperti itu, Ay. Kalau kamu ngambek, aku bingung harus merayu kamu bagaimana." Cahaya menatap Varel yang tiba-tiba berubah serius.
"Percayalah, hatiku hanya untuk kamu, Ay." Varel balas menatap sepasang masa bulat di hadapannya.
"Aku lebih senang menghabiskan seribu satu malam bersama kamu dari pada nonton selama dua jam bersama mereka."
Tangan Cahaya perlahan terangkat menyentuh wajah Varel. Ibu jarinya pelan mengusap lembut pipi lelaki itu. Tatapan Varel melembut, tapi tangan Cahaya yang masih di wajahnya segera menoyor pipi lelaki itu. Membuat kepala Varel terkulai ke samping.
"In your dreams," desis Cahaya yang hanya diikuti tawa Varel.
***
Lingkungan di rumahnya sudah sepi ketika gadis itu tiba. Cahaya melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan. Hampir jam satu malam.
Varel memang benar. Kota besar ini memang berbahaya untuk perempuan. Apalagi kalau malam hari.
Tadi beberapa kali ia melihat temannya digoda ketika sedang menjajakan minuman berenergi di pom bensin.
Cih, para lelaki itu pikir para gadis penjual minuman bisa ditawar juga untuk diangkut bersama para sapi?
Cahaya memutuskan, menjual minuman berenergi di pom bensin tidak akan menjadi pekerjaan tetapnya. Tunggulah sampai ia mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Dan akan dipukulnya lelaki-lelaki iseng itu pakai botol minuman yang dijualnya jika mereka berniat macam-macam.
Setidaknya ia punya senjata.
Cahaya tertegun melihat seorang pria duduk di depan rumahnya. Warungnya pun masih belum ditutup, padahal malam sudah sangat larut.
"Baru pulang, Ya?" Lelaki itu menyapa, dengan sebatang rokok di selipan tangan.
Cahaya membayangkan lokomotif kereta dengan bentuk kepala lelaki tersebut, yang terus mengeluarkan asap.
"Iya, Bang. Ibu mana?"
"Ada di dalam."
Cahaya tidak jadi memasukkan motornya. Pelataran rumahnya terlalu kecil untuk ditempati lelaki itu berikut motornya.
“Bang, titip motor aku ya.“ Cahaya menaruh kunci motor di atas meja.
“Tolong masukkan ke dalam kalau Abang mau pulang." Lelaki hitam kekar itu menggangguk sekali. Memandang kunci motor yang diletakkan di atas meja. Mulutnya masih terus mengeluarkan gumpalan-gumpalan asap.
Sebenarnya Cahaya tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan lelaki pendek kekar itu. Entah di mana ibunya menemukan lelaki tersebut. Dan apa yang dilihat sang ibu dari lelaki tersebut.
Cahaya mengenalnya ketika ia lulus dari sekolah lanjutan tingkat pertama. Cahaya mengingat dengan jelas pertemuan pertama mereka. Hari ketika ia pulang ke rumah sambil membawa piala juara sekolah selepas upacara kelulusan. Sebenarnya ibunya pun mengikuti acara tersebut, tapi segera pulang begitu acara selesai, sementara Cahaya tetap di sana hingga sore. Dan ketika pulang ke rumah, ia melihat kedatangan Nawan yang diantar oleh seorang lelaki buluk. Ternyata ibunya tertabrak motor yang sedang dikendarai lelaki itu.
Sejak itu Cahaya sering melihatnya datang ke rumah, meskipun luka di tubuh Nawan sudah sembuh tak berbekas.
Awalnya ia jengah melihat lelaki asing yang sering mengunjungi rumahnya. Tapi pada akhirnya ia terbiasa juga dengan kehadiran lelaki tersebut. Apalagi sikap lelaki itu juga cukup baik pada Cahaya. Tanpa kepura-puraan.
Wajah Bang Uwod tidak tampan. Rautnya begitu keras, dengan kumis yang melintang. Tubuhnya pun gemuk pendek. Bahkan sepertinya lebih pendek dari Nawan. Selalu mengenakan kaos dan celana selutut. Kadang-kadang juga topi jerami.
Pekerjaannya berkeliling kampung setiap hari. Menawarkan gelas dan piring untuk ditukarkan dengan barang bekas.
Sebenarnya bukan itu saja yang membuat Cahaya kurang menyukai lelaki tersebut ...
Bang Uwod bukan orang tidak mampu. Ia memiliki sebuah rumah dengan halaman yang luas, yang lebih banyak berisi barang-barang bekas. Ia juga sering berganti-ganti motor keluaran terbaru.
Tapi sekali lagi, bukan hal itu saja yang membuat Cahaya kurang menyukai lelaki tersebut ...
“Sudah pulang, Ya?" Nawan menaruh termos ke tempat semula, lalu mengaduk kopi yang diseduh. Tercium aroma kopi yang pekat. Nawan membawa gelas itu itu ke depan.
Cahaya masuk ke kamar. Mencuci muka, ganti baju, lalu naik ke tempat tidur.
Ketika hampir terlelap ia teringat sesuatu. Diraihnya ponsel di sebelah bantal. Tangannya meraba-raba hingga menemukan benda tersebut. Matanya yang sudah lengket mencari sebuah nama di daftar kontak.
Sementara Varel yang sudah terlelap di atas kasur meraba-raba mencari hapenya yang berbunyi nyaring. Tanpa melihat langsung menerima panggilan.
“Halo, Rel,“ sapa Cahaya dengan mata terpejam.
“Kenapa, Ay?“ tanya Varel yang sebenarnya masih di alam mimpi.
“Besok jangan lupa bawa ...“ Cahaya tertidur sebelum sempat mendengar jawaban. Bahkan ia belum menyelesaikan kalimatnya.
“Iya,“ jawab Varel tanpa mengerti ucapan si penelepon lalu menjatuhkan ponselnya.
***

Book Comment (42)

  • avatar
    BotakGopal

    trimakaih

    6d

      0
  • avatar
    YaomiYaomi

    good

    8d

      0
  • avatar
    GUNAWANHENDRA

    bgus

    22d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters