logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

part-03

"Na, temani Bapak ke pasar yuk." ajak Bapak padaku.
"Mama?" tanyaku. Bapak sama Mama jarang sih pergi berdua. kalo cuma ke pasar seringnya malah pergi sendiri-sendiri. Kalo Bapak ke pasar, Mama pasti gak pergi. Itulah kenapa sekarang Bapak ngajakin aku.
Anehnya lagi, yang diajak juga pasti selalu aku. Padahal masih ada dua tuh anak beliau yang nganggur di rumah ini. Kenapa selalu aku? Ya karna, kalo ngajak adikku yang dua itu sudah pasti beliau ditolak, sih. Meski aku bukan anak yang berbakti-bakti banget. Akan tetapi, kalau menyangkut ajakan orang tua, aku gak bisa menolak. Bahkan belum pernah menolak sampai saat ini.
Mungkin, karna aku yang gak pernah menolak setiap ajakan itulah yang menyebabkan Bapak selalu mengajakku setiap beliau hendak pergi ke pasar. Di rumah aku adalah anak yang santun dan sopan. Meski sering kehilangan barang-barang yang semestinya itu tidak akan aku alami, jika aku orangnya tidak pelupa. Yups, aku mempunyai kelemahan. Selain takut dengan rokok, aku juga orangnya mudah pelupa, guys.
Terlahir dari keluarga yang menjunjung tinggi adab, adat-istiadat, serta aturan. Salah satunya aturan yang Bapak wejangkan. Yaitu, anaknya tidak boleh ada yang berpacaran. Kalau mau menjalin hubungan atau pacaran dengan lawan jenis. Kata Bapak, dari pada pacaran mending langsung nikah saja sekalian.
Dulu, pertama kali aku hendak menjalin hubungan dengan laki-laki, dan diketahui oleh Bapak. Saat itu juga beliau dengan tegas mengatakan.
"Kamu pilih sekolah atau pacaran? Kalau pilih pacaran, berhenti saja sekolahnya. Kamu langsung nikah aja. Buang-buang waktu dan tenaga mencarikan biaya sekolah jika yang disekolahin kerjaannya bukannya belajar melainkan justru pacaran."
"Kalau kamu pilih sekolah. Maka satu pesan Bapak. Jangan pacaran!" Ucap beliau tegas.
Peringatan itu selalu muncul memory otak kecilku apabila ada lawan jenis yang menyatakan cintanya kepadaku. Oleh karena teringat peringatan Bapak tersebut. Maka, pernyataan cinta itu selalu mendapat penolakan dariku.
Sebenarnya aku tidak memiliki wajah yang cantik-cantik banget. Bisa dikatakan biasa saja lah. Eh, tapi menurutku, aku cantik kok, hihi. Namun, penampilan biasa akan terdongkrak naik menjadi luar biasa jika diiringi dengan menjadi anak berprestasi di sekolah.
Namun, seiring berjalannya waktu. Peringatan dari Bapak yang tidak membolehkan anaknya berpacaran akhirnya pupus atau tak teringat lagi olehku saat seorang laki-laki bernama Rian menyatakan cintanya padaku. Selain kata-kata yang dia ucapkan mampu meluluhkan hati. Rian ini juga sosok laki-laki idamanku banget. Soalnya, rata-rata dari semua teman laki-laki yang menyatakan cintanya padaku, kesemuanya bisa merokok. Meski mereka bukan perokok aktif seperti Bapak. Namun, melihat mereka bisa atau pernah merokok aku langsung ilfel melihatnya, ya meskipun, mereka berparas ganteng atau tampan. Jika bisa merokok, apalah arti dari tampan itu. Semuanya tak ada pengaruhnya di mataku. Aku tidak akan tertarik.
Karna, Rian tidak merokok itulah, menjadikan nilai tambah dariku untuknya semakin besar. Bahkan, aku sudah mengklaim jika sosok Rian ini adalah laki-laki yang selama ini aku cari. Sebagai pacar atau pun menjadi suamiku di masa depan kelak. Lebay sih di usia yang baru duduk di kelas sepuluh, aku sudah berpikir tentang suami. Namun, aku gak mengada-ada. Aku memang ia ingin mempunyai seorang suami yang tidak bisa merokok. Intinya, dia tidak merokok. Udah, titik.
Itulah alasan yang akhirnya membuatku mau menerima Rian. Meskipun dengan cara pacaran diam-diam dan berbohong kepada orang tuaku. Pergi diam-diam demi bisa malam mingguan berdua.
Beruntungnya kemarin apa yang Rian ucapkan benar adanya. Saat kami pulang terlambat dari jadwal yang seharusnya. Aku tetap aman alias tidak ketahuan oleh Bapak.
Karena, seperti katanya malam itu, aku diturunkan Rian jauh dari rumah. Rian memilih tempat sepi atau yang gak ada rumahnya. Sungguh, cerdas sekali dia. Walaupun dalam hati aku deg-degan juga sih sebenarnya. Iya deg-degan karena takutketahuan Bapak juga takut sesuatu yang menyangkut dengan hal yang berbau mistis. Karena, dia benar-benar menurunkan aku di tempat yang gelap dan tidak ada orang. Benar-benar siksaan banget pacaran diam-diam ini. Apalagi tempat tinggalku tuh masih perkampungan guys. Jadinya rumah-rumah penduduk masih berkelompok gitu. Sehingga, ada tempat atau lahan kosong yang belum ada rumah penduduk.
Berkat kecerdasannya itu, akhirnya aku selamat. Meskipun aku menahan rasa takut setengah mati. Namun, setelah mengetahui jika aku aman malam itu rasa takut tadi langsung berubah menjadi rasa lega. Karena, aku tidak ketahuan oleh siapapun termasuk Bapak. Meski akhirnya, aku tetap mendapat semprotan juga dari adikku. Dia marah karena menurutny sekarang aku sudah berani pulang terlambat. Namun, semprotannya hanya kuanggap angin lalu karena sudah terselimuti rasa lega dengan tidak ketahuan oleh Bapak. Namun, tetap saja, ada rasa yang tak nyaman mengganjal dalam hati. Entah rasa apakah itu.
"Kata mamamu tadi, biar Bapak saja yang ke pasar."
"Dari pada sendirian, mending Bapak ajak kamu, kan?" lanjut Bapak lagi, yang membuatku langsung tertawa pelan ketika mendengarnya.
"Ayok, lah. Tapi aku yang bawa motor, ya." ucapku pada Bapak. Hal itu merupakan harga mati. Kalau pergi denganku, aku tidak mau duduk di belakang. Karna, kalian tahu sendiri jika duduk di boncengan dengan orang perokok aktif seperti Bapak. Jika kalian duduk di belakang, saat bernapas maka oksigen kalian akan digantikan dengan asap rokok. Ih, membayangkannya saja aku sudah sesak napas duluan.
Kenapa bisa begitu?
Ish, aku malas memikirkan dan menjelaskannya. Karena, pasti teringat lagi dengan benda yang sangat aku benci itu.
"Bapak udah tua, masa disuruh bawa motor tinggi begitu." balas Bapak menyiratkan jika aku yang mudalah yang harus membawa motornya. Padahal, Bapak juga tahu alasanku yang ingin membawa motor itu karena apa. Karna, Bapak paham dan suka bercanda, makanya beliau jadi berkata begitu.
"Siap! Bapak komandan." ucapku dengan lantang karna juga paham dengan maksud ucapan Bapak tadi. Yang penting aku yang bonceng, kalau dibonceng aku tidak mau.
Mendengar seruanku. Bapak langsung tersenyum dan memberikan jempolnya ke arahku. Melihat itu aku juga langsung tersenyum. Meski selalu saja ada rasa tidak nyaman itu di dalam dada. Entahlah. Rasa apa itu, ya? Aku sendiri masih tidak mengerti.
"Sudah, siap?" tanyaku pada Bapak yang duduk di belakang.
"Sudah!" jawab Bapak semangat sambil menepuk bahuku.
Mendengar itu, aku langsung menjalankan motor V-ixion berwarna maroon dengan kecepatan stabil.
Meskipun aku cewek. Namun, aku mahir mengendarai motor laki sejenis ninja atau V-ixion. Membeli motor jenis V-ixion ini juga awalnya atas permintaanku.
Meski banyak keluarga yang menentang ketika aku meminta jenis motor ini, seperti kerabat dekat atau keluarga. Menurut mereka lebih baik membeli jenis motor matic. Selain cocok untuk perempuan, jika membawa barang juga enak. Tidak seperti motor Vixion yang untuk duduk saja sudah susah. Karena tinggi. Apalagi motor ini tidak cocok untuk cewek sepertiku.
Namun, anehnya. Bapak justru membeli motor V-ixion ini sesuai dengan permintaanku. Padahal, sudah jelas saat beliau membeli motor itu, Bapak mendapat tentangan dari saudarinya. Maklum, bagi keluargaku. Bisa membeli motor itu sudah termasuk hal yang 'wah' sekali.
Sehingga, jika bisa membelinya maka kita haruslah membeli yang benar-benar bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Seperti kenyamanan saat dikendarai dan juga nyaman dipakai untuk membawa barang.
Tak ayal, karna keputusan beliau membeli motor laki jenis V-ixion ini. Beliau langsung terkena dampratan atau kata-kata kasar karena lebih mementingkan kemauan anak dari pada fungsi benda itu sendiri. Bahkan, Tanteku atau adiknya Bapak malah mengatakan jika Bapak adalah budak anaknya.
Aku yang mendengar itu tentu saja sangat marah. Padahal, Bapak membeli motor itu tanpa paksaan dariku. Aku hanya sekali bilang kalau menginginkan motor jenis V-ixion ini. Kalau pun misal Bapak tidak mau membelikan sesuai permintaanku itu, aku juga tidak akan memaksa. Tidak ada masalah.
Namun, kebalikannya. Bapak justru mau membelikan sesuai apa yang aku inginkan. Lalu, kenapa Tante teganya mengatakan jika Bapak adalah budak anaknya. Padahal, itu keputusan Bapak sendiri tanpa ada yang memaksa beliau.
Sampai sekarang, ekspresi keluarga jika melihat motor yang terparkir di depan rumah selalu mencibir. Bisa digunakan untuk apa motor seperti itu, kata mereka.
Ingin sekali aku menjawab "Untuk dipakai, lah." Namun, aku selalu menahannya. Kata-kata itu hanya terucap dalam hati.
Bapak dan Mama juga meski mendengar kata-kata tidak enak seperti itu, mereka berdua tak pernah marah apalagi menanggapi. Selalu dibiarkan. Berbeda denganku yang selalu gatal ingin membalas kata-kata yang mereka ucapkan tersebut.
"Nanti mampir tempat manteri Aran dulu, ya. Bapak mau suntik. Soalnya kaki sebelah kanan Bapak lututnya sering sakit kalo dibawa jalan." ucap Bapak. Suara beliau rada dikencangkan karna kami lagi berada di atas motor. Yang sedang berjalan dengan kecepatan stabil.
Uacapan Bapak itu seketika membuatku kembali, dari lamunan tentang masalah saat membeli motor yang kami kendarai sekarang. Aku juga langsung menganggukan kepala. Tanda jika aku mendengar apa yang tadi Bapak katakan.
Saat menemani Bapak belanja di pasar. Saat itu jugalah, aku langsung berdiri terpaku dan sedikit membelalakan mata ketika melihat seseorang yang berjalan menuju ke arah kami.
Next

Book Comment (142)

  • avatar
    Rembez Rembez

    bagus menarik, saya suka dengan cerita novel

    4d

      0
  • avatar
    maewaJael

    bagus

    18d

      0
  • avatar
    HendiHusni

    nice

    21d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters