logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Terbongkarnya Sebuah Rahasia

"Casi, Tante mau kamu jadi menantu Tante, ok?"
"Tidak…." Alex dan Casi menjawab bersamaan.
"Wow, kalian kompak sekali. Alex, segera ajak Casi ke rumah, Mama tunggu."
"Tapi Mah…."
"Tidak ada tapi-tapian, pokoknya mulai sekarang Mama tidak mau mendengar nama Jenifer lagi di dalam kehidupanmu. Casi?"
"I-iya Tante…."
"Tante tunggu kedatanganmu." 
Klik….
Panggilan telepon dimatikan menyisakan dua orang yang masih kebingungan dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Alex…."
"Hmm…."
"Bagaimana ini?"
"Tidak tahu."
"Kenapa Mamamu seperti itu?"
"Tidak tahu."
"Kenapa kamu tidak tahu?"
"Aku bukan peramal, Casi."
"Terus, sekarang bagaimana?"
"Tidak tahu."
"Aku tidak mau menikah denganmu."
"Aku juga."
"Mamamu aneh ya?"
"Iya. Eh, sembarangan kamu bilang Mamaku aneh, beliau cuma mau cepat-cepat menimang cucu, tau!"
"Oh, kalau begitu segeralah berikan beliau cucu."
"Kamu kan tahu aku baru saja putus dengan Jenifer, atau kamu mau mberikan cucu untuk Mamaku?" jawab Alex sambil tersenyum sembari memainkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah.
"Maksudnya?" tanya Casi polos.
"Jadi ibu dari anak-anakku."
"Ish, saya tidak mau menikah dengan lelaki cerewet sepertimu."
"Aku bilang jadi ibu dari anakku, bukan menikah denganku. Wah, sepertinya kamu memang menyukaiku Casi. Cepat sekali kamu menyimpulkan perkataanku."
"Untuk menjadi ibu dari anak-anakmu otomatis aku harus menikah denganmu kan? Atau...."
"Ya," jawab Alex sambil tersenyum nakal.
Bletak....
Satu jitakan mendarat di kening Alex.
"Aduh, hobi banget jitak orang sih, sakit tau," protes Alex.
"Dengerin ya, aku tidak akan pernah mau menikah dengan lelaki mesum sepertimu, meskipun kamu lelaki satu-satunya yang tersisa di dunia ini," ucap Casi dengan mantap.
"Yakin, jangan menyesal lho kalau nanti kemakan omonganmu sendiri."
"Tidak, tidak akan pernah," jawab Casi dengan yakin.
"Oke deh," ucap Alex dengan wajah murung.
"Kamu kenapa sih?"
"Kamu tahu, kalau Mamaku sudah menginginkan sesuatu maka harus dipenuhi, kalau tidak…."
"Kalau tidak apa?" tanya Casi dengan wajah serius.
"Akan ada bencana besar."
"Bencana apa maksud kamu?" tanya Casi penasaran.
"Banjir, tanah longsor, gunung meletus…."
Pletak….
Satu jitakan mendarah lagi di jidat Alex.
"Aduh, kamu apa-apaan sih?"
"Kamu itu yang apa-apaan, ditanyain serius jawabnya bercanda mulu."
"Hahaha … habisnya lucu lihat wajah kamu."
"Sudahlah, aku mau masuk," ucap Casi sambil berlalu meninggalkan Alex sendirian
"Casi, tunggu," Alex berlari mengikuti Casi di belakang.
Sesampainya mereka di rumah, Lusi menyambut mereka.
"Loh, kalian sudah pulang?"
"Iya Tante."
"Jam berapa kamu mau pulang, Alex?"
"Sebentar lagi Tante, ini mau berkemas dulu."
"Ini pakaianmu sudah kering dan Tante setlika."
"Terimakasih Tante."
Alex bergegas mandi dan mengganti pakaiannya. Semua keluarga sudah berkumpul di ruang tamu saat Alex selesai berkemas.
"Om, Tante, Paman, Bibi dan Casi, Alex pamit dulu, terimakasih sudah mau menampung Alex. Alex senang bisa mengenal kalian semua, Orang-orang baik yang mau menolong saya di saat saya kesusahan."
"Tidak masalah Alex, itu memang sudah menjadi tugas kita sebagai manusia untuk saling tolong menolong. Jangan lupakan kami, saudara semalammu, kalau ada waktu mampirlah kemari," jawab Arman.
"Iya Om, maaf kalau Alex ada salah dan terlalu merepotkan."
" Kami tidak merasa direpotkan, Alex. Kami malahan senang kamu main ke sini," jawab Lusi.
"Hati-hati di jalan Alex, semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan," ucap Andi.
"Iya Paman, semoga."
"Sering-sering main kesini ya Alex. Tapi kalau mau kesini kabari dulu Bibi, biar kita bisa ketemuan…." ucap Ani.
"Mama!" Andi terlihat gemas melihat tingkah istrinya.
"Tentu Bibi. Casi, apakah tidak ada yang mau kamu katakan kepadaku?"
"Tidak ada."
"Yakin, nanti kamu menyesal hlo."
"Tidak ada Tuan cerewet, mending kamu buruan pulang nanti dicariin Mama kamu."
"Iya deh, saya pamit dulu semuanya."
"Ya, Hati-hati di jalan," jawab Lusi.
Alex bergegas naik ke sepeda motornya dan mulai melaju membelah hijaunya perkebunan teh. Dalam hatinya dia berjanji akan kembali lagi kesini. 
Sepeninggalan Alex, semua masih berkumpul di ruang tamu sambil menikmati segelas coklat panas dan pisang goreng.
Terdengar deru mobil yang memasuki pekarangan rumah. Tidak lama kemudian muncul sosok perempuan yang sangat mereka kenal berdiri di depan pintu.
"Lidia, kenapa baru datang?" tanya Lusi kepada Lidia, adik bungsu Arman.
"Aku sibuk Kak," jawab Lidia sambil menjatuhkan bobotnya di kursi.
"Sesibuk apapun kamu, seharusnya kamu sempatkan untuk datang di acara Kakakmu," ucap Ani menimpali.
"Ya mau bagaimana lagi, namanya juga sibuk," jawab Lidia santai.
"Tante apa kabar?" tanya Casi.
"Baik," jawab Lidia ketus.
"Lidia, kenapa jawabanmu seperti itu?" tanya Arman.
"Seperti itu bagaimana?"
"Ketus sekali."
"Biasa saja kali."
"Kenapa kamu selalu bersikap acuh kepada Casi dan menganggap seakan dia itu musuhmu, kamu tahu kan kalau dia itu keponakanmu," tanya Arman.
"Keponakan apanya," jawab Lidia sinis.
"Lidia...."
Selama ini Lidia selalu bersikap kasar kepada Casi. Umur mereka berdua hanya terpaut lima tahun saja. Orang tua Arman melahirkan Lidia disaat Arman dan Ani sudah dewasa, jadi sifat Lidia sangatlah manja, semua yang dia inginkan harus terpenuhi, tetapi semua berubah setelah hadirnya Casi di tengah-tengah keluarga mereka.
"Kakak mau tahu kenapa aku bersikap begini kepadanya? Itu karena aku tidak pernah menyukai Casi. Kehadirannya hanya membawa sengsara untukku," jawab Lidia.
"Apa salah Casi? Dia selalu bersikap baik kepadamu, kamunya saja yang...." jawab Ani.
"Kenapa kakak selalu membela anak ini? sejak dia hadir di tengah keluarga kita, dia selalu merebut semua yang aku miliki. Kasih sayang, perhatian, bahkan semua orang memberikan barang-barang yang dia inginkan. Aku merasa terabaikan, merasa disingkirkan. Dulu, aku selalu mendapatkan apa yang aku mau. Semua berubah setelah kehadiran anak pungut ini…."
"Lidia, hentikan!" Arman membentak Lidia.
Jederr….
Bagaikan di sambar petir, Casi sangat kaget mendengar perkataan Lidia.
"A-apa maksud tante dengan anak pungut?"
"Kamu bukan anak dari Kak Arman, dia memungutmu di jalanan…."
"Hentikan!" Arman berjalan mendekati Lidia.
Plak….
Satu tamparan mendarat di pipi mulus Lidia.
"Kenapa kakak menamparku? Mau sampai kapan kakak menyembunyikan kenyataan ini, hah? Aku sudah capek selalu menjadi nomor dua. Aku benci, sangat benci keadaan ini. Sudah waktunya dia tahu kalau dia bukan bagian dari keluarga kita. Kalau perlu, usir saja dia dari sini biar semua kembali keposisi awal."
Ani berjalan mendekati Lidia.
Plak….
Satu lagi tamparan mendarat di pipi Lidia.
"Kenapa Kakak ikut-ikutan menamparku? Aku ini Adik kandungmu Kak, kenapa Kakak tidak membelaku dan malah memihak anak pungut itu?"
"Kamu memang Adikku, tapi kamu pantas mendapatkan tamparan. Sejak kapan kamu berubah jadi orang seperti ini, hah? kami tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi orang jahat."
"Kakak tanya sejak kapan? Tentu saja sejak semua yang harusnya menjadi milikku direbut oleh anak pungut ini…."
"Lidia!" Ani mengangkat tangannya lagi berniat menampar Lidia.
"Apa Kak? mau menampar aku lagi? Ini Kak, tampar lagi, biar kakak puas!" Lidia menyodorkan pipinya ke arah Ani, tetapi Ani mengurungkan niatnya.
"Kalian semua memang sudah tidak sayang padaku lagi, kalian lebih membela anak pungut ini dari pada aku yang jelas-jelas adik kandung kalian. Aku benci kalian semua, aku akan membalas semua perbuatan kalian. Dan untukmu Casi, ingatlah, selama aku masih hidup, kamu tidak akan pernah hidup dengan tenang," ucap Lidia sambil berlalu meninggalkan semua orang. 
Deru mobil terdengar meninggalkan pekarangan rumah.
Sementara itu Casi masih sangat syok mendengar apa yang baru saja di katakan Lidia. Lusi mengusap pundak Casi untuk menenangkannya.
"Bunda."
"Iya, sayang."
"Apakah semua yang dikatakan tante Lidia tadi benar? Apakah aku hanya anak pungut, Bunda?" tanya Casi dengan mata yang mulai berair.
"Sayang…."
"Tolong katakan kalau semua itu tidak benar, Bunda. Katakan kalau aku benar-benar anak kandung Bunda," Casi mulai menangis.
"Casi…."
"Casi, semua yang dikatakan tantemu tadi memang benar," ucap Arman dengan suara serak.
"Jadi, aku ini anak pungut, Ayah?"

Book Comment (422)

  • avatar
    PopiriaRebeca

    Cerita nya sangat menarik. Dari awal membaca saya sama sekali tidak merasa bosan dengan alurnya. Semangat terus menulis cerita ini, saya sangat menyukai cara penulisan anda🥰🥰

    08/08/2022

      2
  • avatar
    saputraIndri

    alur ceritanya bagus, tapi ada perbicangan yang absurd jadii gak jelas gto.. semangat terus Thor menulisnya🤗🤗

    19/04/2022

      0
  • avatar
    balqisSuria

    good.

    23h

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters