logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Duda Tampan

Setelah ketok palu perceraian, Luka dapat melenggang bebas meskipun batinnya masih menyiratkan perih mendalam. Ia lantas menyusun rencana yang sempat tertunda karena terpuruk dalam kubangan luka yang diciptakan Sarah.
Terik mentari tampak menyengat siang ini, Luka yang baru saja memarkirkan mobil segera melangkah cepat menuju pintu masuk dari sebuah gedung tinggi perkantoran yang cukup terkenal di kawasan Soedirman, Jakarta.
Laki-laki itu mengedarkan pandangan sesaat setelah ia tiba di lantai dasar bangunan tinggi tersebut. Beberapa orang terlihat berlalu lalang di hadapannya, ia kemudian memutuskan untuk berjalan menuju meja resepsionis.
Pegawai wanita yang berada di balik meja resepsionis tersebut kemudian mendongak setelah mendengar derap langkah seseorang yang datang mendekat. Wanita berseragam itu kemudian mengangguk ramah dengan seulas senyum tipis kepada Luka.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak Luka?" tanyanya dengan suara lembut.
Luka mengangguk sembari tersenyum.
"Ya, saya udah buat janji sama Pak Richard kalau ingin bertemu dengan beliau," jawab Luka.
"Sebentar ya, Pak, saya hubungi sekretaris beliau terlebih dahulu."
"Baiklah."
Petugas resepsionis tampak berbicara di ujung telepon dan Luka mengetuk-ngetuk meja resepsionis dengan ujung jemari.
"Pak Richard ada di ruangannya dan silahkan masuk, Pak Luka. Beliau sudah menunggu. Mau saya antar?" tawar petugas resepsionis itu dengan sopan dan ramah.
"Oh tidak! Tidak perlu! Biar saya sendiri yang ke sana," tolak Luka dengan halus sambil menggeleng pelan.
Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu kemudian meninggalkan meja resepsionis menuju ruangan seseorang yang hendak ditemuinya. Sedangkan sang resepsionis menatap punggung Luka yang berlalu dengan tatapan memelas dan menggeleng pelan.
Berita buruk tentang Luka dan beberapa usaha ayahnya yang bangkrut telah sampai ke banyak telinga. Berawal dari kebangkrutan kemudian kecelakaan naas kedua orangtuanya hingga perceraiannya dengan Sarah menyebar dari mulut ke mulut. Mereka membicarakan nasib seorang Luka Arga Bharata sepeninggal orang-orang yang dicintainya.
Sepanjang jalan menuju ke ruangan Richard, Luka beberapa kali mendapat pandangan aneh dari para pegawai di kantor tersebut. Dan itu pun juga beragam, ada yang menunjukkan sikap mengasihani, seolah-olah hidup Luka sangat sengsara. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Namun, ada juga yang menunjukkan ketidaksukaan, bahkan senyum mengejek, dari orang-orang yang sedari awal memang mengenal dan tak menyukai dirinya.
Luka menyadari tatapan mereka, kedua kakinya memang terus melangkah maju, tapi lirikan netranya tak dapat menipu bagaimana mereka melihatnya dengan berbagai wajah dan ekspresi. Namun, Luka tak peduli dan tak ambil pusing. Ia menganggap bahwa mereka hanya tahunya menilai dan berkomentar, tanpa pernah merasakan apa yang ia rasa.
Tok, tok, tok!
"Ya, silakan masuk," sahut seseorang di dalam sana sesaat setelah lelaki bertubuh tegap itu mengetuk pintu sebuah ruangan.
Luka pun melangkah masuk, ia dapat melihat bagaimana lelaki yang biasa ia sapa dengan sebutan Om Richard itu tampak sibuk dengan laptop yang ada di depannya. Richard adalah salah satu sahabat sekaligus kolega ayah Luka semasa masih hidup.
"Sibuk, Om?" tanya Luka seraya melangkah mendekat.
Richard sontak mendongak, pria berusia lima puluhan tahun itu kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas, menciptakan selarik senyuman menyambut kedatangan Luka.
"Wah, ternyata kamu, Luka," ucap Richard seraya menutup layar laptop, kemudian menyandarkan punggung di bahu kursi.
Luka hanya tersenyum, sambil mengempaskan tubuh ke sebuah kursi yang ada di depan meja kerja sahabat ayahnya tersebut.
Richard terkekeh pelan, kemudian kembali angkat bicara, "Ada apa ini? Kok tumben nemuin Om?" tanya Richard dengan ramah.
Luka terdiam sejenak, ia tampak sedang berpikir, seolah-olah sedang mengumpulkan banyak nyali. Detik berikutnya, laki-laki itu menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan.
"Saya butuh bantuan, Om."
***
Sejak mendapat tambahan bantuan modal dari Richard, Luka mulai merintis kembali usaha peninggalan ayahnya berupa restoran. Lambat laun usaha itu berkembang pesat dan Luka mulai membuka beberapa cabang restoran dan kafe di beberapa kota di seluruh Indonesia. Bahkan di kota Jakarta sendiri, lebih dari sepuluh cabang didirikan.
Luka menjalani kehidupannya yang baru, setelah bangkit dari keterpurukan yang membuatnya hampir menyerah. Lelaki itu bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Orang-orang tak lagi memandangnya dengan tatapan iba, melainkan berganti menjadi tatapan takjub, terkagum-kagum. Bagaimana sesuai kisahnya bahwa ia bisa bangkit melewati kehidupan yang terseok-seok seorang diri. Namun, apa yang ditunjukkan Luka di depan umum hanyalah topeng.
Raut wajah Luka yang selalu menampilkan keramahan dan senyum ceria itu hanya kepalsuan belaka. Sudut hatinya terdalam sebenarnya bertentangan. Bibirnya bisa saja tersenyum ceria, tetapi dalam batinnya teriris perih. Ia sedang tidak baik-baik saja.
Saat ia ingin mengusir kesedihan yang membelenggunya, Luka memilih mendatangi klub-klub malam dan bar untuk minum alkohol. Minuman yang bisa melenakan dirinya sejenak dari kepahitan hidup. Berawal dari sini, ia menghambur-hamburkan uang untuk bersenang-senang dengan wanita. Berpetualang dari satu wanita ke wanita lainnya tanpa melibatkan perasaan. Dengan uang ia bisa membeli kesenangan, menyalurkan birahi kepada wanita tanpa ada ikatan status.
Gaya hidup dan kebiasaan baru Luka itu menyebabkan dirinya didatangi wanita bernama Bella tadi siang. Lagi-lagi uang berbicara tentang segalanya.
Adzan subuh terdengar samar membuat Luka tersentak dari lamunan. Matanya belum terpejam meskipun hari telah menjelang pagi. Ia lantas mengistirahatkan diri untuk beberapa jam ke depan tanpa memedulikan jadwal kunjungannya ke salah satu kafe miliknya di daerah Jakarta Selatan.
***
Lima bulan kemudian
Luka tampak sibuk dengan cabang baru kafenya. Dia telah begitu bahagia menyandang status duda. Bahkan dirinya juga telah berhenti berpetualang dari wanita satu ke wanita yang lain pasca bercerai dengan sang istri beberapa bulan yang lalu.
Ia terkadang terjun langsung menjadi pelayan di kafe atau restoran miliknya. Seperti kali ini dia melayani pengunjung di salah satu kafe miliknya yang berada dekat dengan sebuah universitas swasta terkenal di Jakarta. Wajah tampan Luka selalu mengundang perhatian orang lain, membuat kafe atau restoran yang kebetulan ia sambangi banyak didatangi para wanita.
Para pengunjung tak hanya menikmati menu lezat yang ditawarkan di kafe atau restorannya, tentu saja wajah tampan duda pemilik kafe tersebut. Wajah tampan memikat itu seolah-olah menjadi trend di kalangan wanita. Dari mahasiswi hingga wanita karier yang berkunjung, berlomba-lomba meminta pelayanan ramah dan hangat dari Luka.
"Om, sini dong!" panggil salah satu gadis di antara sekelompok gadis yang telah duduk di bagian sudut kafe miliknya.
Luka mengabaikan panggilan gadis itu setelah menoleh sejenak. Ia lantas memerintah pegawainya untuk mendatangi meja gadis tersebut.
"Eit, gue gak minta lo yang datang ke sini! Tapi, gue minta Om ganteng pemilik kafe ini yang melayani gue. Ngerti, kan? Dah, bilangin sama dia kalau Renata Syailendra memintanya datang ke meja ini!" seru gadis itu sembari menyunggingkan senyum kesombongan.
Pelayan kafe itu lantas mengangguk dan segera menghampiri Luka untuk menyampaikan pesan dari gadis arogan itu.

Book Comment (38)

  • avatar
    DamiaShelly Ramadhani

    enak banget membaca novel ini.

    31/01/2023

      0
  • avatar
    Yenchiey

    good

    09/08/2022

      0
  • avatar
    Cahaya Mata Hari

    kkkkkk

    26/07/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters