logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

PART 7 MISTERI KE-3

……
“Keadaan semakin janggal dengan bukti fisik yang menikam. Tanda tanya terbual, katakan dan jangan membungkam. Kemarin sudah cukup dengan gunda berjalar.”
……
Kegalauanku masih terbawa di rumah. Akhirnya diriku memindik diam-diam masuk ke dalam kamar ayah, kebentulan saat itu ayah lagi di kamar mandi dan ibu lagi pergi keluar rumah. Kuperiksa setiap sudut kamar dan semua peralatan yang ada, hal ini dilakukan demi mendapatkan barang bukti apakah Ayah bersalah atau tidak, namun sayang jejak atau petunjuk tidak ditemukan.
Saat lelah mencari, aksaku tertuju pada dompet ayah. Kuperiksa dompet secara hati-hati dan ini dia, aku menemukan secarik foto usang yang hampir robek. "Siapa dia," tanyaku spontan mengeryit dahi. Aku mencoba menganalisa secara perlahan, di sana ada foto seorang pria dengan anak kecil. Gambarnya tak begitu jelas, berwarna hitam putih layaknya foto jadul. Namun wajahnya sekilas hampir mirip dengan ayah.
"Apa itu Ayah?," tanyaku dalam hati. Tapi jika itu Ayah, siapa bocah kecil ini? Perasaan ini tidak mirip dengan foto kecilku dulu. Ini pasti bukan aku (dengan rasa yakin), lalu siapa?"
Diriku semakin binggung, namun saat ingin memfoto foto itu. Bunyi ayah terdengar keras, nampaknya sudah selesai mandi membuat aku mengurungkan niat memfotonya. Aku pun bergegas keluar, dan tak sempat memotonya.
Untuk menjawab keraguanku, aku bergegas mencari album masa kecilku, kutanyakan pada ibu, di mana letaknya. Ibu pun memberikan album yang kumau. Kucermati dengan amat teliti foto per foto tapi aku tak menemui foto seperti di dompet ayah tadi dan kurasa foto di dompet ayah tidak mirip denganku. Jadi siapa itu?
Misteri lama saja belum terselesaikan malah muncul yang baru. Ini sungguh membingungkan. Apa ayah punya anak selain aku (tanyaku di hati). Tapi tak mungkin ayah tega mengkhianati ibu. Namun jika benar adanya ia berhasil mematahkan hati aku dan ibu.
"Melukai hati Ibu sama saja melukaiku, mengajak diriku berperang dengan rasa yang saling menyakitkan. Jika benar dugaan ini, tak akan kubiarkan semuanya terjadi, bahkan aku tak bisa berjanji apakah diri ini bisa memaafkan Ayah atau justru menciptakan rasa benci pada gelora jiwa," ucapku lirih.
Lagi dan lagi kuulangi pertanyaan sama yang menakutkan ini. Bagaimana jika dugaanku benar? Apa yang harus aku lakukan? Bisakah aku memaafkan ayah, atau justru membencinya sampai akhir hayat. Tuhan.. kuharap ini hanya asumsi semata, daksa ini tak kuat jika benar ini realita, bathin ini serasa dalam ambang penuh harap namun curiga. Bibirku, dibuat tak mampu mengeluarkan kata. Aku bisu seketika. Sekujur tubuhku kaku tak bergairah. Aksa tak pamit mengelurkan butir air yang membasahi wajah. Aku menangis dalam doa, mencoba tetap optimis bahwa ini hanya skenario yang tak benar adanya.
Sungguh ingin rasanya kuledakkan saja semua. Aku ingin menanyakan ini langsung padanya, agar semua jelas. Namun di sisi lain aku takut tak bisa menerimanya. Aku juga tak ingin melihat air mata ibu menetes. "Aku menyayanginya Tuhan. Sekarang Dinna harus bagaimana, aku tak tau?" keluhku pada tuhanku, tanpa sadar seluruh wajahku basah dengan tangisan.
Untuk memastikan itu, aku mendekati ibu. Kutanya pada ibu, apakah dulu ibu punya anak selain aku? Mendengar pertanyaan itu ibu tertawa terpikal-pikal, pertanyaan seperti itu bagaikan lelucon yang aneh dan konyol bagi ibu. Karena kata ibu mana mungkin aku punya saudara, sedangkan aku anak satu-satunya. Lagi-lagi aku tidak menemukan pemecah misteri ini. Kupikir setelah bertanya akan mendapatkan solusi tetapi ternyata ibu juga tak mengetahui apa-apa.
Saat sedang asik berbincang dengan ibu, ayah menghampiri kami. Aku mengulik lagi misterinya. Menurutku ini waktu yang tepat untuk mengintrogasi ayah. Tanpa jeda kutanyakan pada ayah, "Sejak kapan ayah mengenal Dika." Ayah menjawabnya dengan lembut. Kata ayah, "Ia mengenal Dika sudah lama. Sejak Dika SMP (Sekolah Menengah Pertama)."
Dika juga merupakan anak tunggal dari saudagar kaya raya. Mendengar jawaban ayah aku setengah tidak percaya, karena bagaimana bisa anak saudagar kaya tinggal di hutan terpencil. Rumahnya nampak hampir roboh. Tidak bisa dipercaya, jawaban ayah tak masuk di logika, namun sebenarnya aku ingin menepis jawaban ayah, hanya saja kurasa ini belum waktunya. Aku takut ayah curiga. Jadi biarkan saja dulu sembari aku menemukan kebenarannya.
"Aku meneguk perlahan teh hangat yang ada di hadapanku, sambil mengambil biskuit renyah yang disedikan ibu di meja. Berusaha merilekskan perasaan, menenamkan jiwa yang belum tentram. Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Hal ini aku lakukan sebanyak tiga kali.
Setelah mulai tenang, aku kembali menanyakan lagi apa yang menyebabkan Dika menjadi sosok aneh dan anti berbicara, karena selama di sekolah dia merupakan lelaki yang jarang berbicara. Dengan sigap ayah menjawabnya, namun jawaban ayah tidak memuaskan saat itu. Kata ayah, mungkin ada sesuatu hal yang buat dia trauma. Aku pun bertanya lagi, “Trauma apa Ayah?” tanyaku penasaran. Namun ayah memintaku untuk menanyakan langsung saja pada orangnya. Aku hanya terdiam. Sandiwara apa lagi ini sungguh berkelit. "Nampaknya aku harus lebih bersabar lagi," gumanku dalam hati.
Hari demi hari misteri selalu datang, rubiknya berdinamika terlalu absurd membuat otakku belum sampai untuk mencari tahunya. "Hari esok akan ada sandirwara baru, mari telusuri kembali," gumamku lirih.

Book Comment (74)

  • avatar
    MardianaRina

    Dina hidup itu roda terus berputar kadang diatas kadang juga dibawah.. Hmm beruntung ada Dika jadi hidup lebih bwrwarna ya Dina

    04/02/2022

      10
  • avatar
    MeilandaIndah

    Mantab, ceritanya seru

    29d

      0
  • avatar
    WiyantoKusumo

    bagus

    11/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters